Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Restrukturisasi, Senjata Ampuh OJK Jaga Stabilitas Ekonomi di Masa Pandemi

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Merebaknya wabah virus corona di berbagai negara menyebabkan melemahnya perekonomian secara global. Indonesia pun berdampak serupa. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) untuk pencegahan penularan Covid-19 membuat terbatasnya ruang gerak masyarakat. Hal tersebut menjadikan perekonomian di berbagai sektor limbung.

Beberapa perusahaan terpaksa mengambil pilihan berat agar peruasahaan dapat terus beroperasi, seperti dengan mengurangi gaji karyawan, mengurangi jumlah karyawan, bahkan ada yang harus gulung tikar.

Pembatasan aktivitas masyarakat untuk pencegahan penyebaran Covid-19 juga mengakibatkan sektor pariwisata dan perhotelan mengalami sepi kunjungan. Okupansi kunjungan mengalami  penurunan lebih dari 50 persen.

Selain itu perusahaan-perusahaan harus memutar otak untuk dapat bertahan di tengah pandemi, pengurangan gaji karyawan, hingga pemutusan hubungan kerja, secara langsung berdampak pada berkurangnya pemasukan, dan hilangnya pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan.

Salah seorang masyarakat yang terdampak secara ekonomi adalah karyawan sebuah perusahaan swasta, Izal (34). Ia mengatakan, akibat dari pandemi ini, perusahaannya melakukan pemotongan gaji, jika biasanya ia mendapatkan gaji sesuai UMR, maka saat ini ia hanya mendapatkan 50 persen dari gaji tersebut.

Izal bercerita, ia harus menghidupi keluarga kecilnya, dimana ia sebagai tulang punggung keluarga untuk istri dan kedua anaknya. Kendati demikian, di tengah permasalahan yang dihadapinya, pemerintah ternyata memberikan keringanan bagi masyarakat maupun pelaku usaha di masa pandemi ini berupa restrukturisasi. 

Menurutnya andai saja tidak ada restrukturisasi yang diberikan, ia bisa memastikan terjadinya tunggakan atas kredit yang dimilikinya. Ia mengaku memiliki hutang di Bank Syariah Mandiri (BSM) beberapa tahun yang lalu. Baginya, restrukturisasi menjadi senjata ampuh sebagai sebuah kebijakan pemerintah melalui OJK hingga perekonomian keluarganya tetap stabil.

“Dulu hutang Rp40 juta di BSM, itu dibayar nyicil selama 60 bulan, terhitung sejak 2017 lalu, jadi selesainya nanti di tahun 2022 di bulan Juli,” ucapnya dalam perbincangan Senin (2/11/2020).

Sebelum restrukturisasi, setiap bulannya ia harus membayarkan Rp1,1 juta. Dipotongnya gaji sebesar 50 persen tentu saja membuat Izal kebingungan. Ia harus memutar otak untuk dapat mencukupi keperluan keluarganya. Membayar hutang menjadi salah satumasalah yang mesti dipikirkan dengan baik, apalagi pemasukan terbesarnya berasal dari gaji per bulan dari perusahaan tempat ia bekerja.

Diceritakan Izal, ia mendapatkan pelayanan yang baik dari BSM, saat mengajukan restrukturisasi, pegawai bank menanyakan berapa kesanggupan Izal melakukan pelunasan setiap bulannya. Bank BSM menawarkan batas terendah yang dibayarkan adalah Rp500 ribu, yang kemudian disetujui oleh Izal. Oleh karena itu, selama mendapatkan restrukturisasi, setiap bulannya Izal hanya membayar Rp500 ribu.

Baca Juga:  DJSN: Mayoritas Penunggak Iuran BPJS Kesehatan PBPU Kelas III

“Kan biasanya Rp1,1 juta, karena ada restruturisasi jadi cuma bayar Rp500 ribu. Sisanya Rp600 ribu akan dibayarkan di akhir. Seharusnya hutang akan lunas di Juli 2022, karena ikut restrukturisasi, maka kekurangan itu dibayarkan setelah Juli 2022. Bisa langsung dilunaskan, atau menambah beberapa bulan untuk pelunasan kekurangan itu,” jelas Izal.

Izal mengaku sangat bersyukur dengan adanya restrukturisasi, menurutnya restrukturisasi yang didapatkannya sama sekali tidak merugikan dan tidak menambah beban di kemudian hari. 

“Sangat terbantu,” tukasnya.

Tak hanya bagi masyarakat biasa, pelaku usaha di bidang perhotelan juga merasakan dampak dari pandemi. 

Marketing Comunication Labersa Grand Hotel and Convention Center Renta Pakpahan mengatakan, okupansi hotel sangat jauh berbeda jika dibandingkan saat sebelum Covid-19 merebak.

Menurunnya kunjungan wisatawan, acara-acara yang dibatalkan, hingga kekhawatiran masyarakat akan Covid-19 berhasil membuat hotel-hotel kelimpungan. Bahkan beberapa di antaranya sempat tutup untuk beberapa waktu.

Renta mengungkapkan, pemasukan Labersa saat ini adalah dari jumlah kamar yang dipesan setiap harinya. Jika dulu, banyak iven-iven yang dilaksanakan di Labersa, maka saat ini iven tersebut masih banyak yang tertunda akibat pandemi. 

"Biasanya kan kalau ada iven itu banyak yang pesan kamar, kalau saat ini lebih banyak individu yang pesan, paling bawa keluarga," tuturnya.

Lebih lanjut, Renta mengungkapkan, Labersa juga mengalami kerugian dimana jumlah kunjungan masih jauh dibandingkan saat sebelum pandemi. Di new normal ini, dikatakan Renta, saat weekend (akhir pekan) hanya memenuhi 50-60 persen. 

"Tapi sekarang sudah mulai naik meskipun slow. Kita kan ada 200 kamar, itu saat weekend paling terisi 100 kamar. Hari biasa hanya 20 persennya," jelasnya.

Peran OJK Menjaga Perekonomian di Masa Pandemi

Berbagai kebijakan-kebijakan dan stimulus yang diberikan OJK, mulai dari kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan hingga keringanan pajak yang diberikan selama wabah Covid-19 berlangsung, seolah menjadi angin segar di tengah sulitnya perekonomian di masa pandemi ini. 

Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Riau Nofrizal, tak hanya satu atau dua hotel dan restoran yang kesulitan akibat virus asal Wuhan tersebut, namun hampir semua perhotelan dan restoran menjadi bisnis yang sangat terdampak. 

“Penurunan drastis bahkan ada yang mencapai 80 persen,” ujarnya.

Selain itu, Nofrizal mengungkapkan, pengusaha perhotelan dan restoran mau tidak mau pasti memanfaatkan berbagai stimulus-stimulus yang diberikan oleh pemerintah, termasuk kebijakan restrukturisas kredit. Bagaimanapun juga, hal terpenting yang harus dilakukan adalah bagaimana bisnis tetap berjalan dan gaji karyawan terbayarkan.

Baca Juga:  WNI di Singapura Minta Identitasnya Tak Diungkap

“Ada banyak stimulus yang diberikan kepada hotel, seperti bebas pajak dan penundaan pembayaran, tak dikenai denda, dan lain-lain, termasuk restrukturisasi kredit. Kalau nggak stimulus kolaps kita. Manfaatnya sangat besar kita rasakan, yang terpenting karyawan bisa gajian, perusahaan bisa bayar istrik dan operasional," ujar Nofrizal.

Oleh sebab itu, untuk membantu mengembalikan perekonomian yang porak poranda akibat Covid-19, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menerapkan kebijakan pemberian stimulus bagi perekonomian dengan diterbitkannya POJK Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

POJK Nomor 11/POJK.03/2020, mengatur bahwa debitur yang mendapatkan perlakuan khusus dalam POJK ini adalah debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada bank kareana debitur atau usaha debitur terdampak penyebaran Covid-19 baik secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ekonomi, seperti pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Riau Yusri menjelaskan, restrukturisasi kredit/pembiayaan dilakukan mengacu pada POJK mengenai penilaian kualitas aset, antara lain dengan cara, penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan, dan konversikredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara.

“Berbagai skema tersebut diserahkan sepenuhnya kepada bank dan sangat tergantung pada hasil identifikasi bank atas kinerja keuangan debitur ataupun penilaian atas prospek usaha dan kapasitas membayar debitur yang terdampak Covid-19. Jangka waktu restrukturisasi ini sangat bervariasi tergantung pada asesmen bank terhadap debiturnya,” kata Yusri.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, OJK memberikan restrukturisasi kredit kepada para debitur yang terdampak Covid-19. Ia juga mengungkapkan hingga 5 Oktober 2020  realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan sebesar Rp914,65 triliun untuk 7,53 juta debitur yang terdiri dari 5,88 juta debitur UMKM senilai Rp361,98 triliun dan 1,65 juta debitur non UMKM senilai Rp552,69 triliun. 

Sementara untuk restrukturisasi pembiayaan perusahaan pembiayaan hingga 27 Oktober sudah mencapai Rp177,66 triliun dari 4,79 juta kontrak. 

“OJK senantiasi mencermati dinamika dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan di sektor jasa keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi nasional,” tukasnya.

Laporan: Mujawaroh Annafi (Pekanbaru)

Editor: Eka G Putra

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Merebaknya wabah virus corona di berbagai negara menyebabkan melemahnya perekonomian secara global. Indonesia pun berdampak serupa. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) untuk pencegahan penularan Covid-19 membuat terbatasnya ruang gerak masyarakat. Hal tersebut menjadikan perekonomian di berbagai sektor limbung.

Beberapa perusahaan terpaksa mengambil pilihan berat agar peruasahaan dapat terus beroperasi, seperti dengan mengurangi gaji karyawan, mengurangi jumlah karyawan, bahkan ada yang harus gulung tikar.

- Advertisement -

Pembatasan aktivitas masyarakat untuk pencegahan penyebaran Covid-19 juga mengakibatkan sektor pariwisata dan perhotelan mengalami sepi kunjungan. Okupansi kunjungan mengalami  penurunan lebih dari 50 persen.

Selain itu perusahaan-perusahaan harus memutar otak untuk dapat bertahan di tengah pandemi, pengurangan gaji karyawan, hingga pemutusan hubungan kerja, secara langsung berdampak pada berkurangnya pemasukan, dan hilangnya pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan.

- Advertisement -

Salah seorang masyarakat yang terdampak secara ekonomi adalah karyawan sebuah perusahaan swasta, Izal (34). Ia mengatakan, akibat dari pandemi ini, perusahaannya melakukan pemotongan gaji, jika biasanya ia mendapatkan gaji sesuai UMR, maka saat ini ia hanya mendapatkan 50 persen dari gaji tersebut.

Izal bercerita, ia harus menghidupi keluarga kecilnya, dimana ia sebagai tulang punggung keluarga untuk istri dan kedua anaknya. Kendati demikian, di tengah permasalahan yang dihadapinya, pemerintah ternyata memberikan keringanan bagi masyarakat maupun pelaku usaha di masa pandemi ini berupa restrukturisasi. 

Menurutnya andai saja tidak ada restrukturisasi yang diberikan, ia bisa memastikan terjadinya tunggakan atas kredit yang dimilikinya. Ia mengaku memiliki hutang di Bank Syariah Mandiri (BSM) beberapa tahun yang lalu. Baginya, restrukturisasi menjadi senjata ampuh sebagai sebuah kebijakan pemerintah melalui OJK hingga perekonomian keluarganya tetap stabil.

“Dulu hutang Rp40 juta di BSM, itu dibayar nyicil selama 60 bulan, terhitung sejak 2017 lalu, jadi selesainya nanti di tahun 2022 di bulan Juli,” ucapnya dalam perbincangan Senin (2/11/2020).

Sebelum restrukturisasi, setiap bulannya ia harus membayarkan Rp1,1 juta. Dipotongnya gaji sebesar 50 persen tentu saja membuat Izal kebingungan. Ia harus memutar otak untuk dapat mencukupi keperluan keluarganya. Membayar hutang menjadi salah satumasalah yang mesti dipikirkan dengan baik, apalagi pemasukan terbesarnya berasal dari gaji per bulan dari perusahaan tempat ia bekerja.

Diceritakan Izal, ia mendapatkan pelayanan yang baik dari BSM, saat mengajukan restrukturisasi, pegawai bank menanyakan berapa kesanggupan Izal melakukan pelunasan setiap bulannya. Bank BSM menawarkan batas terendah yang dibayarkan adalah Rp500 ribu, yang kemudian disetujui oleh Izal. Oleh karena itu, selama mendapatkan restrukturisasi, setiap bulannya Izal hanya membayar Rp500 ribu.

Baca Juga:  Good News, Kondisi Pasien Corona Membaik Usai Konsumsi Obat Remdesivir

“Kan biasanya Rp1,1 juta, karena ada restruturisasi jadi cuma bayar Rp500 ribu. Sisanya Rp600 ribu akan dibayarkan di akhir. Seharusnya hutang akan lunas di Juli 2022, karena ikut restrukturisasi, maka kekurangan itu dibayarkan setelah Juli 2022. Bisa langsung dilunaskan, atau menambah beberapa bulan untuk pelunasan kekurangan itu,” jelas Izal.

Izal mengaku sangat bersyukur dengan adanya restrukturisasi, menurutnya restrukturisasi yang didapatkannya sama sekali tidak merugikan dan tidak menambah beban di kemudian hari. 

“Sangat terbantu,” tukasnya.

Tak hanya bagi masyarakat biasa, pelaku usaha di bidang perhotelan juga merasakan dampak dari pandemi. 

Marketing Comunication Labersa Grand Hotel and Convention Center Renta Pakpahan mengatakan, okupansi hotel sangat jauh berbeda jika dibandingkan saat sebelum Covid-19 merebak.

Menurunnya kunjungan wisatawan, acara-acara yang dibatalkan, hingga kekhawatiran masyarakat akan Covid-19 berhasil membuat hotel-hotel kelimpungan. Bahkan beberapa di antaranya sempat tutup untuk beberapa waktu.

Renta mengungkapkan, pemasukan Labersa saat ini adalah dari jumlah kamar yang dipesan setiap harinya. Jika dulu, banyak iven-iven yang dilaksanakan di Labersa, maka saat ini iven tersebut masih banyak yang tertunda akibat pandemi. 

"Biasanya kan kalau ada iven itu banyak yang pesan kamar, kalau saat ini lebih banyak individu yang pesan, paling bawa keluarga," tuturnya.

Lebih lanjut, Renta mengungkapkan, Labersa juga mengalami kerugian dimana jumlah kunjungan masih jauh dibandingkan saat sebelum pandemi. Di new normal ini, dikatakan Renta, saat weekend (akhir pekan) hanya memenuhi 50-60 persen. 

"Tapi sekarang sudah mulai naik meskipun slow. Kita kan ada 200 kamar, itu saat weekend paling terisi 100 kamar. Hari biasa hanya 20 persennya," jelasnya.

Peran OJK Menjaga Perekonomian di Masa Pandemi

Berbagai kebijakan-kebijakan dan stimulus yang diberikan OJK, mulai dari kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan hingga keringanan pajak yang diberikan selama wabah Covid-19 berlangsung, seolah menjadi angin segar di tengah sulitnya perekonomian di masa pandemi ini. 

Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Riau Nofrizal, tak hanya satu atau dua hotel dan restoran yang kesulitan akibat virus asal Wuhan tersebut, namun hampir semua perhotelan dan restoran menjadi bisnis yang sangat terdampak. 

“Penurunan drastis bahkan ada yang mencapai 80 persen,” ujarnya.

Selain itu, Nofrizal mengungkapkan, pengusaha perhotelan dan restoran mau tidak mau pasti memanfaatkan berbagai stimulus-stimulus yang diberikan oleh pemerintah, termasuk kebijakan restrukturisas kredit. Bagaimanapun juga, hal terpenting yang harus dilakukan adalah bagaimana bisnis tetap berjalan dan gaji karyawan terbayarkan.

Baca Juga:  Mengintip Sistem Zonasi Sekolah di Belanda

“Ada banyak stimulus yang diberikan kepada hotel, seperti bebas pajak dan penundaan pembayaran, tak dikenai denda, dan lain-lain, termasuk restrukturisasi kredit. Kalau nggak stimulus kolaps kita. Manfaatnya sangat besar kita rasakan, yang terpenting karyawan bisa gajian, perusahaan bisa bayar istrik dan operasional," ujar Nofrizal.

Oleh sebab itu, untuk membantu mengembalikan perekonomian yang porak poranda akibat Covid-19, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menerapkan kebijakan pemberian stimulus bagi perekonomian dengan diterbitkannya POJK Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

POJK Nomor 11/POJK.03/2020, mengatur bahwa debitur yang mendapatkan perlakuan khusus dalam POJK ini adalah debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada bank kareana debitur atau usaha debitur terdampak penyebaran Covid-19 baik secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ekonomi, seperti pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Riau Yusri menjelaskan, restrukturisasi kredit/pembiayaan dilakukan mengacu pada POJK mengenai penilaian kualitas aset, antara lain dengan cara, penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan, dan konversikredit/pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara.

“Berbagai skema tersebut diserahkan sepenuhnya kepada bank dan sangat tergantung pada hasil identifikasi bank atas kinerja keuangan debitur ataupun penilaian atas prospek usaha dan kapasitas membayar debitur yang terdampak Covid-19. Jangka waktu restrukturisasi ini sangat bervariasi tergantung pada asesmen bank terhadap debiturnya,” kata Yusri.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, OJK memberikan restrukturisasi kredit kepada para debitur yang terdampak Covid-19. Ia juga mengungkapkan hingga 5 Oktober 2020  realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan sebesar Rp914,65 triliun untuk 7,53 juta debitur yang terdiri dari 5,88 juta debitur UMKM senilai Rp361,98 triliun dan 1,65 juta debitur non UMKM senilai Rp552,69 triliun. 

Sementara untuk restrukturisasi pembiayaan perusahaan pembiayaan hingga 27 Oktober sudah mencapai Rp177,66 triliun dari 4,79 juta kontrak. 

“OJK senantiasi mencermati dinamika dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan di sektor jasa keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi nasional,” tukasnya.

Laporan: Mujawaroh Annafi (Pekanbaru)

Editor: Eka G Putra

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari