Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Italia Isolasi 16 Juta Orang

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Serangan virus corona di Italia makin tak terkendali. Karena itu, pemerintah Italia akhirnya mengambil kebijakan untuk menutup akses alias me-lockdown wilayah bagian utara. Perintah Perdana Menteri Giuseppe Conte yang berlaku selama sebulan itu membuat 16 juta orang terisolasi.

Menurut dekrit yang ditandatangani Conte, hanya penduduk dengan urusan mendesak yang boleh meninggalkan zona karantina. Larangan itu tak berlaku untuk turis atau orang yang sedang berada di wilayah karantina, tapi tinggal di tempat lain. ”Penduduk di dalam wilayah pun diimbau tak keluar, kecuali untuk pekerjaan atau keperluan medis,” ungkap Conte seperti dilansir CNN.

Dekrit tersebut berlaku hingga 3 April. Selain imbauan itu, pemerintah Italia memerintahkan penutupan sekolah, kampus, bioskop, dan teater untuk seluruh negeri. Bahkan, perayaan agama dan upacara pemakaman juga dilarang.

Keputusan tersebut diambil setelah persebaran Covid-19 di Italia meluas. Hanya dalam 24 jam, kasus baru sudah menembus 1.200 pasien. Korban jiwa akibat virus itu sudah mencapai 230 orang. Angka tersebut terbesar setelah pusat virus, China.

Baca Juga:  Pemerintah Distribusikan Puluhan Ribu APD dan Masker

Conte membutuhkan keberanian lebih untuk menerapkan larangan tersebut. Apalagi, media sudah membocorkan rencana itu sehari sebelumnya. Pakar virus Roberto Burioni langsung mendukung Conte dan mengutuk media yang menyebarkan kabar tersebut. ’’Bocornya hal ini hanya akan menimbulkan kepanikan dan membuat orang kabur ke luar wilayah. Mereka akan membawa virus ke wilayah baru dan mempercepat persebaran,’’ ungkapnya kepada Agence France-Presse.

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus memuji kebijakan Conte. Menurut dia, langkah berani itu bisa menyelamatkan jutaan nyawa di Italia atau dunia. ’’Pemerintah dan bangsa Italia mengambil tindakan pemberani. WHO akan terus mendukung mereka,’’ ungkapnya.

Sementara itu, proses karantina di China juga menemui berbagai aral. Sabtu lalu (7/3), hotel yang digunakan sebagai pusat karantina di Quanzhou roboh. Tim penyelamat berhasil menemukan 48 korban dari reruntuhan. Sepuluh di antaranya tidak bernyawa. ’’Tolong temukan ibu saya. Dia tadi berada di samping saya,’’ ujar seorang bocah berusia 12 tahun dalam rekaman video.

Baca Juga:  Banjir Rohul Kiriman dari Sumut

Menurut Quanzhou Evening News, 58 pasien terduga Covid-19 sedang dikarantina di gedung tersebut. Namun, mereka semua disimpulkan negatif. Saat ini, 800 personel penyelamat dan 750 petugas medis dikerahkan untuk mencari korban lain.

Kabar lain muncul dari Sun Yat-sen University di Guangzhou. Peneliti di universitas tersebut mengatakan bahwa cuaca panas menghambat persebaran Covid-19. Mereka menyebut pengetesan yang dilakukan di suhu dingin memperlihatkan patogen bergerak dengan cepat. ’’Negara dengan cuaca dingin harus memberlakukan penindakan paling ketat,’’ tulis peneliti dalam makalah yang dilansir South China Morning Post.

Pada saat yang sama, menurut riset Marc Lipsitch, persebaran virus bisa terjadi di segala cuaca. Karena itu, publik tak seharusnya bergantung pada musim panas untuk mengakhiri virus korona. ’’Rasanya salah jika kita berharap penyakit ini akan berakhir seperti flu. Belum ada bukti kuat soal itu,’’ ujar Mike Ryan, direktur eksekutif WHO.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Serangan virus corona di Italia makin tak terkendali. Karena itu, pemerintah Italia akhirnya mengambil kebijakan untuk menutup akses alias me-lockdown wilayah bagian utara. Perintah Perdana Menteri Giuseppe Conte yang berlaku selama sebulan itu membuat 16 juta orang terisolasi.

Menurut dekrit yang ditandatangani Conte, hanya penduduk dengan urusan mendesak yang boleh meninggalkan zona karantina. Larangan itu tak berlaku untuk turis atau orang yang sedang berada di wilayah karantina, tapi tinggal di tempat lain. ”Penduduk di dalam wilayah pun diimbau tak keluar, kecuali untuk pekerjaan atau keperluan medis,” ungkap Conte seperti dilansir CNN.

- Advertisement -

Dekrit tersebut berlaku hingga 3 April. Selain imbauan itu, pemerintah Italia memerintahkan penutupan sekolah, kampus, bioskop, dan teater untuk seluruh negeri. Bahkan, perayaan agama dan upacara pemakaman juga dilarang.

Keputusan tersebut diambil setelah persebaran Covid-19 di Italia meluas. Hanya dalam 24 jam, kasus baru sudah menembus 1.200 pasien. Korban jiwa akibat virus itu sudah mencapai 230 orang. Angka tersebut terbesar setelah pusat virus, China.

- Advertisement -
Baca Juga:  Lolos Ambang Batas SKD 2018 Bisa Langsung Ikut SKB 2019

Conte membutuhkan keberanian lebih untuk menerapkan larangan tersebut. Apalagi, media sudah membocorkan rencana itu sehari sebelumnya. Pakar virus Roberto Burioni langsung mendukung Conte dan mengutuk media yang menyebarkan kabar tersebut. ’’Bocornya hal ini hanya akan menimbulkan kepanikan dan membuat orang kabur ke luar wilayah. Mereka akan membawa virus ke wilayah baru dan mempercepat persebaran,’’ ungkapnya kepada Agence France-Presse.

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus memuji kebijakan Conte. Menurut dia, langkah berani itu bisa menyelamatkan jutaan nyawa di Italia atau dunia. ’’Pemerintah dan bangsa Italia mengambil tindakan pemberani. WHO akan terus mendukung mereka,’’ ungkapnya.

Sementara itu, proses karantina di China juga menemui berbagai aral. Sabtu lalu (7/3), hotel yang digunakan sebagai pusat karantina di Quanzhou roboh. Tim penyelamat berhasil menemukan 48 korban dari reruntuhan. Sepuluh di antaranya tidak bernyawa. ’’Tolong temukan ibu saya. Dia tadi berada di samping saya,’’ ujar seorang bocah berusia 12 tahun dalam rekaman video.

Baca Juga:  Torehkan Prestasi, Tujuh Prodi Akreditasi A

Menurut Quanzhou Evening News, 58 pasien terduga Covid-19 sedang dikarantina di gedung tersebut. Namun, mereka semua disimpulkan negatif. Saat ini, 800 personel penyelamat dan 750 petugas medis dikerahkan untuk mencari korban lain.

Kabar lain muncul dari Sun Yat-sen University di Guangzhou. Peneliti di universitas tersebut mengatakan bahwa cuaca panas menghambat persebaran Covid-19. Mereka menyebut pengetesan yang dilakukan di suhu dingin memperlihatkan patogen bergerak dengan cepat. ’’Negara dengan cuaca dingin harus memberlakukan penindakan paling ketat,’’ tulis peneliti dalam makalah yang dilansir South China Morning Post.

Pada saat yang sama, menurut riset Marc Lipsitch, persebaran virus bisa terjadi di segala cuaca. Karena itu, publik tak seharusnya bergantung pada musim panas untuk mengakhiri virus korona. ’’Rasanya salah jika kita berharap penyakit ini akan berakhir seperti flu. Belum ada bukti kuat soal itu,’’ ujar Mike Ryan, direktur eksekutif WHO.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari