POKOKNYA salut deh: ada jalan tol dari Lampung ke Palembang. Ternyata jarak itu begitu dekatnya: hanya 330 km. Saya pernah beberapa kali jalan darat d ari Bakauheni ke Palembang. Lewat jalan lama. Rasanya seperti 3.000 km.
Feri dari Merak itu merapat di Bakauheni tepat waktu: hari sudah gelap. Saya tidak bisa menikmati indahnya Bakauheni –padahal sudah lupa betapa indah di masa lalu. "Di sini segera dibangun pusat rekreasi. Namanya: Krakatau Park," ujar General Manager ASDP Bakauheni. “Di situ itu," tambahnya sambil menunjukkan jari ke arah gelap.
Saya tidak bertanya siapa yang membangunnya. Keterangan awal yang saya dapatkan: “akan ada Jatim Park di situ”. Itu cukup. Dugaan saya: yang membangun Krakatau Park adalah Jatim Park –pemilik Jatim Park 1, Jatim Park 2, dan Jatim Park 3 (di kota wisata Batu) dan Wisata Bahari Lamongan.
Itu dulu.
Bisa jadi Krakatau Park itu akan menjadi Jatim Park ke-7.
Jatim Park telah jadi lambang sukses bisnis tempat rekreasi.
Dengan demikian Bakauheni bukan lagi hanya hutan bakau yang rimbun –heni dalam bahasa Lampung berarti rimbun. Atau gemuk. Karena itu konon tidak ada gadis Lampung bernama Heni.
“Yeeeiiiiii….,” seru saya dalam hati. Artinya, saya begitu senang bisa merasakan sendiri berada di jalan tol ini. Itulah jalan tol yang sudah begitu lama diimpikan orang Lampung. Baru kesampaian tahun lalu. Anda sudah tahu siapa yang membangun.
Memang kendaraan belum bisa melaju cepat. Begitu banyak perbaikan jalan di jalur kiri. Rasanya seperti lebih banyak yang sedang diperbaiki daripada yang tidak. Tapi silakan saja. Itu tidak sampai mengurangi gejolak gembira di dada.
Malam itu saya istirahat di Bandar Lampung. Sudah 14 jam saya di atas kendaraan –termasuk 1,5 jam di laut. Harus makan dulu. Saya minta dibawa ke makanan yang segar. Yang ada kuah panasnya: untuk mengurangi penat.
Saya pun dibawa ke restoran pindang. Pindang ikan ala Lampung: Pindang Sehat. Saya tertarik dengan moto restoran ini: satu-satunya restoran yang bergaransi di Indonesia. Tertulis di situ: tidak cocok tidak usah bayar.
Masih ada keistimewaan satu lagi: tidak cocok boleh minta ganti makanan, tidak akan ditanya mengapa minta ganti.
Terlalu malam untuk minta ganti. Pagi-pagi saya harus memimpin senam-dansa di halaman belakang harian Radar Lampung. Bayarannya: pesta durian.
Saya pun diminta potong tumpeng ulang tahun. Saya merasa sudah terlalu gemuk –naik 3 kg. Maka saya minta diwakili karyawan paling muda. Untuk diberikan ke karyawan yang paling langsing.
Sedang untuk potong kue full kalori, saya minta karyawan yang paling rajin olahraga untuk melakukannya. Kue itu harus diberikan kepada yang paling keras bekerja.
Semua memilih si dia: Dina Puspasari. Ternyata ada karyawati Radar Lampung yang begitu gila olahraga. Makanya, ketika senam tadi, dia khusyuk sekali.
Jenis olahraganya pun belum pernah saya dengar: strong nation. Saya pun minta agar Dina memeragakannya. Saya akan mencoba mengikutinya.
Ampun. Saya tidak bisa. Tidak kuat. Ternyata saya laki-laki biasa.
Awalnya Dina ragu-ragu memutuskan: kepada siapa kue itu akan diberikan. Kriteria ‘’yang paling kerja keras’’ membuatnya berpikir keras. “Cepat putuskan. Salah tidak apa-apa. Latihanlah membuat keputusan cepat. Itulah modal untuk menjadi pemimpin,” kata saya.
Dia pun membuat keputusan cepat. Dia serahkan kue itu ke Purnawirawan, direkturnya sendiri. Tapi semua sependapat: sang direkrut memang pekerja keras.
Dan saya menemukan Musangking Lampung. Ini bukan Musangking tapi Musangking. Saking Musangkingnya saya sampai minta dijadwalkan kapan panen berikutnya tiba.
Habis senam begitu seru –dengan perut sekenyang itu– saya takut: bisa tertidur di mobil. Apalagi perjalanan ke Palembang lewat jalan tol. Pasti mengantuk.
Saya lawan kantuk itu.
Saya ingin melihat jalan tol Sumatera ini secara kafah. Saya ingin menghitung: ada berapa perbaikan. Ada berapa pula sambungan jembatan yang sampai membuat penumpang terlambung.
“Ya ampuuun, sudah sampai exit Metro,” ujar saya tidak bisa menahan kekaguman perpendekan jarak tempuh. Belum lagi 30 menit exit Metro terlewatkan.
Saya pernah ke Metro: 10 tahun lalu. Begitu jauh. Begitu sulit. Begitu di pedalaman. Pantas kalau listrik lebih sering mati dan lebih sulit lagi menghidupkannya. Problem listrik di Metro sama beratnya dengan di Lombok Timur. Awalnya PLN tidak bisa masuk ke sana: dikuasai koperasi. Rakyat menderita tapi koperasinya tidak kooperatif.
Untung di perjalanan ini saya ditemani Mas Yanto dan Bung Aca.
Mas Yanto orang Jawa tapi lahir, besar, sampai jadi sarjana di Lampung. Lalu jadi dirut Radar Cirebon.
Bung Aca orang Lampung yang lahir dan besar di Bengkulu. Lalu jadi dirut Radar Lampung.
Dua orang itu menjadi tour guide yang baik di sepanjang jalan tol. Mereka bisa menunjuk di mana kampungnya Erick Thohir, kampungnya Aburizal Bakrie, kampungnya Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, kampungnya Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Dari jalan tol ini juga bisa dimonitor: oh… itu kebun nanas milik Great Giant Pineapple. Yang begitu luas. Tidak habis-habisnya.
Oh… itu kebun tebu milik swasta itu. Yang dulu berperkara itu. Oh… itu perkebunan tebu milik PTPN 7. Oh… Itu kebun singkong untuk pabrik tapioka.
Ternyata tidak banyak perbaikan jalan di jalur Bandar Lampung–Palembang ini. Sampai dengan perbatasan Lampung-Sumsel, hanya ada empat perbaikan. Itu pun tidak berat. Beda dengan jalur Bakauheni-Bandar Lampung (Disway 4/2/2022).
Kualitas jalannya pun juga cukup bagus. Lebih baik dari Palimanan–Batang (Jabar-Jateng). Rasanya hanya di sekitar jembatan sungai Mesuji –yang memisahkan dua provinsi itu– yang bergelombang. Sekitar 1 km.
Begitu memasuki Sumsel beda sekali. Kanan-kiri jalan banyak terlihat rawa. Bahkan sampai pun mendekati Hollywood –sebutan keren orang di sana untuk kabupaten Kayu Agung.
Rawanya tetap bisa ditumbuhi tanaman liar.
Sebenarnya jalan tol itu bisa ditempuh 4 jam. Luar biasa. Dibanding 12 jam di masa lalu.
Tapi kami tidak buru-buru. Juga ada unsur sial (baca: missed management). Orang Lampung di dekat saya itu terlalu percaya diri: ini kan di kampung sendiri.
Mereka tenang saja ketika tanda bensin berubah ke warna kuning. “Saya tidak khawatir, 20 km lagi ada rest area,” katanya.
Padahal kami baru saja berhenti di rest area sebelumnya: untuk salat zuhur jamak asar. Masjid Al Hikmah itu ramai sekali. Pertanda jalan tol ini sudah ramai.
“Kenapa tadi tidak sekalian isi bensin?” tanya saya.
“Di rest area berikutnya saja. Sekalian bisa mampir lagi”. “Tapi lampu sudah kuning”.
“Kalau begitu kita perbanyak doa,” ujar Aca.
“Dengan doa bensin bisa bertambah?” tanya saya.
Belum lagi terjawab, terlihat tanda menggembirakan itu: rest area Km 272. Ada tanda pompa bensin di papan itu –berarti bisa isi BBM di situ.
“Horeeee…,” teriak mereka hampir serentak.
Saya belum berani ber-horeee. Saya punya pengalaman pahit: di rest area setelah Brebes, Jateng, gambarnya ada tapi pompa bensinnya tidak ada. Di Google juga ada, tapi di lapangan tidak ada.
Saya berharap itu tidak terjadi lagi di sini.
Terjadi!
Tidak apa-apa. Ada banyak kelapa muda di rest area itu. Beberapa lelaki duduk-duduk di situ. Mereka adalah jalan keluar itu: beli bensin 10 liter di kampung terdekat. Pakai jeriken. Rest area dengan pom bensin ada di 49 km di depan.
Begitu melewati Hollywood kami senang: nyaris tiba di Palembang. Kota itu memang sudah kelihatan. Justru pintu tol yang tidak tampak: tertutup oleh deretan truk yang lagi antre. Panjang sekali. Macet total. Sepanjang setengah kilometer.
Hampir setengah jam kami antre di dekat Palembang. Sistem pembayarannya macet. Sudah satu jam. “Baru sekali ini terjadi,” kata petugas.
Macet panjang itu menggembirakan: pertanda pemakai tol ini sudah ramai. Tidak sepi seperti kesan yang saya peroleh dari media selama ini.
Dan memang saya mengalami sendiri: tol ini cukup ramai. Orang Palembang kini pilih rekreasi ke Lampung. Saya bertemu orang Palembang di hotel di Lampung. Di rest area. Di Masjid Hikmah. Semua mengatakan akan rekreasi di Lampung.
Tujuan pujaan mereka ternyata ini: Pantai Sari Ringgung. Atau ke satu pulau ini: Pahawang. Yang pantainya juga bagus. Di seberang Pantai Sari Ringgung.
Jalan tol telah menyatukan ekonomi dua provinsi itu. Nama Hutama Karya terpatri di situ. Awalnya memang sulit, akhirnya terwujud juga. Alhamdulillah. Masjid di semua rest area pun diberi nama Al Hikmah. Saya sempat keliru membacanya: Al HK. Ada unsur HK di dalamnya.***
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.