Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Sejarawan: Keppres Serangan Umum 1 Maret Bukan Buku Sejarah

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Polemik tidak dicantumkannya peran Presiden Ke-2 Indonesia, Soeharto, saat Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menimbulkan kontroversi.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga menjadi salah satu tenaga ahli penulis Naskah Akademik Hari Penegakkan Kedaulatan Negara, Sri Margana, membenarkan langkah pemerintah tak menyebutkan Soeharto dalam Keppres Nomor 2 tahun 2022. Menurutnya, langkah Mahfud MD dalam memberikan penjelasan sudah tepat.

"Pak Mahfud sudah benar bahwa kalau melihat sejarah ya di buku sejarah. Lagi pula Keppres itu kan bukan sejarah. Keppres itu bahasa administratif. Kalau mau lihat perannya Soeharto ya baca buku sejarah, baca naskah akademik yang saya tulis. Jadi di buku naskah akademik itu semua tokoh penting yang berpartisipasi disebut semua termasuk Pak Harto. Tidak ada yang dihapus," kata Sri Margana.

"Jadi tak bisa peristiwa Serangan Umum 1 Maret diklaim yang dimaui Pak Fadli Zon. Tak bisa begitu. Karena banyak sekali orang yang berperan," tegasnya.

Margana mengatakan bahwa inisiator Serangan Umum 1 Maret memang bukan Soeharto, melainkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan selaku Menteri Pertahanan RI.

Serangan Umum 1 Maret tidak hanya dipimpin oleh Soeharto seorang diri. Ada banyak nama yang turut andil memimpin pasukan dalam serangan umum tersebut, seperti Bambang Sugeng, Ventje Sumual, TB Simatupang, Mayor Sardjono, dan sebagainya.

Selama kepemimpinan Soeharto dulu, orang-orang yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret tidak disebutkan. Ia menjelaskan ada ribuan pelaku sejarah dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terjadi di Yogyakarta. Ratusan pemimpin dalam serangan itu tercatat dalam naskah akademik ini. Tak terkecuali Soeharto.

Baca Juga:  Bersepakat Lindungi Perempuan dan Anak

"Serangan Umum 1 Maret tidak semuanya Pak Harto. Jadi naskah akademik yang saya tulis itu ingin menunjukkan bahwa Serangan Umum 1 Maret itu bukan  kerjaan Pak Harto sendiri. Bukan suatu proyek lone rangers. Banyak sekali tokoh yang terlibat sama-sama mempertaruhkan nyawanya dalam perang. Bahkan di garis yang paling depan itu Mayor Sarjono dan Ventje Sumual," jelasnya.

Atas dasar itu, dia menerangkan, naskah akademik ini ditulis untuk menunjukkan peran tokoh-tokoh lain yang juga memiliki peranan penting, agar perannya dalam mempertahankan Indonesia tidak terlupakan.

"Jangan sampai timbul kesan seolah-olah Serangan Umum 1 Maret hanya Pak Harto. Jadi kalau Pak Harto tak disebut marah. Kalau mau nyebut ya ribuan orang yang terlibat itu. Dalam Serangan Umum 1 Maret yang terlibat ada banyak sekali, totalnya sekitar 2.300 pasukan yang berperang. Ada banyak pasukan yang dipimpin oleh Bambang Sugeng, Ventje Sumual, TB Simatupang, Mayor Sardjono, dan sebagainya termasuk Pak Harto yang ditunjuk memimpin serangan," kata Margana.

Diketahui Soeharto memang memiliki peran dalam peristiwa serangan umum itu, namun levelnya hanya berupa pelaksana yang diberi mandat sebagai pemimpin serangan umum.

"Panglima tertinggi itu Pak Dirman. Dalam struktur militer itu komando itu harus yang paling tinggi, tak mungkin seorang letkol, itu pangkat terendah. Pak Harto itu hanya letkol tugasnya disuruh-suruh pada masa itu," kata Margana.

Lebih lanjut, Margana menjelaskan bahwa Keppres bertujuan untuk menetapkan Hari Penegakan Kedaulatan Negara sebagai hari besar nasional bukan legitimasi peristiwa sejarah. Menurutnya, menjadi tidak relevan apabila mempermasalahkan tokoh-tokoh yang tertulis di dalamnya.

Baca Juga:  Musrenbang Harus Perhatikan Aspirasi Masyarakat

"Tidak relevan mempermasalahkan siapa ditulis dan siapa tidak ditulis. Karena Keppres itu bukan sejarah. Bukan untuk melegitimasi peristiwa. Keppres itu dipakai untuk mengesahkan hari besar nasional untuk menjadikan hari penegakan kedaulatan negara itu sebagai hari nasional," pungkasnya.

Anggota Komisi I DPR RI, Fadli Zon menilai cuitan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD soal Serangan Umum 1 Maret 1949 keliru. Fadli meminta Mahfud tak membelokkan peristiwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.

Permintaan itu disampaikan Fadli merespons Mahfud yang menyebut Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Panglima Jenderal Besar Soedirman sebagai penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949.

Fadli mengatakan Soekarno dan Hatta masih ditawan di Menumbing, Kepulauan Bangka Belitung saat Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi. Menurutnya, pemerintahan kala itu berada di bawah pimpinan Pemerintahan Darurat RI yang diketuai Sjafroeddin Prawiranegara.

Margana membenarkan apa yang disampaikan oleh Politikus Gerindra itu.

"Benar Pak Karno dan Bung Hatta masih ditahan. Pak Karno di Menumbing dan Pak Hatta di Muntok. Sama-sama di Bangka tapi lokasinya beda. Soekarno sebelumnya ditempatkan di Menumbing waktu itu Soekarno tidak tahan di tempat yang dingin. Menumbing itu di puncak gunung jadi hawanya dingin. Terus beliau minta ditempatkan di tempat yang lebih hangat dan ditempatkan di Muntok," jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan mengenai peran Soekarno dan Mohammad Hatta yang disebut-sebut menjadi penggagas bahwa hingga kini belum ada bukti yang menunjukkan keduanya ikut berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Polemik tidak dicantumkannya peran Presiden Ke-2 Indonesia, Soeharto, saat Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menimbulkan kontroversi.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga menjadi salah satu tenaga ahli penulis Naskah Akademik Hari Penegakkan Kedaulatan Negara, Sri Margana, membenarkan langkah pemerintah tak menyebutkan Soeharto dalam Keppres Nomor 2 tahun 2022. Menurutnya, langkah Mahfud MD dalam memberikan penjelasan sudah tepat.

- Advertisement -

"Pak Mahfud sudah benar bahwa kalau melihat sejarah ya di buku sejarah. Lagi pula Keppres itu kan bukan sejarah. Keppres itu bahasa administratif. Kalau mau lihat perannya Soeharto ya baca buku sejarah, baca naskah akademik yang saya tulis. Jadi di buku naskah akademik itu semua tokoh penting yang berpartisipasi disebut semua termasuk Pak Harto. Tidak ada yang dihapus," kata Sri Margana.

"Jadi tak bisa peristiwa Serangan Umum 1 Maret diklaim yang dimaui Pak Fadli Zon. Tak bisa begitu. Karena banyak sekali orang yang berperan," tegasnya.

- Advertisement -

Margana mengatakan bahwa inisiator Serangan Umum 1 Maret memang bukan Soeharto, melainkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan selaku Menteri Pertahanan RI.

Serangan Umum 1 Maret tidak hanya dipimpin oleh Soeharto seorang diri. Ada banyak nama yang turut andil memimpin pasukan dalam serangan umum tersebut, seperti Bambang Sugeng, Ventje Sumual, TB Simatupang, Mayor Sardjono, dan sebagainya.

Selama kepemimpinan Soeharto dulu, orang-orang yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret tidak disebutkan. Ia menjelaskan ada ribuan pelaku sejarah dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terjadi di Yogyakarta. Ratusan pemimpin dalam serangan itu tercatat dalam naskah akademik ini. Tak terkecuali Soeharto.

Baca Juga:  Kemenag Setop Pendaftaran Akad Nikah Baru

"Serangan Umum 1 Maret tidak semuanya Pak Harto. Jadi naskah akademik yang saya tulis itu ingin menunjukkan bahwa Serangan Umum 1 Maret itu bukan  kerjaan Pak Harto sendiri. Bukan suatu proyek lone rangers. Banyak sekali tokoh yang terlibat sama-sama mempertaruhkan nyawanya dalam perang. Bahkan di garis yang paling depan itu Mayor Sarjono dan Ventje Sumual," jelasnya.

Atas dasar itu, dia menerangkan, naskah akademik ini ditulis untuk menunjukkan peran tokoh-tokoh lain yang juga memiliki peranan penting, agar perannya dalam mempertahankan Indonesia tidak terlupakan.

"Jangan sampai timbul kesan seolah-olah Serangan Umum 1 Maret hanya Pak Harto. Jadi kalau Pak Harto tak disebut marah. Kalau mau nyebut ya ribuan orang yang terlibat itu. Dalam Serangan Umum 1 Maret yang terlibat ada banyak sekali, totalnya sekitar 2.300 pasukan yang berperang. Ada banyak pasukan yang dipimpin oleh Bambang Sugeng, Ventje Sumual, TB Simatupang, Mayor Sardjono, dan sebagainya termasuk Pak Harto yang ditunjuk memimpin serangan," kata Margana.

Diketahui Soeharto memang memiliki peran dalam peristiwa serangan umum itu, namun levelnya hanya berupa pelaksana yang diberi mandat sebagai pemimpin serangan umum.

"Panglima tertinggi itu Pak Dirman. Dalam struktur militer itu komando itu harus yang paling tinggi, tak mungkin seorang letkol, itu pangkat terendah. Pak Harto itu hanya letkol tugasnya disuruh-suruh pada masa itu," kata Margana.

Lebih lanjut, Margana menjelaskan bahwa Keppres bertujuan untuk menetapkan Hari Penegakan Kedaulatan Negara sebagai hari besar nasional bukan legitimasi peristiwa sejarah. Menurutnya, menjadi tidak relevan apabila mempermasalahkan tokoh-tokoh yang tertulis di dalamnya.

Baca Juga:  Proyek Jalintim Sumatera Ditandatangani 

"Tidak relevan mempermasalahkan siapa ditulis dan siapa tidak ditulis. Karena Keppres itu bukan sejarah. Bukan untuk melegitimasi peristiwa. Keppres itu dipakai untuk mengesahkan hari besar nasional untuk menjadikan hari penegakan kedaulatan negara itu sebagai hari nasional," pungkasnya.

Anggota Komisi I DPR RI, Fadli Zon menilai cuitan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD soal Serangan Umum 1 Maret 1949 keliru. Fadli meminta Mahfud tak membelokkan peristiwa sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.

Permintaan itu disampaikan Fadli merespons Mahfud yang menyebut Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Panglima Jenderal Besar Soedirman sebagai penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949.

Fadli mengatakan Soekarno dan Hatta masih ditawan di Menumbing, Kepulauan Bangka Belitung saat Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi. Menurutnya, pemerintahan kala itu berada di bawah pimpinan Pemerintahan Darurat RI yang diketuai Sjafroeddin Prawiranegara.

Margana membenarkan apa yang disampaikan oleh Politikus Gerindra itu.

"Benar Pak Karno dan Bung Hatta masih ditahan. Pak Karno di Menumbing dan Pak Hatta di Muntok. Sama-sama di Bangka tapi lokasinya beda. Soekarno sebelumnya ditempatkan di Menumbing waktu itu Soekarno tidak tahan di tempat yang dingin. Menumbing itu di puncak gunung jadi hawanya dingin. Terus beliau minta ditempatkan di tempat yang lebih hangat dan ditempatkan di Muntok," jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan mengenai peran Soekarno dan Mohammad Hatta yang disebut-sebut menjadi penggagas bahwa hingga kini belum ada bukti yang menunjukkan keduanya ikut berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari