(RIAUPOS.CO) – Belum sepekan diundangkan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 langsung disambut gelombang protes dari kalangan pekerja/buruh. Sebab, permenaker yang diundangkan pada 4 Februari itu menyatakan bahwa jaminan hari tua (JHT) baru bisa dicairkan saat peserta berusia 56 tahun.
Akibat aturan baru tersebut, karyawan yang berhenti bekerja sebelum usia 56 tahun belum bisa menerima dana JHT. Baik itu berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Permenaker 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT akan berlaku tiga bulan setelah diundangkan. Dengan berlakunya aturan baru tersebut, Permenaker 19/2015 resmi dicabut.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Dita Indah Sari menjelaskan, JHT merupakan amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan turunannya. Tujuannya, pekerja menerima uang tunai saat sudah pensiun, cacat tetap, atau meninggal. ”JHT adalah kebun jati, bukan kebun mangga. Panennya lama. Jadi, sifatnya old saving,” ungkapnya saat dikonfirmasi terkait dengan JHT ini, Sabtu (12/2).
Dia memahami banyaknya keluhan soal JHT yang tidak bisa langsung diambil setelah PHK terjadi. Namun, kondisi itu sebetulnya sudah diantisipasi dengan program baru di BPJS Ketenagakerjaan. Yakni, program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) untuk korban PHK. Jadi, selain pesangon, korban PHK akan mendapat JKP dalam bentuk uang tunai, pelatihan gratis, hingga akses lowongan kerja (loker).
Dita menekankan, tidak ada iuran tambahan untuk JKP. Pemerintah telah menyetor dana Rp6 triliun sebagai anggaran awal jaminan korban PHK ini. ”Dulu JKP nggak ada. Wajar jika dulu teman-teman ter-PHK berharap sekali pada pencairan JHT,” ujarnya.
Namun, karena kini sudah ada JKP dan pesangon, JHT digeser agar manfaat BPJS Ketenagakerjaan bisa tersebar. JHT pun dikembalikan ke asalnya sebagai jaminan untuk hari tua sesuai dengan UU SJSN 40/2004.
Selain itu, lanjut dia, JHT bukan berarti tidak bisa diutak-atik sama sekali. Klaim JHT tetap bisa dicairkan untuk persiapan masa pensiun dengan ketentuan telah memenuhi masa kepesertaan minimal 10 tahun. Nah, nilai yang diklaim bisa sebesar 30 persen untuk perumahan atau 10 persen untuk keperluan lainnya. Aturan itu berlaku bagi peserta yang masih bekerja maupun yang mengalami PHK. ”Tanpa mengurangi total nilai yang diterima saat pensiun,” jelasnya.
Dia menegaskan, keputusan itu pun sudah dikonsultasikan dengan pekerja dalam forum Tripartit Nasional. Aturan tersebut merupakan wujud kehadiran negara pada saat ini dan masa depan. Apalagi, masa tua sangat penting.
Disinggung tentang petisi yang berisi penolakan masyarakat terhadap aturan JHT ini, Dita tidak mempersoalkannya. Menurut dia, wajar jika pendapat orang berbeda-beda. Pihaknya pun berusaha menjelaskan maksud dan tujuan dari aturan tersebut. ”Dulu UU Ciker (Cipta Kerja, red) juga ditolak, dari petisi, demo, sampai ke MK. Ya, kami jelaskan terus,” katanya.
Pada kesempatan lain, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa Permenaker 2/2022 ini secara yuridis sudah sesuai dengan UU SJSN. Khususnya tertera pada pasal 35 dan 37 juncto PP 46/2015. ”Jadi, kalau tidak setuju, gugat dulu UU SJSN ke MK. Menaker sudah benar mengikuti UU SJSN dan PP 46,” ujarnya.
Salah satu alasan gelombang protes adalah JHT bisa dicairkan saat kehilangan pekerjaan. Namun, menurut Timboel, JKP sudah memberikan manfaat. Dia menuturkan, pekerja yang ter-PHK dapat mengakses bantuan tunai untuk mengganti JHT.
Secara filosofis, menurut dia, Permenaker 2/2022 memastikan pekerja yang memasuki usia pensiun memiliki tabungan. ”Sehingga tidak jatuh ke jurang kemiskinan pada masa tua,” ujarnya.
Manfaat lainnya, menurut Timboel, bisa dilihat dari sisi ekonomis. Uang buruh di JHT diinvestasikan dengan imbal hasil lebih tinggi daripada imbal hasil deposito biasa. ”Jangan takut hilang karena sesuai dengan UU BPJS uang buruh dijamin APBN,” tuturnya.
Timboel menegaskan, JHT tidak kaku hanya bisa diambil pada usia 56 tahun. ”Mengacu pada pasal 37 UU SJSN juncto PP 46/2015, JHT bisa dicairkan sebagian bila sudah menjadi peserta minimal 10 tahun,” ungkapnya. Namun, besarannya hanya 10–30 persen.
Berbeda dengan Timboel, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut, pemerintah seperti tidak bosan menindas kaum buruh. Dengan aturan itu, JHT buruh yang terkena PHK ketika berusia 30 tahun baru bisa diambil 26 tahun kemudian atau saat berusia 56 tahun.
Menurut dia, aturan tersebut sangat kejam bagi buruh dan keluarganya. Apalagi, pandemi Covid-19 belum usai dan ditambah merebaknya varian Omicron. Artinya, potensi PHK masih tinggi. Said meminta pemerintah mencabut Permenaker 2/2022. KSPI bakal berunjuk rasa bersama Partai Buruh di kantor Kemenaker jika tuntutan itu tidak didengarkan. Dia curiga ada maksud tersembunyi di balik terbitnya beleid tersebut.
”Apa urgensi di tengah kondisi sekarang ini dikeluarkan permenaker itu? Apa pemerintah kekurangan anggaran sehingga mau meminjam dana JHT untuk mempersiapkan gelombang Covid-19 atau pembangunan-pembangunan lainnya?” ujarnya.
Penolakan juga disuarakan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia). Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menyatakan, JHT adalah hak pekerja. Sebab, iurannya dibayarkan pemberi kerja dan pekerja. ”Tidak ada alasan untuk menahan uang pekerja. JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan adalah dana milik pekerja, bukan milik pemerintah. Jangan membuat kebijakan yang merugikan pekerja dan rakyat Indonesia!” serunya.
Dia menjelaskan, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulan. Besarannya 2 persen dari upah sebulan. Juga, 3,7 persen dari upah sebulan dibayar pemberi kerja atau perusahaan. Dia menuturkan, JHT sangat dibutuhkan para pekerja. Baik untuk memenuhi kebutuhan hidup pasca-PHK maupun memulai usaha. Belum lagi, sejumlah kasus pekerja terkena PHK tanpa pesangon.
”Karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Pekerja sangat berharap bisa mencairkan JHT yang menjadi haknya. Pemerintah jangan semena-mena menahan hak pekerja,” tegasnya.
Dia menduga, ada yang tidak beres dengan BPJS Ketenagakerjaan. Mungkin BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki dana yang cukup dari pengembangan dana peserta. Akibatnya, ada potensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Aspek Indonesia mendesak pemerintah membatalkan Permenaker 2/2022 sekaligus kembali pada Permenaker 19/2015. Dalam Permenaker lama, manfaat JHT dapat dicairkan untuk pekerja yang berhenti bekerja. Baik karena mengundurkan diri maupun terkena PHK. Dana akan dibayarkan secara tunai. Tentu setelah melewati masa tunggu sebulan. Terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau tanggal PHK.(mia/lyn/han/c14/oni/das)
Laporan JPG, Jakarta