Bahasa merupakan alat komunikasi masyarakat untuk menyampaikan pesan secara langsung maupun tidak langsung. Dengan bahasa, masyarakat mudah untuk mengekspresikan suatu pesan, agar tujuannya dapat tersampaikan dengan baik. Aminuddin (Sutarman, 2013: 2) menjelaskan bahwa bahasa pada hakikatnya merupakan simbol-simbol abstrak yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk merekam realitas yang dilihat, didengar, dirasakan, dialami, dilakukan, dan bahkan dipikirkan manusia. Bahasa bukan hanya alat menyampaikan informasi namun juga untuk memantapkan dan mempertahankan hubungan dengan orang lain. Kita juga harus bijak menggunakan bahasa dalam konteks sosialnya.
Aktivitas berbicara merupakan gambaran emosional seseorang pada suatu kondisi tertentu, dalam menyampaikan gagasan/ide, pikiran, dan perasaan. Reaksi yang ditimbulkan pun menuai berbagai respons oleh mitra tuturnya pada saat interaksi tuturan terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan sebuah pemahaman yang baik terkait pemilihan diksi yang tepat dalam berinteraksi khususnya secara verbal, agar tuturan tersebut terlihat santun. Kesantunan dalam bertutur dapat mencerminkan karakter penuturnya, sehingga dalam kondisi apapun, kita dapat memilih kata-kata yang baik dalam mengungkapkan perasaan. Penggantian bentuk tuturan yang bernilai kasar kebentuk tuturan yang bernilai halus dapat disebut dengan eufemisme.
Telah banyak terjadi pertikaian dan perselisihan yang disebabkan oleh tuturan kasar yang diucapkan seseorang. Hal yang sangat miris terjadi saat ini yaitu penggunaan bahasa yang cenderung kasar (disfemisme) dapat mengakibatkan seseorang dipenjara dengan berbagai macam pasal, ada perbuatan tidak menyenangkan, ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Dampak dari perkataan yang terkesan kasar sebenarnya akan lebih dahsyat dari pada kekerasan yang dilakukan secara fisik. Seperti kata-kata hinaan yang disampaikan dengan lembut tapi tajam dan menusuk pun bias membuat seseorang merasa tidak berarti, hina, kecil bahkan merasa terpuruk dan merasa tidak layak hidup. Kata-kata yang kasar bila diucapkan secara berkepanjangan ternyata mampu membunuh jiwa yang paling kuat sekalipun. Kekerasan verbal yang terjadi pada seseorang bias juga membuat mereka tidak percaya diri, mulai mempertanyakan jati diri, hingga merasa tidak memiliki harga diri. Sedangkan kekerasan verbal yang sering dilakukan pada anak-anak akan cenderung menimbulkan dampak jiwa yang kerdil.
Seseorang yang berkata kasar menunjukkan ketidak mampuannya dalam menghadapi lingkungan dengan baik. Setiap pribadi wajar saja jika merasa marah, kesal dan kecewa terhadap kejadian di sekitar mereka, namun kita seharusnya mampu berpikir secara rasional sebelum bertutur kata untuk menyampaikan emosi-emosi negatif tersebut. Ada sebuah pepatah Jepang mengatakan “Sebuah lidah panjangnya tiga inci, tetapi dapat membunuh orang tingginya enam kaki”. Pepatah ini menunjukkan bahwa betapa hebatnya dampak kekerasan verbal tersebut, yang dapat membunuh karakter seseorang.
Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sudah seharusnya kita lebih bijak dalam berbahasa dan bias menjaga lisan kita dalam bertutur kata. Penggunaan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik (eufemisme) kerap digunakan sebagai acuan dalam mengungkapkan perasaan agar tidak menyinggung lawan bicara, dengan menggantikan acuan-acuan yang dirasakan menghina atau menyinggung perasaan orang lain dengan ungkapan yang lebih halus, agar hubungan komunikasi dengan lawan bicara tetap terjaga.***
Merie Rosita, SPd, Guru Bahasa Indonesia SMAN 3 Bengkalis