JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Desakan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU 19 tahun 2019 tentang KPK belum mereda. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergeming dan tidak mengeluarkannya. Bahkan, Presiden sudah bersiap membentuk dewan pengawas (Dewas) KPK yang menjadi salah satu pasal kontroversial UU tersebut.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, terlepas dari polemik Perppu, proses penyusunan Dewas KPK tetap harus dikawal. Meski UU mengatur ditunjuk langsung oleh Presiden, dia menuntut prosesnya harus melibatkan publik. Apalagi, UU KPK tidak memberikan indikator yang detail.
"Dalam UU KPK yang baru tidak dijelaskan indikator dewan pengawas. Hal-hal itu harus mendapat respons dari publik apa saja indikator yang diperlukan," ujarnya.
Untuk itu, dia berharap Presiden bisa melibatkan tokoh-tokoh yang diharapkan bisa memberikan masukan. Jangan sampai, prosesnya sepenuhnya dilakukan istana.
"Namanya bisa Presiden pilih, tapi indikator dari masyarakat penting diserap," imbuhnya.
Lantas, apa indikator yang dinilai penting versi ILR? Erwin mengatakan, yang paling utama adalah integritas dan kredibilitasnya. Sosok Dewas yang dipilih harus bebas dari kepentingan dan afiliasi kelompok tertentu. Kemudian, kasus sekecil apapun yang merusak integritas tidak bisa ditoleransi.
"Standarnya harus tinggi dari komisionar. Standar komisioner saja tinggi apalagi pengawasnya," kata Erwin.
Indikator lain yang patut dipertimbangkan adalah pemahaman terkait cara kerja KPK. Oleh karenanya, dia menyarankan agar sosok yang punya latar belakang atau pernah terlibat dalam kerja KPK perlu dipertimbangkan. Dengan tipikal tersebut, proses adaptasi ataupun pemahaman terhadap kerja KPK lebih mudah dilakukan. Berbeda dengan orang baru yang relatif perlu waktu untuk belajar.
"Mantan komisioner Pak Amien Sunaryadi, Chandra Hamzah, Laode Syarif, perlu dipertimbangkan oleh Jokowi sebagai dewan pengawas," tuturnya.
Meski demikian, bukan berarti seluruhnya mantan komisioner. Aspek keberagaman juga diperlukan guna memberikan warna. Untuk itu, perwakilan dari akademisi, profesional, hingga tokoh masyarakat juga perlu dipertimbangkan.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati enggan berkomentar banyak soal proses penyusunan dewan pengawas. Menurut dia, bagaimana pun prosesnya, keberadaannya tetap saja melemahkan KPK.
"Jadi percuma siapapun yang dipilih," ujarnya.
Apalagi, kata dia, dalam UU KPK syarat yang diatur dirasa tidak terlalu ketat.
"Pengawas yang wewenangnya lebih dari pimpinan malah syarat dan proses pemilihannya lebih gampang," kata dia.
Dia bergeming, sejak awal, esensi dewan pengawas yang diatur dalam UU KPK sudah keliru. Sebab, kewenangannya dalam penanganan kasus sangat dominan.
"Pengawas kok melakukan tindakan manajemen," tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku sudah menjaring nama-nama yang akan disiapkan duduk di posisi Dewas KPK. Sebagaimana pasal 69a ayat 1 UU KPK, untuk pertama kalinya, Dewas KPK ditentukan langsung oleh Presiden tanpa perlu membentuk panitia seleksi. Rencananya, Dewas KPK dilantik bersamaan dengan pengucapan sumpah komisioner KPK periode 2019-2023.(far/tyo/syn/jpg)