JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Untuk memutus mata rantai penularan virus corona, salah satu cara paling efektif adalah dengan menguji kasus sebanyak-banyaknya. Dengan menemukan semakin banyak yang positif kemudian diisolasi, maka penularan di luar semakin bisa ditekan. Saat ini ada 2 metode penelusuran kontak, yakni dengan Rapid Tes dan PCR (polymerase chain reaction).
Bedanya, uji Rapid Tes menggunakan antibodi, sedangkan PCR menggunakan antigen. Sehingga hasil pemeriksaan spesimen dengan PCR sudah dipastikan akurat. Sementara jika diperiksa dengan Rapid Tes, belum tentu pasti hasilnya.
Lantas kapan seseorang diuji menggunakan PCR?
Dalam konferensi pers di Gedung BNPB, Rabu (8/4), Yurianto menjelaskan penelusuran kontak dilakukan dari kasus positif yang sedang dirawat. Sehingga harus mewaspadai betul kelompok potensial yang menjadi sumber penularan. Resiko pada tenaga kesehatan yang merawat. Dan pada masyarakat di daerah.
"Maka dilakukan kebijakan skrining lakukan pemeriksaan penapisan lewat rapid tes. Rapid tes sudah didistribusikan lebih dari 450 ribu kit ke seluruh Indonesia. Tujuannya lakukan penyaringan penelusuran kontak sebagai strategi awal," jelasnya.
Maka setelah dilakukan pemeriksaan rapid tes baik hasilnya positif ataupun negatif tetap harus melakukan isolasi mandiri. Isolasi bisa dilakukan secara mandiri di rumah.
Jika selama diisolasi mandiri mengalami keluhan dan gejala, pemeriksaan PCR akan dilakukan untuk mengkonfirmasi. PCR baru akan dilakukan jika sudah ada gejala klinis.
"Kami sudah lakukan pemeriksaan PCR lebih dari 15 ribu spesimen. Ketersediaan reagent untuk PCR juga sudah ada 200 ribu kit," katanya.
Itulah sebabnya tak semua orang akan diperiksa dengan PCR jika belum ada gejala. Tes PCR ditegakkan dengan diagnosa dari mekanisme skrining yang terarah.
"Skrining dilakukan dengan rapid tes. Tapi PCR kita tak lajukan dengan metode acak, harus terpilih dan terstruktur dimulai dari awal," paparnya.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal