Hampir setiap kita, mungkin, memperingati Sumpah Pemuda dengan naskah Sumpah Pemuda yang sekarang (memakai Ejaan Bahasa Indonesia, yang sering dikenal dengan Ejaan yang Disempurnakan/EyD). Apalagi generasi muda yang berlabel “milenial”. Senyampang dengan itu, pernahkah kita, saya dan Anda tentunya, membaca secara berulang-ulang naskah Sumpah Pemuda yang asli? Kalau memang belum, berikut naskah itu. “Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe bertanah air jang satoe, tanah air Indonesia/Kami Poetra dan Poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia/Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng tinggi bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”
Mengapa saya mempermasalahkan naskah asli Sumpah Pemuda? Ini berkaitan dengan peringatan yang telah dilakukan berulang-ulang oleh kita, baik secara individu, sekompok, maupun kenegaraan. Yang perlu saya bicarakan kali ini adalah butir ketiga dari sumpah itu. Banyak di antara kita, saat ini, berpikiran untuk apa sumpah itu diperingati terus-menerus? Untuk apa kita repot-repot memikirkan bahasa Indonesia? Bukankah kita sudah mampu berbahasa Indonesia? Apa pentingnya bahasa Indonesia? Bukankah bahasa asing lebih menjanjikan? Bahasa Indonesia sudah ketinggalan zaman? Segudang caci maki terhadap bahasa nasional itu yang, mungkin, dianggap menghambat kemajuan.
Menanggapi ujaran-ujaran sumbang seperti itu perlu dipertanyakan: apa yang salah dengan negeri ini? Sumpah Pemuda setiap menjelang tanggal 28 Oktober berkali-kali diperingati (92 kali dengan tahun ini), berkali-kali pula pengakuan “bahasa Indonesia dijunjung tinggi” dikhianati? Pernahkah terpikir oleh pengkhianat-pengkhianat makna sumpah itu? Maaf, kalau saya sedikit tendensius. Akan tetapi, bukankah perbuatan tidak setia, bertentangan dengan janji disebut khianat? Orang yang khianat adalah pengkhianat?
Pernahkah mereka berpikir dan merasakan bagaimana kisah lahirnya sumpah itu? Coba baca kembali sejarah! Sumpah pemuda yang dilakukan oleh para pemuda sehingga melahirkan negara tempat hidup, mencari makan, korupsi, dan sebagainya ini melalui proses yang sangat sulit? Sumpah itu dilakukan saat Kongres Pemuda yang kedua. Padahal, pada Kongres Pemuda yang pertama rencana itu sudah ada, tetapi gagal karena berbagai persoalan. Kongres tersebut dilakukan dalam keadaan kucing-kucingan (berpindah-pindah tempat sebanyak tiga kali. Pertama, gedung Katholieke Jongenlingen Bond (K JB) berlokasi di Kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Kedua, gedung Oost-Java Bioscoop terletak di Jalan Medan Merdeka Utara. Ketiga, gedung Indonesisch Huis Kramat berada di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat) dengan pemerintah Belanda. Coba bayangkan, dalam kondisi dijajah, pemuda perwakilan dari seluruh Indonesia berkumpul di dalam rumah kos (pondokan atau asrama pelajar/mahasiswa) lalu melakukan sumpah untuk tanah air yang satu, bangsa yang satu, dan bahasa yang dijunjung tinggi, Indonesia.
Kini, sebagian dari kita, berpikiran bahwa bahasa Indonesia sudah ketinggalan zaman, tidak mutakhir, “jadul”, dan tidak mengandung kekinian. Menurut kaum milenial tidak “ngetren”. Sebagian pemegang kepentingan, mungkin, pun beranggapan demikian.
Sejatinya, bukan bahasa Indonesia yang ketinggalan zaman. Upaya memutakhirkan bahasa Indonesia agar sesuai dengan kekinian telah dilakukan sejak dulu. Pertama, pada tahun 1947 Mister Soewandi (Menteri Pendidikan Republik Indonesia yang pertama) mengindonesiakan ejaan produk kolonial Belanda (Ejaan Van Ophuijsen) dengan Ejaan Republik. Pemutakhiran dilakukan dengan menghilangkan bunyi glottal (‘) pada do’a, jum’at, dan sebagainya. Begitu pula pengulangan dengan angka seperti rumah2 menjadi rumah-rumah.
Pada tahun 1956, pemutakhiran dilakukan kali yang kedua, Mister Priyono dan E. Katoppo menyerukan pengubahan oe, tj, dj, dan j menjadi u, c, j, dan y. Pengubahan juga dilakukan pada bunyi ng, ny, kh, dan sy dengan Akan tetapi, ide tersebut tidak sempat diberlakukan karena berbagai kekurangan. Kali yang ketiga pada tahun 1959, pemutakhiran yang sempat dipersoalkan dua negara, Indonesia dan Malaysia, ialah Ejaan Malindo (Malaysia – Indonesia) karena berbenturan dengan Dekrit Presiden Soekarno pada tahun itu. Padahal, ide Ejaan Malindo muncul karena persamaan rumpun bahasa yang dipakai oleh kedua negara.
Kali yang keempat adalah pada tahun 1972. Pemutakhiran dilakukan dengan perubahan nama Ejaan Republik (Soewandi) dengan Ejaan yang Disempurnakan (EyD). Betapa menghebohkan kala itu ketika ada pernyataan u lama (baca: oe) tidak dipakai lagi sehingga berpolemik dengan para ulama yang ada di Indonesia. Begitu pula bunyi tj, dj, dan j menjadi u, c, j, dan y.
Terakhir, pada tahun 2015 ejaan itu mengalami pemutakhiran dengan perubahan nama Ejaan Bahasa Indonesia. Dengan adanya nama baru ini, nama Ejaan yang Disempurnakan (EyD) tidak dipakai lagi. Sumpah Pemuda yang kita baca sekarang adalah hasil pemutakhiran ejaan yang keempat. Sekalipun penulisan sumpah itu berubah, hakikat dari sumpah itu tidak akan berubah sampai kapan pun. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus tetap dijunjung tinggi. Terlebih-lebih dalam mewujudkan politik bahasa nasional, utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.
Urut-urutan tentang pemakaian bahasa di Indonesia sudah tertera dalam kalimat tersebut. Yang diutamakan pemakaiannya ialah bahasa Indonesia. Bahasa daerah tetap dilestarikan sebagai aset negara, sedangkan bahasa asing harus dikuasai untuk pergaulan internasional. Bahasa asing yang ditempatkan pada posisi terakhir setelah bahasa Indonesia dan bahasa daerah diupayakan tidak berlaku sebaliknya. Jika bahasa asing telah merajai negeri ini, perlu diadakan penertiban. Penertiban pemakaian bahasa asing di media luar ruang atau media publik jangan ditafsirkan sebagai gerakan antibahasa asing. Akan tetapi, dalam rangka menepati Sumpah Pemuda Tahun 1928 yang sudah dikumandangkan dan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, dan merupakan amanat UUD 1945 Pasal 36.*
Mari berpikir sejenak, perubahan u lama (oe) menjadi u mengalami perjalanan yang sangat panjang. Perlu waktu selama 44 tahun untuk melakukan pemutakhiran. Pada peringatan kali yang ke-44 pula sumpah itu mengalami perubahan penulisan agar sesuai dengan zamannya (kekinian), tidak lagi poetra, poetri, mengakoe, jang, satoe, dan persatoean, tetapi putra, putri, mengaku, yang, satu, dan persatuan. Mengaji dari sejarah perubahan u lama inilah, bahasa Indonesia diharapkan lebih dimartabatkan oleh bangsanya. Ingat kata Soekarno, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah (jas merah).***
Zainal Abidin, Balai Bahasa Provinsi Riau