Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Pandemi Corona dan Keberlanjutan Bumi

MENARIK untuk disimak bawa pada awal tahun 2020 ini minimal ditandai dengan tiga peristiwa yang paling menyentuh kehidupan makhluk hidup dan manusia, khususnya umat Muslim di seluruh permukaan bumi. Ketiga peristiwa tersebut saling terkait yaitu wabah virus korona pada akhir 2019 memunculkan corona virus diseases 2019 (Covid-19), umat Islam menunaikan ibadah puasa Ramadan dalam keprihatinan. Namun keduanya berdampak pada membaiknya kondisi planet bumi.  

Merebaknya wabah corona ini telah dibahas oleh banyak ahli bahkan hampir sebagian  berita dan opini di media didominasi oleh wabah ini  yang ditinjau dari berbagai aspek. Sebagaimana diketahui bahwa merebaknya wabah corona ini berasal dari Provinsi Wuhan di Cina pada akhir tahun 2019 terkait dengan adanya interaksi antara manusia dan satwa liar dan diyakini berasal dari trenggiling yang membawa virus dari kelelawar. Wabah ini begitu cepat menyebar ke seluruh dunia karena begitu cepatnya lalu lintas manusia bergerak di seluruh dunia. Diyakini pula, interaksi antara manusia dan satwa liar ada faktor lain yang saling berkaitan seperti deforestasi yang menyebabkan iklim bumi berubah.

Laju deforestasi memicu penyakit yang bersumber dari hewan atau dikenal dengan zoonosis seperti Covid-19. Indonesia termasuk negara tropis yang luas wilayah  deforestasinya masih terlalu tinggi, yaitu netto 462.000 hektar namum sudah relatif stabil (Kompas, 27 April 2020). Karenanya sangat terbuka kemungkinan muncul wabah baru yang mematikan apabila Indonesia terus menerus mengalami perusakan ekosistem hutan alaminya.  

Sehubungan dengan itu, Indonesia sangat perlu melindungi hutan alam dan memulihkan hutan sekunder yang terdegradasi. Namun hal itu hanya mungkin dilakukan jika kebijakan ekonomi tak ditekankan pada investasi yang rakus lahan, tetapi diperkuat dengan pengelolaan dan keikutsertaan warga terhadap hutan sekitar.

Walaupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan deforetasi Indonesia stabil dengan luas 462.000 hektar, namun untuk memenuhi janji Indonesia pada Paris Agreement 2015, Indonesia harus menargetkan nol deforestasi guna penurunan emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim bumi. Banyak ahli berpendapat bahwa munculnya virus corona  menjadi pandemik di hampir semua negara di dunia memberikan sinyal bahwa bumi tak baik-baik saja. Selama satwa liar berada di habitatnya seperti hutan, kemungkinan kecil terjadi bangkitnya virus menular kepada manusia karena rendahnya interaksi. Karenanya, diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang sangat tegas untuk tidak lagi mengalih-fungsikan hutan dan menghutankan kembali sebagian besar lahan-lahan yang telah beralih fungsi atau bekas terbakar agar Indonesia terhindar dari sumber munculnya wabah penyakit yang menglobal (pandemi) yang akan sangat berdampak serius terdahap kehidupan manusia dipandang dari segala aspek.

Pandemi corona yang melanda hampir semua negara di dunia tanpa pandang bulu, apakah negara maju atau yang miskin, yang kulit hitam atau putih, yang mayoritas agamanya Kristen, Yahudi, Budha, Khonghucu atau Islam telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan dan bermakna terhadap kehidupan bermasyarakat, peribadatan, perekonomian, transportasi, pariwisata, dan lain-lain dan telah menimbulkan korban ribuan orang. Pada saat ini, dipandang dari aspek sosial keagamaan, umat Islam adalah yang paling besar terkena dampaknya. Bulan Ramadan adalah bulan yang dinantikan oleh seluruh umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa yang pahalanya langsung diterima dari Allah SWT. Ramadan adalan bulan kegembiraan karena umat dapat melaksanakan ibadah sepanjang hari pada setiap kesempatan yang  ada disamping kegiatan utamanya dalam mencari rezeki untuk memenuhi kehidupannya bersama keluarga. Ramadan adalah bulan sosialiasi antar masayarakat, karena dapat berkumpul bersama keluarga, kerabat dan handai tolan di permukimannya untuk berbuka puasa dan melaksanakan Salat Tarawih di rumah atau di masjid/musala. Masjid dan musala terbuka setiap waktu untuk umat yang akan beribadah, tadarus dan iktikaf, mendengarkan pengajian dan berinfak setiap masuk masjid/musala. Para da’i yang benar-benar menekuni sebagai pendakwa serta anak yatim akan sangat terbantu kehidupannya pada bulan Ramadan. Bahkan biaya pemeliharaan dan pembangunan masjid/musala akan sangat besar diperoleh melalui infak dan sadaqah umat. Dan banyak lagi nilai dan manfaat yang diterima umat muslim selama Ramadan.

Baca Juga:  BIN Tak Lagi di Bawah Kemenko Polhukam, Langsung ke Presiden

Namun, hal itu semua saat ini dan entah kapan berhentinya, tidak dapat lagi dinikmati oleh umat muslim. Masjid dan musala ditutup sementara, hubungan sosial antar masyarakat sangat dibatasi, termasuk kunjungan dalam keluarga terdekat, musala dan masjid tidak memperoleh dana dari umatnya yang juga merisaukan kehidupan para da’i yang khusus sebagai pendakwa. Dan banyak lagi pembatasan aktivitas sosial keaagamaan yang terhalang dengan adanya wabah Covid-19.  Yang paling menyedihkan umat muslim, tiga mesjid suci umat muslim yaitu Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsa terpaksa ditutup guna memutus mata rantai penyebaran virus korona. Nasib umat muslim untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini pun belum diputuslan oleh Raja Arab Saudi.

Di balik semua kekacauan, keterbatasan dan kerugian yang diderita semua penduduk dan negara di dunia, tidak terkecuali negara maju dan kaya, merebaknya wabah korona ini memberikan berkah bagi bumi. Bumi yang selama ini seakan berhenti bernapas, sekarang dirasakan seakan memperoleh peluang untuk memulihkan dirinya. Hukum alam menentukan, tanpa intervensi yang berlebihan dari manusia, alam akan selalu berada dalam keadaan keseimbangan. Dia mampu memulihkan dirinya sendiri. Banyak pakar dan pemuka pemerintah di dunia berpendapat bahwa akhir-akhir ini keberlanjutan global  adalah salah satu masalah yang menyita perhatian dan daya upaya berbagai kelompok akademisi dan pengambil keputusan. Tingkat konsumsi dan masalah kebijakan kependudukan berpengaruh secara langsung pada isu keberlanjutan. Namun antara komunitas religius dan komunitas ilmiah seringkali memiliki sikap yang bertolak belakang.

Baca Juga:  Hadiah Lebaran

Pandemi corona mewajibkan pemerintah untuk memutus penyebarannya di seluruh dunia. Tiap negara melakukan kebijakan sesuai dengan kondisi masing-masing negara karena kebijakan apapun yang dilakukan akan berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, keagamaan, politik dan keamanan, dan kemampuan pendanaan untuk berbagai bentuk bantuan bagi masyarakat yang terdampak. Ditinjau dari aspek lingkungan, adanya berbagai pembatasan terkait dengan mobilitas penduduk akan sangat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil baik untuk berbagai jenis kendaraan darat, pesawat udara, alat kerja industri, dll akan sangat berdampak pada membaiknya kondisi planet bumi.  Turunnya pemanfaatan bahan bakar fosil (migas dan batu bara) akan menurunkan tingkat pencemaran udara (kususnya emisi karbon) dan sekaligus menurunkan produksi minyak bumi. Demikian pula pencemaran tanah dan air sangat menurun karena menurunnya aktivitas rumah tangga dan industri membuang limbahnya ke lingkungan. Banyak kota yang padat penduduk di dunia mulai dari New Delhi dan Mumbai di India, Madrid di Spanyol, Milan dan Roma di Italia, New York dan Los Angeles di USA, Beijing dan Wuhan di Cina, hingga Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya mengalamiu penurunan polusi udara 30-50 persen, langit pun cerah (Kompas 20 April 2020). Bahkan produksi sampah di beberapa kota besar di Indonesia turun dengan sangat berarti. Karenanya, sungai-sungai di dunia dan di Indonesia semakin bersih, kecuali yang mengalami banjir bandang. Pembalakan liar hutan-hutan alami sangat menurun, dan pada masa pandemi korona ini berlangsung di mana hujan masih turun sehingga kebakaran lahan juga menurun yang berarti  menurunkan emisi gas rumah kaca.

Saat ini bahaya ketidak seimbangan ekologis yang bersifat global dapat ditahan, namun umat manusia mengalami masa ketidak normalan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. Meredanya wabah pandemi koronna akan memunculkan kondisi baru kehidupan manusia di planet bumi ini. Kita berharap, manusia semakin menyadari dampak dari wabah penyakit yang sudah sering berlangsung dan  sangat mematikan agar tidak terulang kembali. Celakanya manusia berperang dengan makhluk ciptaan Tuhan yang tidak kasat mata. Ahli lingkungan akan berpendapat , selama planet bumi ini masih eksis, dia akan selalu mencari titik keseimbangan. Penduduk dunia saat ini sekitar 8 miliar orang, dan diperkirakan pada tahun 2050 berjumlah lebih dari 10 miliar orang, apakah planet bumi yang ukurannya tetap tapi permukaannya selalu dirusak, akan mampu mendukung kebutuhan manusianya. Bila bumi tidak mampu mendukung jumlah manusia yang besar, maka alam akan mengatur dirinya sendiri dengan caranya sendiri pula.  Itulah hakekat pandemi corona bagi keberlanjutan bumi.  Wallahu alam bissawab.***

MENARIK untuk disimak bawa pada awal tahun 2020 ini minimal ditandai dengan tiga peristiwa yang paling menyentuh kehidupan makhluk hidup dan manusia, khususnya umat Muslim di seluruh permukaan bumi. Ketiga peristiwa tersebut saling terkait yaitu wabah virus korona pada akhir 2019 memunculkan corona virus diseases 2019 (Covid-19), umat Islam menunaikan ibadah puasa Ramadan dalam keprihatinan. Namun keduanya berdampak pada membaiknya kondisi planet bumi.  

Merebaknya wabah corona ini telah dibahas oleh banyak ahli bahkan hampir sebagian  berita dan opini di media didominasi oleh wabah ini  yang ditinjau dari berbagai aspek. Sebagaimana diketahui bahwa merebaknya wabah corona ini berasal dari Provinsi Wuhan di Cina pada akhir tahun 2019 terkait dengan adanya interaksi antara manusia dan satwa liar dan diyakini berasal dari trenggiling yang membawa virus dari kelelawar. Wabah ini begitu cepat menyebar ke seluruh dunia karena begitu cepatnya lalu lintas manusia bergerak di seluruh dunia. Diyakini pula, interaksi antara manusia dan satwa liar ada faktor lain yang saling berkaitan seperti deforestasi yang menyebabkan iklim bumi berubah.

- Advertisement -

Laju deforestasi memicu penyakit yang bersumber dari hewan atau dikenal dengan zoonosis seperti Covid-19. Indonesia termasuk negara tropis yang luas wilayah  deforestasinya masih terlalu tinggi, yaitu netto 462.000 hektar namum sudah relatif stabil (Kompas, 27 April 2020). Karenanya sangat terbuka kemungkinan muncul wabah baru yang mematikan apabila Indonesia terus menerus mengalami perusakan ekosistem hutan alaminya.  

Sehubungan dengan itu, Indonesia sangat perlu melindungi hutan alam dan memulihkan hutan sekunder yang terdegradasi. Namun hal itu hanya mungkin dilakukan jika kebijakan ekonomi tak ditekankan pada investasi yang rakus lahan, tetapi diperkuat dengan pengelolaan dan keikutsertaan warga terhadap hutan sekitar.

- Advertisement -

Walaupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan deforetasi Indonesia stabil dengan luas 462.000 hektar, namun untuk memenuhi janji Indonesia pada Paris Agreement 2015, Indonesia harus menargetkan nol deforestasi guna penurunan emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim bumi. Banyak ahli berpendapat bahwa munculnya virus corona  menjadi pandemik di hampir semua negara di dunia memberikan sinyal bahwa bumi tak baik-baik saja. Selama satwa liar berada di habitatnya seperti hutan, kemungkinan kecil terjadi bangkitnya virus menular kepada manusia karena rendahnya interaksi. Karenanya, diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang sangat tegas untuk tidak lagi mengalih-fungsikan hutan dan menghutankan kembali sebagian besar lahan-lahan yang telah beralih fungsi atau bekas terbakar agar Indonesia terhindar dari sumber munculnya wabah penyakit yang menglobal (pandemi) yang akan sangat berdampak serius terdahap kehidupan manusia dipandang dari segala aspek.

Pandemi corona yang melanda hampir semua negara di dunia tanpa pandang bulu, apakah negara maju atau yang miskin, yang kulit hitam atau putih, yang mayoritas agamanya Kristen, Yahudi, Budha, Khonghucu atau Islam telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan dan bermakna terhadap kehidupan bermasyarakat, peribadatan, perekonomian, transportasi, pariwisata, dan lain-lain dan telah menimbulkan korban ribuan orang. Pada saat ini, dipandang dari aspek sosial keagamaan, umat Islam adalah yang paling besar terkena dampaknya. Bulan Ramadan adalah bulan yang dinantikan oleh seluruh umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa yang pahalanya langsung diterima dari Allah SWT. Ramadan adalan bulan kegembiraan karena umat dapat melaksanakan ibadah sepanjang hari pada setiap kesempatan yang  ada disamping kegiatan utamanya dalam mencari rezeki untuk memenuhi kehidupannya bersama keluarga. Ramadan adalah bulan sosialiasi antar masayarakat, karena dapat berkumpul bersama keluarga, kerabat dan handai tolan di permukimannya untuk berbuka puasa dan melaksanakan Salat Tarawih di rumah atau di masjid/musala. Masjid dan musala terbuka setiap waktu untuk umat yang akan beribadah, tadarus dan iktikaf, mendengarkan pengajian dan berinfak setiap masuk masjid/musala. Para da’i yang benar-benar menekuni sebagai pendakwa serta anak yatim akan sangat terbantu kehidupannya pada bulan Ramadan. Bahkan biaya pemeliharaan dan pembangunan masjid/musala akan sangat besar diperoleh melalui infak dan sadaqah umat. Dan banyak lagi nilai dan manfaat yang diterima umat muslim selama Ramadan.

Baca Juga:  Ingat Ya Bun, Marah ke Anak Tidak Harus Berkata Kasar

Namun, hal itu semua saat ini dan entah kapan berhentinya, tidak dapat lagi dinikmati oleh umat muslim. Masjid dan musala ditutup sementara, hubungan sosial antar masyarakat sangat dibatasi, termasuk kunjungan dalam keluarga terdekat, musala dan masjid tidak memperoleh dana dari umatnya yang juga merisaukan kehidupan para da’i yang khusus sebagai pendakwa. Dan banyak lagi pembatasan aktivitas sosial keaagamaan yang terhalang dengan adanya wabah Covid-19.  Yang paling menyedihkan umat muslim, tiga mesjid suci umat muslim yaitu Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsa terpaksa ditutup guna memutus mata rantai penyebaran virus korona. Nasib umat muslim untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini pun belum diputuslan oleh Raja Arab Saudi.

Di balik semua kekacauan, keterbatasan dan kerugian yang diderita semua penduduk dan negara di dunia, tidak terkecuali negara maju dan kaya, merebaknya wabah korona ini memberikan berkah bagi bumi. Bumi yang selama ini seakan berhenti bernapas, sekarang dirasakan seakan memperoleh peluang untuk memulihkan dirinya. Hukum alam menentukan, tanpa intervensi yang berlebihan dari manusia, alam akan selalu berada dalam keadaan keseimbangan. Dia mampu memulihkan dirinya sendiri. Banyak pakar dan pemuka pemerintah di dunia berpendapat bahwa akhir-akhir ini keberlanjutan global  adalah salah satu masalah yang menyita perhatian dan daya upaya berbagai kelompok akademisi dan pengambil keputusan. Tingkat konsumsi dan masalah kebijakan kependudukan berpengaruh secara langsung pada isu keberlanjutan. Namun antara komunitas religius dan komunitas ilmiah seringkali memiliki sikap yang bertolak belakang.

Baca Juga:  BIN Tak Lagi di Bawah Kemenko Polhukam, Langsung ke Presiden

Pandemi corona mewajibkan pemerintah untuk memutus penyebarannya di seluruh dunia. Tiap negara melakukan kebijakan sesuai dengan kondisi masing-masing negara karena kebijakan apapun yang dilakukan akan berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, keagamaan, politik dan keamanan, dan kemampuan pendanaan untuk berbagai bentuk bantuan bagi masyarakat yang terdampak. Ditinjau dari aspek lingkungan, adanya berbagai pembatasan terkait dengan mobilitas penduduk akan sangat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil baik untuk berbagai jenis kendaraan darat, pesawat udara, alat kerja industri, dll akan sangat berdampak pada membaiknya kondisi planet bumi.  Turunnya pemanfaatan bahan bakar fosil (migas dan batu bara) akan menurunkan tingkat pencemaran udara (kususnya emisi karbon) dan sekaligus menurunkan produksi minyak bumi. Demikian pula pencemaran tanah dan air sangat menurun karena menurunnya aktivitas rumah tangga dan industri membuang limbahnya ke lingkungan. Banyak kota yang padat penduduk di dunia mulai dari New Delhi dan Mumbai di India, Madrid di Spanyol, Milan dan Roma di Italia, New York dan Los Angeles di USA, Beijing dan Wuhan di Cina, hingga Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya mengalamiu penurunan polusi udara 30-50 persen, langit pun cerah (Kompas 20 April 2020). Bahkan produksi sampah di beberapa kota besar di Indonesia turun dengan sangat berarti. Karenanya, sungai-sungai di dunia dan di Indonesia semakin bersih, kecuali yang mengalami banjir bandang. Pembalakan liar hutan-hutan alami sangat menurun, dan pada masa pandemi korona ini berlangsung di mana hujan masih turun sehingga kebakaran lahan juga menurun yang berarti  menurunkan emisi gas rumah kaca.

Saat ini bahaya ketidak seimbangan ekologis yang bersifat global dapat ditahan, namun umat manusia mengalami masa ketidak normalan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai manusia. Meredanya wabah pandemi koronna akan memunculkan kondisi baru kehidupan manusia di planet bumi ini. Kita berharap, manusia semakin menyadari dampak dari wabah penyakit yang sudah sering berlangsung dan  sangat mematikan agar tidak terulang kembali. Celakanya manusia berperang dengan makhluk ciptaan Tuhan yang tidak kasat mata. Ahli lingkungan akan berpendapat , selama planet bumi ini masih eksis, dia akan selalu mencari titik keseimbangan. Penduduk dunia saat ini sekitar 8 miliar orang, dan diperkirakan pada tahun 2050 berjumlah lebih dari 10 miliar orang, apakah planet bumi yang ukurannya tetap tapi permukaannya selalu dirusak, akan mampu mendukung kebutuhan manusianya. Bila bumi tidak mampu mendukung jumlah manusia yang besar, maka alam akan mengatur dirinya sendiri dengan caranya sendiri pula.  Itulah hakekat pandemi corona bagi keberlanjutan bumi.  Wallahu alam bissawab.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari