SEOUL (RIAUPOS.CO) – Pidato pertama Yoon Suk-yeol langsung membahas Korea Utara (Korut). Presiden baru Korea Selatan (Korsel) itu meminta Pyongyang melakukan denuklirisasi. Sebagai gantinya, Seoul siap memberikan bantuan besar-besaran untuk membangkitkan perekonomian negara yang dipimpin Kim Jong-un tersebut.
"Jika Korut benar-benar memulai proses untuk menyelesaikan denuklirisasi, kami siap bekerja dengan komunitas internasional untuk memberikan rencana besar yang bakal sangat memperkuat ekonomi Korut dan meningkatkan kualitas hidup rakyatnya," tegas Yoon, Selasa (10/5) seperti dikutip Agence France-Presse. Pelantikan Yoon itu juga dihadiri langsung mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri.
Pendahulu Yoon, Moon Jae-in, sudah lebih dulu mencoba merangkul Korut. Proses tersebut awalnya berhasil. Terlebih, Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS) kala itu, mendukung keinginan Moon. Sejumlah pertemuan tiga pihak antara Jong-un, Moon, dan Trump dilakukan beberapa kali dan hubungan dua Korea sempat membaik.
Sayangnya, dalam KTT di Hanoi, Vietnam, pada 2019, tidak ada kata sepakat antara Korut dan AS. Jong-un yang merasa sudah melakukan banyak hal untuk denuklirisasi meminta Washington mencabut sebagian sanksi. Korut saat itu telah menghancurkan sebagian fasilitas uji coba senjata nuklirnya. Namun, AS menolak permintaan Korut. Sebagian media menulis telah terjadi salah penerjemahan di antara kedua negara sehingga proses negosiasi gagal.
Berbeda dengan Moon, Yoon lebih keras kepada Korut. Tapi, di hari pertamanya, dia tampaknya ingin memberikan kesempatan kepada Jong-un. Yoon menegaskan bahwa program senjata nuklir Korut tidak hanya mengancam keamanan Korsel, tapi juga wilayah Asia Timur Laut. "Pintu dialog tetap terbuka agar kami bisa menyelesaikan ancaman ini dengan cara damai," tutur Yoon.
Profesor di Ewha University Park Won-gon menegaskan bahwa tawaran Yoon bisa jadi bumerang. Komentarnya diduga bakal memicu kemarahan Pyongyang. Alih-alih sebagai tawaran, Korut bakal melihatnya sebagai ancaman. Korut sudah lama menginvestasikan keuangan negaranya untuk program senjata. "Sejak 2009 Korut telah menyatakan tidak akan menyerahkan nuklirnya untuk insentif ekonomi," terangnya.
Chad O’Carroll dari NK News menegaskan bahwa Jong-un tidak menginginkan pertumbuhan ekonomi. Sebab, untuk mencapai hal tersebut, sistem informasi di negaranya harus dibuka. Ideologi baru bakal masuk dan itu berisiko bagi penguasa Pyongyang. Karena itu, tawaran denuklirisasi dari Yoon diyakini tidak akan berjalan.
Sementara itu, situasi di Kolombo, Sri Lanka, masih panas. Pernyataan mundur PM Mahindra Rajapaksa dari jabatan belum meredakan situasi. Massa anti pemerintah membakar rumah-rumah keluarga Rajapaksa dan para legislator pendukungnya. Setidaknya ada 40 rumah yang dibakar.
Mereka berang setelah pendukung Rajapaksa menyerang lebih dulu dan memicu bentrokan yang menyebabkan 7 orang tewas dan lebih dari 200 orang terluka.
Pasukan keamanan melakukan operasi militer sebelum fajar untuk mengevakuasi Rajapaksa dan keluarganya dari rumah dinas di Temple Trees. Proses evakuasi cukup menegangkan karena massa mengepung rumah Rajapaksa. Gas air mata dan tembakan peringatan mewarnai proses evakuasi. Rajapaksa dipindahkan ke lokasi rahasia.
Pemerintah memutuskan jam malam diperpanjang hingga hari ini. Situasi di Kolombo sudah mulai tenang kemarin petang. Namun, sisa-sisa bentrokan tampak di mana-mana.
Kendaraan yang terbakar dan kerusakan fisik terlihat di berbagai sudut kota.
Berbeda dengan saudaranya yang memilih mundur, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa masih menolak lengser. Desakan mundur itu muncul akibat krisis ekonomi yang melanda negara tersebut.(sha/c9/bay/jpg)