JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, merasa prihatin terkait putusan lembaga peradilan yang belakangan ini memotong dan melepaskan pelaku korupsi. Menurutnya, Mahkamah Agung (MA) masih terbelenggu dengan mafia peradilan.
"Tren putusan hakim terhadap kasus kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime sangat memprihatinkan. Bahkan mendongkrak kekhawatiran masyarakat terhadap masa depan reformasi peradilan yang ditandai krisis berat moralitas penegakan," kata Busyro dikonfirmasi, Ahad (3/5).
Busyro menilai, integritas lembaga peradilan kini pun dipertanyakan dengan melihat adanya kemunduran tren putusan perkara korupsi. Dia mengharapkan, situasi ini tak terus berlarut di MA.
Busyro menyebut, kondisi tersebut tidak terlepas dari sikap MA yang memegang paradigma lama pada prinsip teknis yudisial. Kondisi itu diperparah dengan sikap permisif melepas narapidana tanpa evaluasi secara ketat.
"Serta tindakan brutal aparat polisi terhadap para aktivis," sesal Busyro.
Oleh karena itu, Busyro berharap pimpinan MA yang baru M Syarifuddin bisa lebih peka, kritis terhadap kondisi MA. Dia meminta putusan MA ke depan dapat menimbulkan efek jera bagi koruptor.
"Kita penuh harap ketua MA yang baru tampil dengan penuh teladan, keberanian dan sikap tegas terhadap koruptor tukang pengisap darah rakyat miskin dan sumber daya alam milik rakyat yang berdaulat," cetus Busyro.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, hukuman yang diberikan terhadap pelaku korupsi belum memberikan efek jera. Sepanjang 2019, ICW mencatat, rata-rata hukuman yang dijatuhkan Pengadilan terhadap koruptor hanya 2 tahun 7 bulan pidana penjara.
Bahkan, ada 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh Pengadilan, termasuk mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa perkara korupsi SKL BLBI dan Sofyan Basir mantan Dirut PT PLN yang menjadi terdakwa terkait suap proyek PLTU Riau-1.
"Jika putusan Pengadilan masih menghukum ringan pelaku korupsi, maka sudah barang tentu pemberian efek jera tidak pernah akan terealisasi dengan baik," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Ahad (19/4).
Dalam kasus ini, sebelumnya Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Rommy terkait kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemag). Rommy, oleh PT DKI dijatuhkan hukuman satu tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muchammad Romahurmuziy oleh karena itu dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan," demikian bunyi amar putusan PT DKI Jakarta, sebagaimana dikutip pada Kamis (23/4).
Alhasil, hukuman Rommy berkurang dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan hukuman dua tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal