Selasa, 8 Juli 2025

KPK Tidak Dimintakan Pendapat soal Wacana Pembebasan 300 Napi Korupsi

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak pernah diminta pendapat terkait wacana pembebasan 300 narapidana korupsi oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly. KPK mengharapkan, perubahan sebuah aturan semestinya dikaji secara matang dan sitematis terlebih dahulu.

“KPK melalui Biro Hukum tidak pernah diminta pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukan dalam perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri dalam pesan singkatnya, Kamis (2/4).

Ali menegaslan, apabila fokus pengurangan jumlah napi untuk mengurangi wabah bahaya Covid-19 terkait kasus korupsi, maka Kemenkumham perlu menyampaikan kepada publik secara terbuka. Menurutnya, napi kejahatan apa yang over kapasitas di Lapas saat ini.

Dalam konteks pencegahan korupsi, KPK telah melakukan kajian terkait layanan Lapas yang juga mengidentifikasi persoalan over kapasitas, dan potensi penyalahgunaan kewenangan sebagaimana kasus korupsi Kalapas Sukamiskin yang KPK tangani pada 2018. Menurutnya, dari tindak lanjut kajian tersebut, 14 rencana aksi yang diimplementasikan Ditjenpas sejak 2019, baru satu rencana aksi yang statusnya selesai.

Baca Juga:  Jaksa KPK Tuntut Bupati Bengkalis Nonaktif 6 Tahun Penjara

KPK, lanjut Ali, meyakini jika rencana aksi tersebut telah dijalankan semuanya, maka persoalan terkait layanan lapas termasuk over kapasitas dapat diselesaikan. Mengingat nyaris separuh dari penghuni lapas dan rutan adalah kasus narkoba, maka salah satu rekomendasi jangka menengah KPK dalam menekan overstay adalah mendorong revisi PP 99 tahun 2012 khusus untuk pemberian remisi terutama bagi pengguna narkoba, termasuk mendorong mekanisme diversi untuk pengguna narkoba dengan mengoptimalkan peran Bapas dan BNN.

“KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat,” tegas Ali.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonanga Lay mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Hal ini sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Yasonna menilai keputusan itu tak lepas dari kondisi Lapas di Indonesia yang sudah melebihi kapasitas sehingga rawan terhadap penyebaran virus korona. Yasonna merinci, setidaknya empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.

Baca Juga:  Pemerintah Diminta Tingkatkan Pengawasan

Kriteria pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani dua pertiga masa tahanan.
“Akan kami berikan asimilasi di rumah. Kami perkirakan 15.442 [terpidana narkotika] per hari ini datanya. Mungkin akan bertambah per hari,” kata Yasonna saat menggelar rapat dengan Komisi III DPR melalui teleconference, Rabu (1/4).

Kriteria kedua, usulan pembebasan itu berlaku bagi narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. “Ini sebanyak 300 orang,” beber politikus PDI Perjuangan ini.

Kriteria ketiga, bagi narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Namun harus ada pernyataan dari rumah sakit. Terakhir, berlaku bagi narapidana warga negara asing (WNA) sebanyak 53 orang. Namun, wacana ini harus mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sumber: JawaPos.com .Com

Editor: Deslina

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak pernah diminta pendapat terkait wacana pembebasan 300 narapidana korupsi oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly. KPK mengharapkan, perubahan sebuah aturan semestinya dikaji secara matang dan sitematis terlebih dahulu.

“KPK melalui Biro Hukum tidak pernah diminta pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukan dalam perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri dalam pesan singkatnya, Kamis (2/4).

Ali menegaslan, apabila fokus pengurangan jumlah napi untuk mengurangi wabah bahaya Covid-19 terkait kasus korupsi, maka Kemenkumham perlu menyampaikan kepada publik secara terbuka. Menurutnya, napi kejahatan apa yang over kapasitas di Lapas saat ini.

Dalam konteks pencegahan korupsi, KPK telah melakukan kajian terkait layanan Lapas yang juga mengidentifikasi persoalan over kapasitas, dan potensi penyalahgunaan kewenangan sebagaimana kasus korupsi Kalapas Sukamiskin yang KPK tangani pada 2018. Menurutnya, dari tindak lanjut kajian tersebut, 14 rencana aksi yang diimplementasikan Ditjenpas sejak 2019, baru satu rencana aksi yang statusnya selesai.

Baca Juga:  Ini Nama Lain Usulan PDIP untuk Kepala Otorita IKN Selain Ahok

KPK, lanjut Ali, meyakini jika rencana aksi tersebut telah dijalankan semuanya, maka persoalan terkait layanan lapas termasuk over kapasitas dapat diselesaikan. Mengingat nyaris separuh dari penghuni lapas dan rutan adalah kasus narkoba, maka salah satu rekomendasi jangka menengah KPK dalam menekan overstay adalah mendorong revisi PP 99 tahun 2012 khusus untuk pemberian remisi terutama bagi pengguna narkoba, termasuk mendorong mekanisme diversi untuk pengguna narkoba dengan mengoptimalkan peran Bapas dan BNN.

- Advertisement -

“KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat,” tegas Ali.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonanga Lay mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Hal ini sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Yasonna menilai keputusan itu tak lepas dari kondisi Lapas di Indonesia yang sudah melebihi kapasitas sehingga rawan terhadap penyebaran virus korona. Yasonna merinci, setidaknya empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.

- Advertisement -
Baca Juga:  Hakim Tolak Permintaan Hadirkan Habib Rizieq 

Kriteria pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani dua pertiga masa tahanan.
“Akan kami berikan asimilasi di rumah. Kami perkirakan 15.442 [terpidana narkotika] per hari ini datanya. Mungkin akan bertambah per hari,” kata Yasonna saat menggelar rapat dengan Komisi III DPR melalui teleconference, Rabu (1/4).

Kriteria kedua, usulan pembebasan itu berlaku bagi narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. “Ini sebanyak 300 orang,” beber politikus PDI Perjuangan ini.

Kriteria ketiga, bagi narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Namun harus ada pernyataan dari rumah sakit. Terakhir, berlaku bagi narapidana warga negara asing (WNA) sebanyak 53 orang. Namun, wacana ini harus mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sumber: JawaPos.com .Com

Editor: Deslina

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak pernah diminta pendapat terkait wacana pembebasan 300 narapidana korupsi oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly. KPK mengharapkan, perubahan sebuah aturan semestinya dikaji secara matang dan sitematis terlebih dahulu.

“KPK melalui Biro Hukum tidak pernah diminta pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukan dalam perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri dalam pesan singkatnya, Kamis (2/4).

Ali menegaslan, apabila fokus pengurangan jumlah napi untuk mengurangi wabah bahaya Covid-19 terkait kasus korupsi, maka Kemenkumham perlu menyampaikan kepada publik secara terbuka. Menurutnya, napi kejahatan apa yang over kapasitas di Lapas saat ini.

Dalam konteks pencegahan korupsi, KPK telah melakukan kajian terkait layanan Lapas yang juga mengidentifikasi persoalan over kapasitas, dan potensi penyalahgunaan kewenangan sebagaimana kasus korupsi Kalapas Sukamiskin yang KPK tangani pada 2018. Menurutnya, dari tindak lanjut kajian tersebut, 14 rencana aksi yang diimplementasikan Ditjenpas sejak 2019, baru satu rencana aksi yang statusnya selesai.

Baca Juga:  Dian Sastro Sebut Nicholas Saputra Kuper

KPK, lanjut Ali, meyakini jika rencana aksi tersebut telah dijalankan semuanya, maka persoalan terkait layanan lapas termasuk over kapasitas dapat diselesaikan. Mengingat nyaris separuh dari penghuni lapas dan rutan adalah kasus narkoba, maka salah satu rekomendasi jangka menengah KPK dalam menekan overstay adalah mendorong revisi PP 99 tahun 2012 khusus untuk pemberian remisi terutama bagi pengguna narkoba, termasuk mendorong mekanisme diversi untuk pengguna narkoba dengan mengoptimalkan peran Bapas dan BNN.

“KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat,” tegas Ali.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonanga Lay mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.Hal ini sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Yasonna menilai keputusan itu tak lepas dari kondisi Lapas di Indonesia yang sudah melebihi kapasitas sehingga rawan terhadap penyebaran virus korona. Yasonna merinci, setidaknya empat kriteria narapidana yang bisa dibebaskan melalui proses asimilasi dan integrasi melalui mekanisme revisi PP tersebut.

Baca Juga:  Wako Pekanbaru : TNI Profesional, Negara Aman dan Kuat

Kriteria pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani dua pertiga masa tahanan.
“Akan kami berikan asimilasi di rumah. Kami perkirakan 15.442 [terpidana narkotika] per hari ini datanya. Mungkin akan bertambah per hari,” kata Yasonna saat menggelar rapat dengan Komisi III DPR melalui teleconference, Rabu (1/4).

Kriteria kedua, usulan pembebasan itu berlaku bagi narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan. “Ini sebanyak 300 orang,” beber politikus PDI Perjuangan ini.

Kriteria ketiga, bagi narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Namun harus ada pernyataan dari rumah sakit. Terakhir, berlaku bagi narapidana warga negara asing (WNA) sebanyak 53 orang. Namun, wacana ini harus mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sumber: JawaPos.com .Com

Editor: Deslina

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari