JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pengungkapan kasus penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan bukan hanya menjadi pertaruhan nama Polri. Tapi juga pemerintah di mata negara-negara penandatangan konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang nenentang korupsi (COSP-UNCAC). Sebab, pertengahan Desember lalu, Novel membeberkan persoalan teror air keras dalam forum itu.
Dalam forum itu, kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia dipaparkan oleh Novel. Mulai dari serangan ke sejumlah pegawai dan pimpinan KPK hingga revisi UU KPK. Pun, topik pembicaraan itu menghasilkan resolusi yang disepakati negara-negara peserta konvensi PBB. Resolusi itu menekankan kepada seluruh negara peserta untuk membuat lembaga antikorupsi independen dan membangun sistem perlindungan pegawai.
Saat dikonfirmasi, Novel menyatakan resolusi itu lambat laun harus dilaksanakan seluruh negara peserta konvensi. Termasuk Indonesia. Itu berarti, Indonesia harus membuat sistem perlindungan terhadap pegawai lembaga antikorupsi agar kasus-kasus teror yang terjadi, seperti penyiraman air keras terhadap Novel, dapat terselesaikan dengan baik dan transparan.
“Resolusi itu bagus sekali,” kata Novel kepada Jawa Pos (JPG), Jumat (3/1).
Novel menjelaskan penegak hukum memang harus mengedepankan aspek transparansi dalam penanganan kasus air keras yang menimpa dirinya. Transparansi itu sebagai wujud penerapan sistem perlindungan pegawai lembaga antikorupsi. Tanpa transparansi, pengungkapan serangan-serangan terhadap pegawai atau pegiat antikorupsi bakal sulit dilakukan.
“Jangan sampai tinggalkan aspek transparansi,” ujarnya.
Sejauh ini, Polri telah mengungkap dua pelaku penyerangan air keras Novel yang terjadi 11 April 2017 lalu. Yakni anggota polisi aktif berinisial RM dan RB. Namun, sampai saat ini Polri belum membeberkan secara detail identitas dua polisi tersebut. Baik itu pangkat maupun asal kesatuan masing-masing tersangka. Ketidakterbukaan itu membuat Novel kurang yakin jika penanganan kasus teror tersebut dapat dilakukan maksimal.
Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, hingga saat ini belum ada penjelasan terkait dua alat bukti yang menjerat kedua pelaku. Tentunya ini membuat masyarakat makin curiga dengan proses kasus ini.
”Kecurigaan ini bisa mengganjal keberhasilan Polri,” tuturnya.
Apalagi, Polri yang mengarahkan agar masyarakat menunggu sidang kasus tersebut. Tentunya, persidangan itu menjadi tidak meyakinkan.
”Bila alat bukti minim, tentunya tidak akan menguak keseluruhan kasus,” paparnya.
Dia mengatakan, kasus ini seakan diarahkan hanya pada dua orang tersebut. Padahal, semua meyakini bahwa ada pelaku aktor intelektual. ”Bagaimana mungkin masyarakat coba untuk didikte dalam kasus ini,” terangnya.
Sementara Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Argo Yuwono beberapa waktu lalu memastikan memeriksa handphone kedua pelaku.
”Sudah dibawa ke laboratorium forensik,” tuturnya.
Namun, hingga saat ini belum diumumkan bagaimana hasil digital forensik handphone keduanya.(tyo/idr/jpg)