TELUKKUANTAN (RIAUPOS.CO) – Sehubungan dengan telah dikabulkannya permohonan praperadilan Hendra AP MSi atas status tersangka dugaan korupsi SPPD fiktif di BPKAD Kuansing, pengacara Hendra angkat bicara atas putusan tersebut.
Hal itu menanggapi rencana Kejaksaan Negeri (Kejari) Kuansing akan mengeluarkan sprindik baru untuk kembali menjerat Kepala BPKAD Kuansing itu ke pusaran korupsi.
"Kami mengucapkan terima kasih serta penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Pengadilan Negeri Teluk Kuantan yang telah memeriksa perkara ini secara seksama hingga diputuskan secara adil dan bijaksana," kata Kuasa Hukum Hendra, Riski J Poliang SH MH, Selasa (6/4/2021).
Menurutnya, Pengadilan Negeri (PN) Telukkuantan melalui putusannya membuktikan bahwa kesewenang-wenangan itu sangat mungkin terjadi pada institusi penegakan hukum itu sendiri. Hal itu terbukti dengan dinyatakannya penetapan tersangka terhadap Hendra AP MSi cacat hukum atau tidak sah.
Kemudian terkait maraknya pemberitaan di berbagai media, bahwa pihak Kejari Kuansing pascakekalahannya dalam sidang praperadilan, akan mengeluarkan Sprindik baru dan kembali menetapkan Hendra sebagai tersangka. Riski menjelaskan, seharusnya Kajari Kuansing belajar memahami aturan perundangan yang ada.
"Bagi saya, hal tersebut sah-sah saja sepanjang pihak Kejari Kuansing melakukannya sesuai dengan SOP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan kalau boleh saya menyarankan, sebelum mengeluarkan Sprindik baru ada baiknya Kajari Kuansing mematangkan pemahamannya terkait penegakan hukum tindak pidana korupsi itu secara utuh. Jangan setengah-setengah dan ingat harus objektif, bukan subjektif," jelas Riski.
Atas kemenangan ini, Riski sejujurnya merasa bangga dengan putusan ini. Namun tidaklah sebesar rasa kecewa pihaknya terhadap para penegak hukum di Kejari Kuansing.
"Kami kecewa terhadap kinerja Kejari Kuansing yang dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri berprestasi terbaik nomor 1 se-Riau dan nomor 3 se-Indonesia dalam hal penanganan tindak pidana korupsi. Tapi torehan prestasi tersebut, hari ini telah diuji, dalam tempo waktu yang berdekatan Kajari Kuansing kalah dalam praperadilan," katanya.
Hal ini, kata Riski, menandakan lemahnya pemahaman hukum yang dimiliki pimpinan Kejari Kuansing. Dan hal itu yang sangat disayangkan Riski kepada Kajari Kuansing.
"Bagaimana tidak, kualitas penanganan perkara yang dilakukan berbanding terbalik dengan prestasi yang diperoleh. Inilah karakter penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejari Kuansing. Saya kira, menjadi wajar apabila klien kami menilai adanya kezaliman dalam penanganan kasus ini. Terlebih dalam perkara yang disangkakan terhadap klien kami tidak ada kerugian negara dari hasil pemeriksaan BPK RI Perwakilan Riau," tambah Riski lagi.
Kemudian berdasarkan hal yang dialami kliennya, Riski memohon kepada Jaksa Agung Republik Indonesia untuk melakukan evaluasi atas kinerja di Kejari Kuansing. Dan tidak saja evaluasi kepangkatan struktural, akan tetapi, Riski juga menyarankan supaya dilakukan evaluasi psikologis.
Selanjutnya apabila Tim Penyidik Kejari Kuansing melakukan penetapan tersangka kembali terhadap kliennya, Riski meminta kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau untuk menarik perkara ini ke Kejaksaan Tinggi Riau agar perkara kliennya ini terang-benderang dan tidak adanya dugaan pemaksaan untuk ditetapkan tersangka lagi terhadap kasus ini.
"Bahwa terkait pengembalian yang diajukan dalam persidangan, tidak ada dasarnya itu dari mana. Dan beberapa saksi mengatakan hanya diminta untuk membuat rakapitulasi dari internal dan bukan saran dar BPK RI atau lembaga pemeriksa kerugian negara yang berwenang," katanya.
Terakhir Riski ingin menyampaikan kepada seluruh masyarakat Kuansing, bahwa bebasnya Hendra AP melalui uji formil dalam instrumen praperadilan membuka tabir bagaimana proses penegakan hukum yang selama ini digaungkan dengan lantang dengan bahasa "koruptor musuh kita bersama", ternyata, kata Riski, tidak sepenuhnya dilandasi pemahaman yang utuh tentang law enforcement.
"Kalau semua pemegang kewenangan dianggap benar, tidak boleh dimusuhi, harus disanjung, tidak boleh di ingatkan atau ditegur, lantas mengapa harus ada yang namanya abuse of power (penyalahgunaan wewenang, red)? Semoga menjadi bahan refleksi kita bersama," tambah pria yang pernah beracara di Mahkamah Konstitusi itu.
Laporan: Mardias Chan dan Jurprison (Telukkuantan)
Editor: Hary B Koriun