JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Desakan sejumlah gubernur agar Presiden Jokowi menerbitkan perppu pembatalan UU Cipta Kerja dianggap bakal sia-sia. Sebab, selama ini justru Jokowi yang mendesak agar penyelesaian UU tersebut dipercepat.
Pengamat hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan, perppu hanya bisa dikeluarkan jika ada kegentingan yang merupakan penilaian subjektif presiden. "Padahal, kita tahu bahwa Pak Jokowi sendiri yang menyebut (omnibus law) di pidato pelantikannya kok," lanjut Bivitri.
Bivitri menyatakan, dari segi proses legislasi, penyusunan UU Cipta Kerja jelas melanggar. Apalagi setelah beberapa anggota Baleg DPR mengakui bahwa draf UU Cipta Kerja belum final dan masih dirapikan.
Menurut Bivitri, seharusnya yang disetujui dalam sidang paripurna adalah draf yang betul-betul final. Tidak perlu dirapikan lagi. Bahkan, saat menyampaikan pandangan umum dalam paripurna, fraksi-fraksi harus yakin bahwa yang mereka beri pandangan itu sudah selesai dibahas.
"Seandainya ini mau dipermasalahkan dan diuji karena prosesnya yang salah, menurut saya ini akan sangat kuat," ungkap Bivitri kepada Jawa Pos (JPG), Jumat (9/10).
Sementara itu, meski Presiden Jokowi telah meluruskan disinformasi terkait dengan UU Cipta Kerja, kalangan buruh belum puas. Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyo menyebutkan bahwa langkah Jokowi tak akan membuat buruh tenang. "Masalah ini akan selesai kalau draf final UU itu dipublikasikan, disampaikan," tegasnya dalam diskusi virtual, Sabtu (10/10).
Kahar menjelaskan, hingga kini serikat buruh masih merujuk pada salinan draf yang diperoleh ketika pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU Ciptaker. "Acuan kami adalah hasil pembahasan di panja yang sudah kami beri masukan melalui tim," urai dia.
Pada kesempatan yang sama, anggota DPR dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf mengatakan, sejak RUU Cipta Kerja disahkan, PKS belum menerima draf final UU tersebut. Fraksi PKS pun mengirimkan surat kepada badan legislasi (baleg) untuk meminta draf final UU Cipta Kerja.
Menurut dia, bisa saja draf yang beredar di masyarakat itu berbeda dengan yang sudah final. Bukhori pun hanya mendapatkan draf RUU Cipta Kerja tertanggal 2 Oktober. Dia merasa perlu mendapatkan draf itu agar pihaknya dapat menyisir pasal-pasal yang mungkin merugikan dan mengakibatkan kesalahpahaman berbagai pihak.
"Selama saya jadi anggota DPR 2009, 2014, dan sampai sekarang, baru kali ini ada pembahasan undang undang yang luar biasa. Luar biasa isunya, luar biasa cakupannya, dan luar biasa speed pembahasannya. Ini belum pernah dilakukan sepanjang negara ini merdeka," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr HM Hidayat Nur Wahid MA meminta Presiden Joko Widodo mendengarkan penolakan rancangan undang-undang (RUU) Ciptaker dari sejumlah kalangan. Khususnya para kepala daerah yang meneruskan aspirasi warganya.
Hidayat Nur Wahid (HNW) mengingatkan, meski Indonesia merupakan negara kesatuan, bukan negara federal, tetapi kedudukan daerah sangat penting dalam Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Ketentuan Pasal 18 ayat (2) menjamin adanya asas otonomi daerah dan Pasal 18 ayat (4) memberikan kewenangan otonomi yang seluas-luasnya," ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (10/10).
Oleh karena itu, HNW menegaskan bahwa suara daerah perlu didengar agar pemerintahan tidak kembali ke sistem sentralistik seperti di era Orde Baru. Ia menegaskan bahwa para kepala daerah lah yang harus berhadapan langsung dengan gelombang rakyat yang menolak RUU Ciptaker karena dianggap merugikan masyarakat. Sehingga wajar apabila mereka menyuarakan tuntutan tersebut.
"Saya mengapresiasi para kepala daerah yang sudah bersuara dan menyalurkan aspirasi rakyat yang dipimpinnya. Para kepala daerah yang telah menemui para demonstran dan menyerapkan aspirasi mereka merupakan contoh pemimpin yang baik. Bukan pemimpin yang justru 'meninggalkan' rakyatnya yang ingin menyalurkan aspirasi," ujarnya.
Sebagai informasi, sejumlah kepala daerah memang menyalurkan aspirasi, beberapa diantaranya atau tegas menolak RUU Ciptaker tersebut. Para Kepala Daerah, itu di antaranya, adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubuernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, dan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji. Selain itu, tidak sedikit bupati atau wali kota yang menyerukan aspirasi serupa.
HNW menuturkan, penolakan para kepala daerah dari beragam latar belakang partai politik tersebut menunjukan bahwa RUU Ciptaker ini ditolak oleh berbagai kalangan, bukan hanya dua fraksi di DPR RI saja. "Para kepala daerah itu berasal dari afiliasi politik yang berbeda, dan yang mereka suarakan murni suara daerah dan rakyat yang dipimpinnya," ujarnya.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang justru terburu-buru memerintahkan seluruh gubernur mendukung RUU Ciptaker ini. "Seharusnya Presiden mendengar dan mempertimbangkan dengan seksama terlebih dahulu, aspirasi rakyat dari daerah itu," ujarnya.
HNW meminta Presiden Jokowi untuk mengambil sikap dengan bersiap menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar kegaduhan dan kegentingan akibat disetujuinya RUU Ciptaker itu dapat diakhiri. "Ini saatnya Presiden Jokowi menunjukan kepemimpinannya dengan mengakomodasi kepentingan rakyat dan daerah, serta jaminan keberlangsungan sistem otonomi daerah yang sudah disepakati bersama sejak reformasi," ujarnya.(dee/deb/c19/oni)