Minggu, 7 Juli 2024

DPR Minta Polisi Periksa Imigrasi

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Setelah pelarian panjangnya selama 11 tahun untuk lolos dari jeratan hukum. Buronan Djoko Tjandra tidak ‘licin’ lagi. Kerena orang-orang bayaranya di Bareskrim Polri sudah diketahui hingga akhirnya berhasil di tangkap di Mayalasia.

Selain membersihkan para penikmat duit buronan Djoko Tjandra di corps Bhayangkara, Anggota Komisi III DPR Eva Yuliana juga meminta aparat polisi kepolisian untuk mengusut oknum yang membantu Djoko Tjandra untuk keluar masuk Indonesia-Malaysia. Terutama oknum yang berada di Imigrasi.

- Advertisement -

“Harus ada pengusutan di imigrasi, kemungkinan adanya oknum yang membantu membuat paspor di Imigrasi Jakarta Utara, juga kemungkinan adanya oknum yang membantu menghapus Djoko Tjandra dari daftar cekal, dan bisa jadi oknum yang membantu Djoko tjandra melalui jalur darat di perbatasan kalimantan barat dan serawak, Malaysia,” ujar Eva kepada wartawan, Selasa (4/8).

Diduga, Djoko Tjandra bisa bebas keluar masuk Indonesia karena menggunakan jalur darat melalui Entikong, Kalimantan Barat.

“Saya kira kepolisian dan Kemenkumham harus bekerja sama untuk mengusut apakah ada oknum imigrasi di PLBN (pos lintas batas negara) yang membantu Djoko Tjandra keluar masuk melalui jalur tikus,” katanya.

- Advertisement -

Penangkapan Djoko Tjandra barulah permulaan, jaringan mafia hukum di kepolisian, Kejaksaan Agung, Imigrasi, dan Pengadilan wajib diusut sehingga hal yang mencoreng wajah hukum Indonesia tidak terulang kembali.

“Di komisi III, kita akan terus meminta mitra kami untuk mengusut tuntas keterlibatan oknum yang sudah membantu Djoko Tjandra dan meminta mereka untuk memperbaiki institusinya yang sudah tercoreng akibat kasus Djoko Tjandra ini di Panja pengawasan hukum kami tidak akan berhenti sampai semua oknum yang membantu bisa diadili juga,” pungkasnya.

Baca Juga:  Seorang WNI di Inggris Meninggal karena Corona

Adapun, Djoko Tjandra merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko. Namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.

Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atau PK terhadap kasus ini ke Mahkamah Agung (MA). Pada 11 Juni 2009, MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Joko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekal Djoko.

Djoko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Joko sebagai buronan.

Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit mengungkapkan penangkapan buronan Djoko Tjandra di Malaysia. Ada kerja sama antara Polri dengan Kepolisian Malaysia hingga Djoko Tjandra berhasil ditangkap.

Listyo menjelaskan, mulanya Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan untuk mencari Djoko Tjandra. Kemudian, Polri mencari informasi keberadaan buronan tersebut di Malaysia hingga berhasil ditangkap dan dibawa pulang ke Indonesia pada Kamis malam (30/7).

Baca Juga:  Lima Titik Api Terdeteksi di Wilayah Batu Teritip 

Diketahui, Djoko Tjandra sempat berada di Indonesia tanpa terdeteksi aparat penegak hukum dan pihak keimigrasian. Bahkan, dia sempat membuat e-KTP dan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni.

Kemudian, Djoko Tjandra berhasil keluar dari Indonesia menuju Malaysia. Menurut penuturan pengacara, Djoko Tjandra sakit dan berobat di Malaysia.

Djoko Tjandra tidak pernah hadir dalam sidang PK di PN Jaksel. Selamat empat persidangan tidak hadir. Menurut pengacara, Djoko Tjandra masih sakit sehingga tidak bisa menghadiri persidangan. Akhirnya PN Jakarta Selatan tidak menerima permohonan PK Djoko Tjandra. Permohonannya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

Sejauh ini, telah ada sejumlah jenderal di Polri dan jaksa yang diduga membantu Djoko Tjandra. Sebanyak tiga Pati Polri itu adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo yang dicopot dari jabatan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte yang dicopot dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, serta Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo yang dicopot dari jabatan Sekretaris NCB Interpol Indonesia.

Kejaksaan Agung juga mencopot Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Pinangki Sirnamalasari dari jabatannya. Pinangki dicopot dari jabatannya karena diduga bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia pada 2019 lalu.

Polri juga menetapkan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking sebagai tersangka. Dia diduga turut berperan dalam pelarian Djoko Tjandra selama menjadi buronan.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Setelah pelarian panjangnya selama 11 tahun untuk lolos dari jeratan hukum. Buronan Djoko Tjandra tidak ‘licin’ lagi. Kerena orang-orang bayaranya di Bareskrim Polri sudah diketahui hingga akhirnya berhasil di tangkap di Mayalasia.

Selain membersihkan para penikmat duit buronan Djoko Tjandra di corps Bhayangkara, Anggota Komisi III DPR Eva Yuliana juga meminta aparat polisi kepolisian untuk mengusut oknum yang membantu Djoko Tjandra untuk keluar masuk Indonesia-Malaysia. Terutama oknum yang berada di Imigrasi.

“Harus ada pengusutan di imigrasi, kemungkinan adanya oknum yang membantu membuat paspor di Imigrasi Jakarta Utara, juga kemungkinan adanya oknum yang membantu menghapus Djoko Tjandra dari daftar cekal, dan bisa jadi oknum yang membantu Djoko tjandra melalui jalur darat di perbatasan kalimantan barat dan serawak, Malaysia,” ujar Eva kepada wartawan, Selasa (4/8).

Diduga, Djoko Tjandra bisa bebas keluar masuk Indonesia karena menggunakan jalur darat melalui Entikong, Kalimantan Barat.

“Saya kira kepolisian dan Kemenkumham harus bekerja sama untuk mengusut apakah ada oknum imigrasi di PLBN (pos lintas batas negara) yang membantu Djoko Tjandra keluar masuk melalui jalur tikus,” katanya.

Penangkapan Djoko Tjandra barulah permulaan, jaringan mafia hukum di kepolisian, Kejaksaan Agung, Imigrasi, dan Pengadilan wajib diusut sehingga hal yang mencoreng wajah hukum Indonesia tidak terulang kembali.

“Di komisi III, kita akan terus meminta mitra kami untuk mengusut tuntas keterlibatan oknum yang sudah membantu Djoko Tjandra dan meminta mereka untuk memperbaiki institusinya yang sudah tercoreng akibat kasus Djoko Tjandra ini di Panja pengawasan hukum kami tidak akan berhenti sampai semua oknum yang membantu bisa diadili juga,” pungkasnya.

Baca Juga:  Miris, 514 Kematian dalam Sehari karena Corona di Spanyol

Adapun, Djoko Tjandra merupakan terdakwa kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko. Namun hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.

Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atau PK terhadap kasus ini ke Mahkamah Agung (MA). Pada 11 Juni 2009, MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Joko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekal Djoko.

Djoko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Kejaksaan menetapkan Joko sebagai buronan.

Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit mengungkapkan penangkapan buronan Djoko Tjandra di Malaysia. Ada kerja sama antara Polri dengan Kepolisian Malaysia hingga Djoko Tjandra berhasil ditangkap.

Listyo menjelaskan, mulanya Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan untuk mencari Djoko Tjandra. Kemudian, Polri mencari informasi keberadaan buronan tersebut di Malaysia hingga berhasil ditangkap dan dibawa pulang ke Indonesia pada Kamis malam (30/7).

Baca Juga:  Survei Ini Ungkap Pria Suka Perempuan Lebih Tinggi dan Tua

Diketahui, Djoko Tjandra sempat berada di Indonesia tanpa terdeteksi aparat penegak hukum dan pihak keimigrasian. Bahkan, dia sempat membuat e-KTP dan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni.

Kemudian, Djoko Tjandra berhasil keluar dari Indonesia menuju Malaysia. Menurut penuturan pengacara, Djoko Tjandra sakit dan berobat di Malaysia.

Djoko Tjandra tidak pernah hadir dalam sidang PK di PN Jaksel. Selamat empat persidangan tidak hadir. Menurut pengacara, Djoko Tjandra masih sakit sehingga tidak bisa menghadiri persidangan. Akhirnya PN Jakarta Selatan tidak menerima permohonan PK Djoko Tjandra. Permohonannya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

Sejauh ini, telah ada sejumlah jenderal di Polri dan jaksa yang diduga membantu Djoko Tjandra. Sebanyak tiga Pati Polri itu adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo yang dicopot dari jabatan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte yang dicopot dari jabatan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, serta Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo yang dicopot dari jabatan Sekretaris NCB Interpol Indonesia.

Kejaksaan Agung juga mencopot Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Pinangki Sirnamalasari dari jabatannya. Pinangki dicopot dari jabatannya karena diduga bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia pada 2019 lalu.

Polri juga menetapkan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking sebagai tersangka. Dia diduga turut berperan dalam pelarian Djoko Tjandra selama menjadi buronan.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari