Selain lihai memainkan gambus, masyarakat Suku Talang Mamak yang tinggal di sepanjang aliran Batang Gangsal di pedalaman hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), juga pandai berpantun. Seperti arus sungai itu, kesenian ini mengalir deras dari satu generasi ke generasi berikutnya.
(RIAUPOS.CO) – BENGAYAWAN. Inilah nama dusun itu; salah satu dusun yang berada di sepanjang Sungai (Batang) Gangsal. Dusun ini hanya dihuni 17 Kepala Keluarga (KK). Dusun ini masuk dalam wilayah administrasi Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu. Letaknya cukup jauh dari ibu desa Rantu Langsat.
Perlu waktu sekitar 3 jam lewat jalur darat dengan kondisi jalan tanah yang naik turun, berdebu saat panas, dan licin saat hujan.Kendaraan yang bisa digunakan hanya sepeda motor. Tidak pula semua sepeda motor. Lebih nyaman motor trail atau paling tidak bukan motor bebek dan sejenisnya.
Menuju Dusun Bengayawan ini bisa juga ditempuh lewat jalur sungai, tapi bisa menghabiskan waktu 3-5 jam, tergantung kondisi air. Jika curah hujan tinggi, bisa lebih cepat. Tapi jika musim kering, bisa lebih dari lima jam. Bahkan harus sering turun dari perahu dan mendorong perahu yang kandas ke dasar sungai.
Di sepanjang jalan, sering ditemukan tanaman buah, khususnya di sepanjang tepian sungai. Ada pohon nangka, kelapa, manggis, duku dan durian. Menjelang perkampungan ada kebun karet. Banyak pula pohon-pohon besar, lebih besar dari bentangan dua tangan manusia dewasa. Di bawahnya, sering ada wadah bertutup kain berisi sesuatu; sesajen.
Tiba di dusun ini pagi menjang siang, setelah menginap semalaman di Dusun Lemang. Jika berangkat siang dari Kota Pekanbaru, mau tidak mau harus menginap dulu di dusun ini. Dusun Lemang ini merupakan dusun pertama yang juga merupakan pintu masuk ke dusun-dusun lain yang berada di sepanjang aliran Batang Gangsal.
Menginjakkan kaki di Dusun Bengayawan menjelang siang itu, yang terfikir sepi. Harusnya para orang tua kerja dan anak-anak sekolah. Tapi sebaliknya, ramai. Anak-anak bermain di tepi sungai antara perahu yang ditambat, dan para orang tua duduk-duduk di depan rumah. Sebagian di kursi panjang, sebagian di tangga rumah bagian depan.
Manis sungguh buah durian
Jatuhnya pagi menjelang siang
Selamat datang di Dusun Bengayawan
Semoga Bapak Ibu senang dan nyaman
"Silakan duduk," kata Pak Subuh, tetua di Dusun Bengayawan.
Pak Subuh adalah tetua atau orang yang dituakan di dusun ini. Melihat ada tamu, dia langsung berpantun dan mempersilakan duduk. Baru kemudian ia bertanya dari mana dan ada keperluan apa.
Perbincangan sangat singkat, selebihnya banyak tertawa dan beramah tamah. Saat diminta memainkan gambus yang sedari tadi melekat di tangannya, Pak Subuh tidak menolak. Ia memainkan gambus dan menyanyikan pantun yang diungkapkan tadi. Maka, denting gambus petalangan pun menyeruak ke setiap ceruk belantara.
Roya, istri Pak Subuh yang duduk manis di sampingnya, juga pandai menyanyikan pantun tersebut. Sesekali dia yang menyanyi. Bahkan, dia pandai bermain gambus.
"Orang sini pandai berpantun semua, pandai bergambus juga. Nanti kalau Bapak Ibu lama di sini, juga akan pandai. Maka jangan cepat-cepat pulang," kata Pak Subuh ramah sambil tertawa.
Pak Subuh dan istrinya berpantun dan bergambus bukan hanya karena tamu datang saja. Setiap hari mereka memang berpantun dan bermain gambus. Orang tua hingga remaja, lelaki dan perempuan, pandai berpantun dan bergambus. Istrinya juga pandai. Tak heran jika di setiap rumah ada gambus dengan ukuran yang beragam pula.
Pak Subuh, selain lihai bermain gambus, ia juga membuat gambusnya sendiri. Gambus ini dibuat dari kayu khusus. Tidak sembarang kayu. Tapi, gambus yang bagus dibuat dari kayu pohon nangka.
"Kalau tak ada kayu, tak bisa kami buat gambus, apalagi rumah. Maka kayu hutan tak boleh habis. Kami menjaganya bersama," kata Pak Subuh lagi.
Pak Subuh dan warga lainnya tidak permah menebang pohon. Kalaupun menebang hanya untuk keperluan membuat rumah. Kayu bakar untuk keperluan masak diambil dari pohon yang sudah mati atau kayu kering. Pohon, bagi warga Bengayawan, harus dihormati. Ia juga hidup, diberi hak hidupnya. Bahkan masih banyak yang percaya pohon juga memiliki zat yang harus dimuliakan.