BULAN Ramadan adalah bulan istimewa. Apalagi di saat wabah Covid-19 melanda seluruh penjuru dunia. Ramadan kali ini kita diminta lebih banyak stay at home. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Sebagai mukmin tentu kita ingin memanfaatkan “momentum” ini secara optimal, antara lain untuk mentadabburi Alquran. Ramadan sering disebut sebagai bulan Alquran (syahr Alquran), setidaknya karena dua hal.
Pertama, pada bulan Ramadanlah Allah menurunkan Alquran sebagaimana firman-Nya: "Bulan Ramadan bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil." (QS al-Baqarah [2]: 185).
Allah SWT juga berfirman: "Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran pada suatu malam yang diberkahi”" (QS ad-Dukhan [44]: 3). Dalam surat al-Qadr ayat 1 Allah juga menegaskan : "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada lailatul qadar (malam kemuliaan)"
Kedua, pada bulan ini pula biasanya kaum Muslim lebih banyak dan lebih sering membaca dan mengkaji Alquran dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Kali ini, aktivitas tadarus Alquran (saat wabah Covid-19) dapat dilakukan di rumah secara maksimal. In sya Allah amal sholeh ini akan memperoleh balasan berlipat ganda. Sebab, di luar Ramadan saja, Baginda Rasulullah SAW. telah menjanjikan pahala dari Allah berupa sepuluh kebaikan bagi setiap huruf Alquran yang kita baca (HR at-Tirmidzi). Pahala membaca Alquran tentu akan makin berlipat ganda jika dilakukan selama Ramadan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. (HR Ibn Khuzaimah).
Namun demikian, sejatinya kaum Muslim tidak lantas berhenti di sini. Apalagi merasa puas hanya dengan kegiatan membaca Alquran. Umat Islam hendaknya tidak hanya memperlakukan Alquran sebagai kitab bacaan. Sebab, dalam Surat al-Baqarah ayat 185 jelas bahwa Alquran Allah turunkan agar berfungsi sebagai hudan] (petunjuk), bayyinât (penjelasan) dan furqan] (pembeda; yang haq dengan yang batil) (QS al-Baqarah [2]: 125). Dalam ayat lain Alquran juga menegaskan dirinya sebagai penjelas segala sesuatu (tibyân[an] li kulli syay’[in]), petunjuk (hud[an]) dan rahmat (rahmat[an]) bagi manusia (QS an-Nahl [16]: 89). Al-Quran bahkan merupakan obat penawar bagi kaum Mukmin (QS al-Isra’ [17]: 82)
Pertanyaannya, sudahkah kaum Muslim saat ini mendudukkan Alquran sesuai dengan seluruh fungsinya di atas? Ataukah Alquran saat ini baru dijadikan sebagai kitab bacaan semata? Jangan Mengabaikan Alquran Allah SWT berfirman: “Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Alquran ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30). Ayat tersebut menceritakan bahwa Rasulullah SAW mengadukan kepada Allah SWT perilaku umatnya yang menjadikan Alquran sebagai mahjûran. Kata mahjûran merupakan bentuk maf‘ûl. Ia bisa berasal dari kata al-hujr, yakni kata-kata keji dan kotor. Dengan demikian, maksud ayat ini, mereka mengucapkan kata-kata batil dan keji terhadap Alquran, seperti tuduhan Alquran adalah sihir, syair atau dongengan orang-orang terdahulu (QS al-Anfal [8]: 31). (Ash-Shabuni, I/260). Kata mahjûr[an] juga bisa berasal dari kata al-hajr, yakni at-tark (meninggalkan, mengabaikan). Jadi, mahjûr[an] juga bisa bermakna matrûk[an] (yang ditinggalkan, diabaikan) (Al-Qanuji, IX/305).
Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufassir dikategori hajr Alquran (meninggalkan atau mengabaikan Alquran). Di antaranya adalah menolak untuk mengimani dan membenarkannya; tidak men-tadabbur-i dan memahaminya; tidak mengamalkan dan mematuhi perintah dan larangannya; berpaling darinya menuju yang lain baik berupa syair, ucapan, nyanyian, permainan, ucapan atau tharîqah yang diambil dari selainnya; tidak mau menyimak dan mendengarkan Alquran (Ibn Katsir, I/1335). Tidak mau berhukum dengan Alquran, baik dalam perkara ushûl ad-dîn maupun furû’-nya, menurut Ibnu al-Qayyim, juga terkategori meninggalkan atau mengabaikan Alquran (Wahbah Zuhaili, IXX/61). Semua tindakan tersebut haram (dosa) karena dikaitkan dengan ayat berikutnya:
"Seperti itulah Kami mengadakan bagi tiap-tiap nabi musuh dari para pendosa" (QS al-Furqan [25]: 31). Dalam ayat ini, jelas orang-orang yang meninggalkan dan mengabaikan Alquran disejajarkan dengan musuh para nabi dari kalangan para pendosa. Jika kita cermati, gejala pengabaian Alquran banyak dilakukan kaum Muslim—baik secara sadar ataupun tidak—dari berbagai level. Pertama: pada level masyarakat Muslim kebanyakan (awam), baik di kalangan bawah maupun kalangan menengah, kita sudah lama menyaksikan bagaimana Alquran sekadar disimpan di rak-rak buku tanpa pernah dibaca, apalagi dikaji isinya dan diamalkan dalam realitas kehidupan. Kalaupun dibaca, biasanya sekadar pada bulan Ramadan, seperti saat ini. Karena jarang dibaca, otomatis Alquran pun jarang dikaji. Karena jarang dikaji, otomatis pula Alquran jarang diamalkan. Masyarakat lebih tertarik dan bersemangat untuk membaca WhatsApp atau rajin menonton youtube, misalnya, ketimbang membaca Alquran.
Kedua, pada sebagian kaum intelektual, kita juga menyaksikan bagaimana Alquran diperlakukan secara ‘semena-mena’; sesekali dikritisi, bahkan tak jarang digugat—meskipun tentu tidak secara terang-terangan alias dibungkus dengan berbagai istilah dan jargon, seperti ‘reaktualisasi’ ataupun ‘reinterpretasi’ Alquran. Munculnya sikap ‘kritis’ terhadap Alquran tidak lain karena didasarkan pada praanggapan bahwa Alquran—meskipun dipandang suci—hakikatnya adalah kumpulan teks, yang sama dengan teks-teks lain.
Ketiga, pada level negara/penguasa, upaya mengabaikan Alquran sesungguhnya lebih kentara lagi. Bagaimana tidak? Selama ini, Alquran nyaris tidak dilirik sebagai sumber solusi atas persoalan bangsa dan negara. Padahal Allah SWT telah mengingatkan: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah mengimani apa saja yang telah diturunkan kepadamu dan pada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum pada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkarinya. Setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya” (QS an-Nisa’ [4]: 60).***