PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Perubahan iklim menjadi permasalahan global yang memerlukan upaya adaptasi dan mitigasi dalam skala nasional hingga ke tingkat lokal. Melalui analisis dokumen budaya Tenas Effendy, yakni Tunjuk Ajar Melayu, yang telah ditetapkan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia, ditemukan berbagai nilai-nilai yang relevan dengan implementasi kebijakan mitigasi perubahan iklim khususnya pada kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
''Ini membuktikan bahwa nilai kearifan lokal dalam Tunjuk Ajar Melayu dapat bersifat sangat universal. Temuan ini menjadi kebaruan peran kearifan lokal pada proses dan implementasi kebijakan publik untuk mitigasi perubahan iklim,'' kata Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning, Dr Afni Zulkifli, di Pekanbaru, Sabtu (1/7/2022).
Dengan pendekatan etnografi post kritis, yang memiliki prinsip mengangkat perspektif emik kebudayaan lokal di tengah tujuan dan perspektif etik, yakni kebijakan mitigasi perubahan iklim, temuan ini berkontribusi terhadap antropologi dalam kaitannya dengan ilmu administrasi publik.
Kebijakan pengendalian karhutla berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2016, memuat banyak nilai dari budaya dan pengetahuan kearifan lokal, diantaranya nilai ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada upaya perencanaan pengendalian karhutla; nilai persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa pada penyelenggaraan pencegahan karhutla; nilai kerja keras, rajin dan tekun pada kegiatan penanggulangan karhutla; dan nilai keadilan dan kebenaran pada kegiatan penanganan pascakebakaran.
Selain itu terdapat nilai musyawarah dan mufakat pada kegiatan koordinasi kerja pengendalian karhutla; dan nilai tanggung jawab pada kegiatan penetapan status kesiagaan. Pada implementasi kebijakan, juga memuat tambahan nilai ketaatan pada pemimpin dan keutamaan menuntut ilmu pengetahuan. Dalam implementasinya nilai-nilai ini masih menjadi pedoman para pengambil kebijakan dan pelaksana di lapangan.
''Tunjuk Ajar Melayu Riau sebagai budaya dan pengetahuan tradisional memuat nilai-nilai kearifan lokal dan relevan untuk disandingkan dengan pengetahuan ilmiah lainnya. Kearifan lokal yang termuat dalam Tunjuk Ajar Melayu, memuat norma, pengetahuan, pengalaman, dan moral serta memiliki produk seperti hukum adat. Meski berwujud lokal, namun nilai kearifan lokal dalam Tunjuk Ajar Melayu bersifat sangat universal,'' jelas Afni.
Adapun faktor pendukungnya nilai dalam Tunjuk Ajar Melayu masih menjadi bagian dari budaya dan norma yang hidup di masyarakat lokal, sedangkan faktor penghambat karena kebijakan dilaksanakan secara berkala dan dipengaruhi banyak faktor, sementara Tunjuk Ajar Melayu memuat norma yang berlaku sepanjang masa dalam bentuk nilai dan bukan kebijakan formal yang mengikat atau berimplikasi hukum ataupun administratif.
Untuk itu nilai-nilai yang tertuang dalam Tunjuk Ajar Melayu, kata Afni, harus dipertahankan sebagai bentuk kearifan lokal yang dapat menjadi salah satu benteng terakhir dalam menjaga sumber daya alam, di tengah tingginya kebutuhan pembangunan dan persoalan kapitalisme.
''Nilai-nilai dalam Tunjuk Ajar Melayu, juga dapat menjadi bahan penting saat menyusun peraturan formal yang berlaku universal dengan tetap mengedepankan kearifan lokal sebagaimana pengakuan yang ada di dalam UUD 1945,'' ungkap Afni.
Di Provinsi Riau, jelas Afni lagi, merujuk data Sipongi pada periode 1 Januari-31 Mei, luas karhutla di 2022 mengalami penurunan dari 6.427 ha menjadi 2.326 ha. Sedangkan kondisi hotspot pada periode 1 Januari-14 Juni 2022 berdasarkan satelit Terra/Aqua juga turun signifikan menjadi 28 titik, dari sebelumnya tahun 179 titik (2021), 327 (2020), dan 2.916 (2019).
Penurunan luasan terbakar dan hot spot yang bisa dikendalikan, terlaksana karena kerja kolaboratif para pihak dengan cara gotong royong dan bekerja sama. Tidak lagi saling mengedepankan ego sektoral, dan menjadikan titik api sebagai tanggung jawab bersama untuk segera dipadamkan.
Laporan: Hary B Koriun
Editor: Edwar Yaman