JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Polusi cahaya ternyata bukan hanya masalah yang dialami para astronom dan ilmuwan di bidang antariksa. Sebuah studi baru menemukan polusi cahaya menyebabkan masalah kesehatan mental bagi remaja yang tinggal di wilayah dengan polusi cahaya tinggi.
Sebelumnya, tim dari Institut Nasional Kesehatan Amerika Serikat (AS) pernah mengkaji data pola tidur dan kesehatan mental. Lebih dari 10.000 remaja yang tinggal di AS antara 2001 dan 2004 ditemukan sulit untuk tidur.
Kini, para peneliti juga menemukan bahwa remaja yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi cahaya yang tinggi seperti kota-kota besar juga dikatakan lebih mungkin mengalami bipolar atau menderita kondisi kesehatan mental lainnya. Gangguan bipolar adalah salah satu kondisi paling umum dialami masyarakat di kota-kota besar dengan aktivitas dan mobilitas tinggi.
Di Inggris, bipolar bahkan mempengaruhi sekitar tiga juta orang dan menyebabkan sekitar 800 kasus bunuh diri setiap tahun. Peningkatan masalah kesehatan mental ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan siklus tidur sebagai akibat dari tinggal di daerah di mana langit malam tidak pernah menjadi gelap dengan baik.
Penulis penelitian tersebut, Dr Diana Paksarian mengatakan, ritme tubuh kita seperti ritme sirkadian yang mendorong siklus tidur-bangun dan merupakan faktor penting dalam kesehatan mental dan fisik.
Terlalu banyak cahaya buatan pada malam hari mengganggu ritme ini dan menyebabkan masalah bagi proses biologis seperti kadar hormon, suhu tubuh, dan siklus tidur.
Sebagian besar penelitian berfokus pada efek lampu buatan dalam ruangan, sementara sedikit perhatian diberikan pada apa yang terjadi di luar ruangan. Rekan peneliti, Dr Kathleen Merikangas mengatakan paparan cahaya lingkungan hanya satu faktor dalam jaringan pengaruh yang lebih kompleks pada tidur dan perilaku.
Namun, dia menambahkan bahwa itu mungkin menjadi target penting untuk pencegahan dan intervensi dalam kesehatan remaja, terutama kesehatan mental mereka. Dataset mencakup informasi tentang tingkat individu dan karakteristik lingkungan, hasil kesehatan mental, dan pola tidur.
Studi ini termasuk data dari total 10.123 remaja, usia 13 hingga 18 tahun dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Remaja ditanyai tentang kebiasaan tidur mereka, jam berapa mereka biasanya tidur dan berapa jam tidur yang biasanya mereka dapatkan di hari kerja dan akhir pekan.
Mereka juga diminta untuk menyelesaikan penilaian yang divalidasi untuk menentukan apakah mereka menderita gangguan mental. Para peneliti kemudian menggunakan citra satelit untuk menghitung tingkat cahaya buatan di daerah di mana masing-masing remaja menyelesaikan survei.
Tingkat cahaya di setiap lingkungan bervariasi tergantung pada apakah itu daerah perkotaan, seberapa besar intensitas cahaya dan kepadatan penduduk.
Hasilnya, remaja yang tinggal di tempat-tempat dengan banyak cahaya, cenderung tidur lebih lambat. Di tempat-tempat dengan polusi cahaya paling banyak, remaja tidur setengah jam kemudian selama sepekan dan menikmati sepuluh menit lebih sedikit tidur di akhir pekan.
Para peneliti menemukan bahwa kurang tidur meningkatkan kemungkinan memiliki gangguan mood atau kecemasan, khususnya gangguan bipolar dan fobia tertentu. Gangguan bipolar menyebabkan perubahan suasana hati yang tidak terkendali, memengaruhi tingkat energi seseorang, dan kemampuan untuk berkonsentrasi dan memenuhi tugas sehari-hari.
Peneliti mencatat, hubungan ini patut diperhatikan karena gangguan tidur dan ritme sirkadian adalah fitur yang terdokumentasi dengan baik dari gangguan mental tertentu, termasuk gangguan bipolar.
"Temuan penelitian menunjukkan gangguan tidur sebagai kemungkinan hubungan antara paparan cahaya malam hari buatan dan hasil kesehatan mental, hubungan yang harus diuji dalam penelitian prospektif di masa depan," kata Paksarian.
Remaja yang berasal dari latar belakang yang lebih miskin atau dari kelompok ras dan etnis minoritas lebih cenderung tinggal di tempat-tempat dengan tingkat manusia yang lebih tinggi.
Di masa depan tim berharap untuk memeriksa berbagai sifat cahaya buatan seperti kecerahan dan komposisi spektral. Mereka berharap ini akan membantu untuk memahami bagaimana lampu yang berbeda dapat membantu remaja tidur nyenyak dan meningkatkan kesehatan mental mereka.
"Temuan ini menggambarkan pentingnya pertimbangan bersama dari paparan tingkat lingkungan dan individu yang lebih luas dalam penelitian kesehatan mental dan tidur," tegas Paksarian.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi