Rabu, 18 September 2024

Publik Harus Ikut Awasi Revisi UU

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – DPR dan pemerintah benar-benar mengebut pembahasan revisi UU KPK. Hanya sehari setelah surat presiden (surpres) dikirim, tadi malam Badan Legislasi (Baleg) DPR langsung bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly.

Dalam rapat yang digelar sekitar pukul 20.18 itu, Yasonna menyampaikan kesiapan pemerintah membahas revisi UU KPK. Dia menjelaskan pandangan umum untuk menjawab surat dan draf perubahan yang disampaikan DPR.

’’Dalam rangka memperkuat dan meningkatkan pencegahan dan pemberantasan korupsi, pemerintah sependapat dengan DPR untuk membahas perubahan UU KPK,’’ terangnya.

Ada tiga poin yang disampaikan Yasonna. Pertama, soal pengangkatan dewan pengawas KPK.

- Advertisement -

Menurut dia, pemerintah berpandangan bahwa pengangkatan ketua dan anggota dewan pengawas merupakan kewenangan presiden. Namun, pengangkatan dewan pengawas harus tetap melalui panitia seleksi. Juga, membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan mengenai rekam jejak calon anggota dewan pengawas.

Kedua, Yasonna menyampaikan keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK. Menurut dia, untuk menjaga penegakan hukum, perlu membuka ruang serta mengakomodasi penyelidik dan penyidik berstatus aparatur sipil negara (ASN). Namun, pemerintah mengusulkan rentang waktu dua tahun sebagai masa peralihan.

- Advertisement -

Poin ketiga, pemerintah juga sepakat soal penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). ”Tanggapan pemerintah secara terperinci akan disampaikan dalam DIM (daftar inventarisasi masalah, Red),” ujarnya. Namun, menteri asal PDI Perjuangan itu belum mau membuka isi DIM.

Wakil Ketua Baleg DPR Sudiro Asno mengungkapkan, pihaknya akan membentuk panita kerja (panja) untuk membahas revisi UU KPK. Hari ini setiap fraksi diminta mengirimkan wakil untuk membahas perubahan UU tersebut.

Baca Juga:  Tiket Presale Film "Kajeng Kliwon" Ludes di Bali

Haryono Umar, mantan komisioner KPK, mengatakan bahwa masyarakat harus ikut mengawasi pembahasan revisi UU KPK. ”Pembahasan harus dilakukan secara terbuka dan transparan,” ungkap dia. Dengan keterbukaan, publik bisa ikut memantau pembahasan setiap pasal krusial yang diajukan DPR dan pemerintah.

Dia juga meminta pemerintah terbuka terkait DIM yang diserahkan ke DPR. Dengan begitu, masyarakat bisa mengetahui apa saja materi revisi yang diajukan pemerintah. Saat ini publik baru mengetahui poin-poin revisi versi DPR. Haryono mengungkapkan, Presiden Joko Widodo telah berjanji tidak mengurangi independensi dan tidak melemahkan KPK. Karena itu, masyarakat perlu tahu DIM yang diajukan pemerintah.

Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas menilai keputusan presiden mengeluarkan surpres adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Apalagi, dia sudah terpilih untuk periode kedua dan pernah berjanji tidak akan melemahkan KPK. Padahal, seharusnya secara undang-undang, presiden punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkan surat revisi UU dari DPR. Waktu selama itu semestinya digunakan untuk menampung aspirasi dari berbagai kalangan.

”Apa lagi kesimpulannya kalau ini bukan kolaborasi antara parpol-parpol di Senayan dan istana?” tudingnya.

Uji kelayakan dan kepatutan yang telah berlangsung juga dinilai sebagai cara kasar legislatif dalam pelemahan KPK. Para calon pimpinan ditanyai soal dukungan terhadap revisi UU dan itu menjadi salah satu tolok ukur untuk meloloskan capim ke kursi tertinggi KPK. Busyro menyatakan, tidak akan ada harapan selama DPR diberi kewenangan melakukan fit and proper test.

Dia menyarankan masyarakat agar bersama-sama menuntut perubahan terhadap aturan DPR sendiri. Perlu dipertanyakan kapasitas DPR dalam menguji calon pejabat publik. ”Ayo, ramai-ramai masyarakat geruduk secara hukum demi penghormatan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat,” lanjutnya.

Baca Juga:  Soal Keringanan Pajak, DPR Ingatkan Menkeu Sri Mulyani Agar Tak Diskriminatif

Sementara itu, pimpinan KPK bersama ribuan pegawai KPK menggelar aksi di lobi gedung lembaga mereka kemarin. Aksi itu merupakan sikap perlawanan terhadap pernyataan dan manuver kontroversial terkait tahapan seleksi calon pimpinan (capim) KPK serta revisi UU KPK yang tengah bergulir di DPR saat ini.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut serangan-serangan terhadap pemberantasan korupsi belakangan ini membuat gerakan antikorupsi dalam kondisi mengkhawatirkan. Karena itu, dia berharap suara-suara penolakan terhadap revisi UU KPK dan capim bermasalah didengar para pengambil keputusan. Baik di DPR maupun pemerintahan.

”Kami sudah melihat rencana UU-nya, itu pun dilihat di berita-berita karena secara resmi kami di KPK tidak dilibatkan,” katanya.

”Berbeda dengan sebelumnya, kami dilibatkan melalui undangan dalam rapat-rapat di DPR, tetapi hari ini kita terkejut karena hal itu begitu cepat,” lanjut Agus.

Menurut dia, pemerintah dan DPR semestinya menyelesaikan RUU KUHP, memperbaiki UU Tipikor, baru kemudian masuk ke UU KPK.

Di sisi lain, langkah Jokowi menyetujui RUU KPK dinilai bentuk pengingkaran janji terhadap pemberantasan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, ada beberapa catatan penting dalam persetujuan revisi itu.

Di antaranya, presiden terlihat tergesa-gesa dalam mengirimkan surpres ke DPR tanpa ada pertimbangan matang. Padahal, pasal 49 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 secara tegas memberikan tenggat 60 hari kepada presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR.

”Seharusnya waktu itu digunakan presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahkan KPK,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – DPR dan pemerintah benar-benar mengebut pembahasan revisi UU KPK. Hanya sehari setelah surat presiden (surpres) dikirim, tadi malam Badan Legislasi (Baleg) DPR langsung bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly.

Dalam rapat yang digelar sekitar pukul 20.18 itu, Yasonna menyampaikan kesiapan pemerintah membahas revisi UU KPK. Dia menjelaskan pandangan umum untuk menjawab surat dan draf perubahan yang disampaikan DPR.

’’Dalam rangka memperkuat dan meningkatkan pencegahan dan pemberantasan korupsi, pemerintah sependapat dengan DPR untuk membahas perubahan UU KPK,’’ terangnya.

Ada tiga poin yang disampaikan Yasonna. Pertama, soal pengangkatan dewan pengawas KPK.

Menurut dia, pemerintah berpandangan bahwa pengangkatan ketua dan anggota dewan pengawas merupakan kewenangan presiden. Namun, pengangkatan dewan pengawas harus tetap melalui panitia seleksi. Juga, membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan mengenai rekam jejak calon anggota dewan pengawas.

Kedua, Yasonna menyampaikan keberadaan penyelidik dan penyidik independen KPK. Menurut dia, untuk menjaga penegakan hukum, perlu membuka ruang serta mengakomodasi penyelidik dan penyidik berstatus aparatur sipil negara (ASN). Namun, pemerintah mengusulkan rentang waktu dua tahun sebagai masa peralihan.

Poin ketiga, pemerintah juga sepakat soal penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). ”Tanggapan pemerintah secara terperinci akan disampaikan dalam DIM (daftar inventarisasi masalah, Red),” ujarnya. Namun, menteri asal PDI Perjuangan itu belum mau membuka isi DIM.

Wakil Ketua Baleg DPR Sudiro Asno mengungkapkan, pihaknya akan membentuk panita kerja (panja) untuk membahas revisi UU KPK. Hari ini setiap fraksi diminta mengirimkan wakil untuk membahas perubahan UU tersebut.

Baca Juga:  Soal Keringanan Pajak, DPR Ingatkan Menkeu Sri Mulyani Agar Tak Diskriminatif

Haryono Umar, mantan komisioner KPK, mengatakan bahwa masyarakat harus ikut mengawasi pembahasan revisi UU KPK. ”Pembahasan harus dilakukan secara terbuka dan transparan,” ungkap dia. Dengan keterbukaan, publik bisa ikut memantau pembahasan setiap pasal krusial yang diajukan DPR dan pemerintah.

Dia juga meminta pemerintah terbuka terkait DIM yang diserahkan ke DPR. Dengan begitu, masyarakat bisa mengetahui apa saja materi revisi yang diajukan pemerintah. Saat ini publik baru mengetahui poin-poin revisi versi DPR. Haryono mengungkapkan, Presiden Joko Widodo telah berjanji tidak mengurangi independensi dan tidak melemahkan KPK. Karena itu, masyarakat perlu tahu DIM yang diajukan pemerintah.

Mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas menilai keputusan presiden mengeluarkan surpres adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Apalagi, dia sudah terpilih untuk periode kedua dan pernah berjanji tidak akan melemahkan KPK. Padahal, seharusnya secara undang-undang, presiden punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkan surat revisi UU dari DPR. Waktu selama itu semestinya digunakan untuk menampung aspirasi dari berbagai kalangan.

”Apa lagi kesimpulannya kalau ini bukan kolaborasi antara parpol-parpol di Senayan dan istana?” tudingnya.

Uji kelayakan dan kepatutan yang telah berlangsung juga dinilai sebagai cara kasar legislatif dalam pelemahan KPK. Para calon pimpinan ditanyai soal dukungan terhadap revisi UU dan itu menjadi salah satu tolok ukur untuk meloloskan capim ke kursi tertinggi KPK. Busyro menyatakan, tidak akan ada harapan selama DPR diberi kewenangan melakukan fit and proper test.

Dia menyarankan masyarakat agar bersama-sama menuntut perubahan terhadap aturan DPR sendiri. Perlu dipertanyakan kapasitas DPR dalam menguji calon pejabat publik. ”Ayo, ramai-ramai masyarakat geruduk secara hukum demi penghormatan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat,” lanjutnya.

Baca Juga:  Musim Hujan, Waspada Anak Terserang Diare dan Tifus

Sementara itu, pimpinan KPK bersama ribuan pegawai KPK menggelar aksi di lobi gedung lembaga mereka kemarin. Aksi itu merupakan sikap perlawanan terhadap pernyataan dan manuver kontroversial terkait tahapan seleksi calon pimpinan (capim) KPK serta revisi UU KPK yang tengah bergulir di DPR saat ini.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut serangan-serangan terhadap pemberantasan korupsi belakangan ini membuat gerakan antikorupsi dalam kondisi mengkhawatirkan. Karena itu, dia berharap suara-suara penolakan terhadap revisi UU KPK dan capim bermasalah didengar para pengambil keputusan. Baik di DPR maupun pemerintahan.

”Kami sudah melihat rencana UU-nya, itu pun dilihat di berita-berita karena secara resmi kami di KPK tidak dilibatkan,” katanya.

”Berbeda dengan sebelumnya, kami dilibatkan melalui undangan dalam rapat-rapat di DPR, tetapi hari ini kita terkejut karena hal itu begitu cepat,” lanjut Agus.

Menurut dia, pemerintah dan DPR semestinya menyelesaikan RUU KUHP, memperbaiki UU Tipikor, baru kemudian masuk ke UU KPK.

Di sisi lain, langkah Jokowi menyetujui RUU KPK dinilai bentuk pengingkaran janji terhadap pemberantasan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, ada beberapa catatan penting dalam persetujuan revisi itu.

Di antaranya, presiden terlihat tergesa-gesa dalam mengirimkan surpres ke DPR tanpa ada pertimbangan matang. Padahal, pasal 49 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 secara tegas memberikan tenggat 60 hari kepada presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR.

”Seharusnya waktu itu digunakan presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahkan KPK,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari