JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Penolakan terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menggelinding semakin besar. Banyak kalangan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengabaikan usulan yang diajukan DPR itu.
Penolakan revisi UU KPK disuarakan lagi oleh ratusan pegawai KPK kemarin (6/9). Mereka berkumpul di depan Gedung Merah Putih KPK. Kompak mengenakan pakaian hitam-hitam, mereka melakukan aksi “belasungkawa” sekaligus menyuarakan perlawanan terhadap rencana revisi UU KPK oleh DPR. Mereka juga membentuk rantai manusia sebagai simbol melindungi KPK dari upaya pelemahan melalui revisi UU dan pemilihan calon pimpinan (capim) bermasalah.
Para pegawai bersama-sama mengangkat poster berisi penolakan pelemahan KPK. “Presiden Abdurrahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati melahirkan KPK, dan Presiden SBY melindungi KPK. Jangan sampai berhenti di era Presiden Joko Widodo!” seru pegawai yang menjadi orator.
Dalam aksi tersebut, para pimpinan KPK dan penyidik juga ambil bagian. Salah satunya penyidik senior Novel Baswedan. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan, poin-poin perubahan dalam revisi UU itu tidak sesuai dengan Piagam Antikorupsi PBB. Dalam piagam tersebut, juga telah tertuang dalam UU saat ini, tertera tidak adanya pengaruh kekuasaan mana pun. Harus independen.
Aksi kemarin, lanjut Saut, bertujuan memperjuangkan kembali poin-poin yang sudah disepakati lembaga antikorupsi di dunia dalam Piagam PBB. UU KPK sendiri sudah relevan. Justru yang perlu direvisi adalah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). “Yang perlu diubah supaya in line dengan Piagam PBB adalah UU Tipikor kita,” tegasnya kemarin.
Saut menjelaskan, masih ada poin-poin dalam Piagam PBB yang belum tertuang dalam UU Tipikor. Termasuk di dalamnya adalah mempertegas prosedur asset recovery dan menyentuh penindakan terhadap korupsi di private sector.
Saut mengatakan bahwa pimpinan KPK sudah mengirim surat ke presiden kemarin pagi. KPK menghargai kerja DPR sebagai lawmaker, tapi meminta presiden mempertimbangkan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis formal pembuatan atau revisi UU sebelum menyetujuinya. “Mudah-mudahan, dengan kewenangannya, presiden bisa melaksanakan (masukan KPK, Red),” lanjutnya.
Novel Baswedan tidak banyak berkomentar. Menurut dia, argumen yang disampaikan Saut sudah mewakili KPK secara keseluruhan. “Intinya, kita ingin KPK diperkuat, bukan diperlemah. Ini kita lihat yang sekarang adalah upaya pelemahan,” ujarnya.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebutkan, beberapa kemunduran bakal terjadi jika revisi itu disetujui. Misalnya soal keberadaan dewan pengawas yang dicantumkan dalam revisi UU KPK. Pembentukan dewan pengawas akan memperpanjang rantai birokrasi di KPK. Sekaligus menjadi pintu baru bagi intervensi dari pihak-pihak lain. Sebab, pemilihan anggota dewan pengawas bakal serupa dengan pemilihan pimpinan KPK, yang saat ini pun bermasalah. “Mekanisme pembentukan dewan pengawas ini bermula dari usul presiden dengan membentuk panitia seleksi, lalu kemudian meminta persetujuan DPR,” jelasnya.
Kurnia juga mempertanyakan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang berkali-kali diusulkan. Sebelumnya, pada 2015, wacana itu sempat muncul. Tetapi mendapat penolakan keras dan kemudian tidak dilaksanakan. Bahkan, isu tersebut beberapa kali muncul, yakni pada 2003, 2006, dan 2010. Tidak pernah dilaksanakan juga.
“Seharusnya DPR paham akan hal ini untuk tidak terus-menerus memasukkan isu ini pada revisi UU KPK,” lanjutnya.
Kalau revisi UU KPK disahkan, SP3 akan menjadi opsi pertama untuk menghambat penanganan kasus. Kemudian, harus adanya izin penyadapan ke dewan pengawas, pembatasan setahun untuk penanganan sebuah perkara, tidak bisa mengangkat penyidik independen, sampai tidak bolehnya membuka kantor perwakilan KPK di wilayah-wilayah. Ditambah lagi, masukan agar pimpinan KPK harus berusia minimal 50 tahun.
Bagi Kurnia, aturan-aturan itu menutup kesempatan bagi capim muda yang berintegritas dan punya kualifikasi. Tapi, yang paling krusial adalah hambatan-hambatan tersebut bisa menjadi pintu keluar yang makin lebar bagi koruptor. “Bayangkan, jika UU ini disahkan, para pelaku korupsi akan makin mudah lepas dari jerat hukum,” katanya.
Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, Presiden Jokowi tidak perlu merespons usulan DPR terkait dengan revisi UU KPK. Itu penting untuk menunjukkan komitmen presiden terhadap upaya pemberantasan korupsi. “Makanya, saya minta presiden jangan memberikan respons,” tuturnya kepada Jawa Pos.
Langkah tersebut bisa ditunjukkan dengan tidak memberikan surat presiden (surpres). Apabila Jokowi merespons, Erwin khawatir DPR merasa mendapat dukungan dari presiden. Desakan tersebut disampaikan Erwin lantaran melihat langkah-langkah yang diambil DPR berbahaya. Sebab, agenda pelemahan KPK bukan kali pertama digulirkan legislator di Senayan. Sudah lama agenda itu ada.
“Saya pikir DPR terancam dengan kehadiran KPK,” ujarnya. Sebab, banyak legislator yang harus berurusan dengan KPK. Karena itu, Erwin juga tidak menampik kemungkinan bahwa revisi UU KPK dilakukan untuk menyelamatkan anggota DPR yang statusnya masih tersangka. “Saya lihat kemungkinan itu ada,” imbuh dia.
Erwin menduga ada pihak-pihak yang punya masalah dan tidak suka terhadap upaya pemberantasan korupsi oleh KPK. “Pihak-pihak besar,” kata dia. Mereka, lanjut Erwin, mencoba melemahkan KPK melalui DPR. Karena itu, niat jahat tersebut tidak boleh diteruskan. Caranya, presiden tidak perlu mengirim surpres kepada DPR.
Erwin menyebutkan, sejak awal usulan DPR itu sudah bermasalah. Sebab, niat mereka merevisi UU KPK cacat secara formal. “Karena dalam prolegnas tahunan itu tidak masuk,” ucap dia. Selain itu, langkah DPR bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Lantaran cacat secara formal, jelas Erwin, tidak mungkin usulan DPR dibahas. Untuk itu, dia mendesak presiden mengambil sikap tegas dengan tidak mengirimkan surpres. “Dalam prosesnya kan harus ada kesepakatan kedua pihak. DPR dan presiden,” imbuhnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal