JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada beberapa hari belakangan ini. ICW menilai, kinerja KPK kini terhambat dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menilai, OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Bupati Sidoarjo, Jawa Timur Saiful Ilah bukan karena relevansi pimpinan KPK dan UU KPK hasil revisi. Justru, adanya UU KPK hasil revisi menghambat kinerja KPK.
"UU KPK baru (UU No 19 Tahun 2019) terbukti mempersulit kinerja KPK dalam melakukan berbagai tindakan pro justicia," kata Kurnia dalam keterangannya, Minggu (12/1).
ICW menyebut, terdapat dua kejadian penting yang menghambat kinerja KPK dalam operasi senyap yang melibatkan politikus PDI Perjuangan dan KPU RI. Penyidik KPK terhambat melakukan penyegelan di kantor PDI Perjuangan, untuk dilanjutkan penggeledahan setelah proses penyidikan dimulai.
"Ini disebabkan adanya Pasal 37 B ayat (1) UU KPK baru yang menyebutkan bahwa tindakan penggeledahan mesti atas seizin Dewan Pengawas. Padahal dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," sesal Kurnia.
"Logika sederhana saja, bagaimana mungkin tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti dapat berjalan dengan tepat serta cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas? Belum lagi persoalan waktu, yang mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti," sambungnya.
Selain itu, lanjut Kurnia, ICW pun menyoroti tindakan dugaan menghalang-halangi penyidikan kasus pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 itu. Menurutnya, hal ini pun dampak dari UU KPK hasil revisi.
"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap upaya menghalang-halangi proses hukum dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menggunakan Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Harusnya setiap pihak dapat kooperatif dengan proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK," tegas Kurnia.
Kurnia pun menegaskan, dengan kondisi seperti ini dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata. Sebab, keberlakukan UU KPK justru menyulitkan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga anti rasuah tersebut.
"Presiden Joko Widodo agar tidak buang badan saat kondisi KPK yang semakin lemah akibat berlakunya UU KPK baru. Penerbitan Perppu harus menjadi prioritas utama dari Presiden untuk menyelamatkan KPK," pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal