JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Wacana penutupan sementara Pulau Komodo dan relokasi penduduk Pulau Komodo di Taman Nasional Komodo, yang telah bergulir sejak akhir Januari 2019, mendorong Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk Tim Terpadu untuk melakukan pengkajian sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.354/MENLHK/SETJEN/KSA.3/5/2019 tanggal 24 Mei 2019 tentang Pembentukan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Pengelolaan Taman Nasional Komodo sebagai Kawasan Tujuan Wisata Alam Eksklusif.
Taman Nasional Komodo merupakan taman nasional yang mempunyai 2 status internasional yang ditetapkan oleh UNESCO yaitu Cagar Biosfer (Biosphere Reserve) sejak tahun 1977 dan Warisan Alam Dunia (Natural World Heritage Site) pada sejak 1991. Selain itu pada tahun 2012 Taman Nasional Komodo mendapat predikat sebagai 7 keajaiban dunia (New 7 Wonder). Dengan menyandang beberapa status internasional tersebut berarti bahwa Taman Nasional Komodo bukan saja menjadi milik Pemerintah Indonesia, namun juga sudah menjadi milik dunia internasional.
Taman Nasional Komodo merupakan habitat satwa Komodo (Varanus komodoensis) yang merupakan kadal terbesar di dunia dan endemik di Indonesia. Keberadaan satwa Komodo di kawasan tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan nusantara dan mancanegara untuk berkunjung ke Taman Nasional Komodo.
Wilayah daratan Taman Nasional Komodo memiliki vegetasi berupa padang rumput dan hutan savana (70 %), hutan gugur terbuka (25%) dan sisanya adalah hutan kuasi awan dan hutan mangrove. Sedangkan wilayah perairannya memiliki ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang merupakan rumah bagi berbagai jenis biota laut dan tempat pemijahan ikan.
Pada kawasan Taman Nasional Komodo terdapat tiga desa dengan jumlah penduduk sekitar 4.842 jiwa. Pada Pulau Komodo terdapat 1 Desa yaitu Desa Komodo (1.818 Jiwa) yang termasuk dalam Zona Khusus Pemukiman seluas 17,6 Ha, berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor: SK.21/IV-SET/2012 Tanggal 24 Februari 2012, dimana sekitar 68% masyarakatnya bermata pencaharian pada bidang usaha pariwisata mulai dari tour guide, pengelola home stay, kapal wisata, pengrajin patung maupun penjual souvenir. Sedangkan pada Pulau Rinca terdapat 2 Desa yaitu Desa Papagarang (1.417 jiwa) dan Desa Pasir Panjang (1.607 jiwa) yang penduduknya bermata pencaharian utama sebagai nelayan.
Sejak 5 tahun terakhir jumlah wisatawan ke Taman Nasional Komodo terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2014 tercatat 80.626 wisatawan, tahun 2015 tercatat 95.401 wisatawan. Tahun 2016 tercatat 107.711 wisatawan dimana 11,60% diantaranya menggunakan kapal cruise; tahun 2017 tercatat 125.069 wisatawan dimana 13,70% diantaranya menggunakan kapal cruise; serta tahun 2018 tercatat 176.830 wisatawan dimana 9,17% menggunakan kapal cruise. Data terakhir, dalam bulan Agustus 2019 tercatat 107 cruise wisatawan datang ke Taman Nasional Komodo.
Meningkatnya kunjungan ke Taman Nasional Komodo memicu pertumbuhan dunia usaha yang terkait dengan kepariwisataan di Labuan Bajo seperti perhotelan, jasa transportasi, tur operator, dll. Saat ini terdapat 84 unit hotel (47 berbintang, 17 melati, 19 losmen dan 1 hostel), fasilitas kuliner di 72 lokasi (38 restoran dan 34 rumah makan), fasilitas angkutan laut seperti kapal motor (813 unit), perahu motor tempel (216 unit), dan perahu tanpa motor (576 unit). Sedangkan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ekowisata di Taman Nasional Komodo tercatat antara lain 67 pemandu wisata, 120 pedagang souvenir, dan 60 pengrajin patung komodo.
Berdasarkan hasil monitoring populasi Komodo oleh Balai Taman Nasional Komodo dan Komodo Survival Program (KSP) didapatkan bahwa populasi Komodo selama 5 (lima) tahun terakhir berfluktuasi dengan tren yang relatif stabil antara 2.400-3.000 ekor. Pada area pemanfaatan wisata yang terdapat di TN Komodo yakni di Loh Liang Pulau Komodo dan Loh Buaya Pulau Rinca dalam kurung waktu 16 tahun terakhir (2003-2019), populasi Komodo relatif stabil antara 75-105 ekor di Loh Liang dan 52-72 ekor di Loh Buaya. Adanya aktivitas kunjungan wisatawan ke area wisata di Taman Nasional Komodo tidak menjadi sebab menurunnya populasi Komodo.
Penutupan Pulau Komodo akan menimbulkan kerugian bagi para pelaku usaha wisata seperti pemilik hotel, restoran, tur operator, sarana transportasi, pemandu wisata, souvenir shop, dll. Khusus untuk Pulau Komodo akan menghentikan pendapatan sekitar 144 pedagang cendera mata, 51 pemandu wisata, 65 pengrajin patung, 13 kelompok pemilik homestay, 19 usaha transportasi laut, serta 42 kelompok kuliner.
Berdasarkan kunjungan tim terpadu pada tanggal 15 Agustus 2019 ke Desa Komodo di Pulau Komodo, secara nyata tim terpadu melihat kenyataan bahwa masyarakat Desa Komodo menolak wacana penutupan Pulau Komodo, yang dilakukan dalam bentuk aksi demonstrasi untuk menyampaikan pernyataan sikap penolakan terhadap adanya wacana penutupan Pulau Komodo dan relokasi penduduk dari Pulau Komodo. Mereka menyatakan telah tinggal di lokasi tersebut secara turun-menurun sejak sebelum penetapan Taman Nasional. Hal ini sesuai dengan hasil ekspedisi Douglas Burden yang mencatat bahwa pada tahun 1926 terdapat pemukiman di Pulau Komodo dengan 40 keluarga.
Dari sisi pengelolaan, Taman Nasional Komodo harus dikelola dengan berbasis ekosistem (Ecosystem Base Management). Masyarakat Desa Komodo merupakan salah satu unsur dari ekosistem Pulau Komodo sehingga pengelolaannya harus menjadi satu kesatuan (integrated management). Pembangunan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan tujuan wisata alam eksklusif dapat diwujudkan melalui penyediaan sarana-prasarana dan jasa wisata alam yang mempunyai kualitas berstandar internasional, serta didukung tersedianya fasilitas umum yang dibutuhkan wisatawan di luar kawasan taman nasional, seperti sarana akomodasi, transportasi, informasi, hiburan, perbankan, dll. Oleh sebab itu pengelolaan Taman Nasional Komodo harus terintegrasi dengan pengembangan Destinasi Wisata Labuan Bajo. Hal ini sesuai dengan pendapat Miller and Hamilton (1999) bahwa pengelolaan kawasan konservasi perlu diintegrasikan dengan lanskap yang lebih luas. Saat ini sedang disusun ITMP (Integrated Tourism Master Plan) Labuan Bajo-Flores yang akan diselesaikan tahun 2020.
Berdasarkan kajian tim terpadu tersebut di atas, Pulau Komodo tidak perlu ditutup karena tidak ada alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar penutupan baik ditinjau dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Pendekatan MAB dan World Heritage, serta pendekatan baru IUCN dalam pengelolaan kawasan konservasi menghormati hak-hak masyarakat local, menjadi alasan tidak perlunya relokasi penduduk dari Pulau Komodo. Jika masyarakat Desa Komodo direlokasi akan menurunkan citra Indonesia dimata Internasional karena negara tidak memberikan perlindungan kepada warga atas Hak Asasi Manusia.(ADV)