pekanbaru (riaupos.co)- Sidang dengan agenda pembacaan putusan (vonis) kasus dugaan investasi bodong yang melibatkan komisaris, direksi hingga marketing perusahaan di bawah bendera Fikasa Group, ditunda. Dijadwalkan pada Selasa (22/3) di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, sidang dijadwalkan kembali pada pekan depan. Para terdakwa, penasehat hukum, para korban hingga Jaksa Penuntut Umum yang sempat hadir, akhirnya balik kanan pada sore lalu itu.
Berbincang dengan awak media pada sidang sebelumnya, pihak keluarga korban berharap agar lima pelaku investasi bodong Fikasa Group, yaituAgung Salim, Bhakti Salim, Bhakti Salim, Elly Salim dan Maryani, agar dihukum berat. Dengan kerugian 10 korban asal Pekanbaru yang mencapai Rp84,9 miliar, keluarga korban meminta aset seluruh terdakwa disita.
Kami minta pada majelis hakim yang menyidangkan perkara Fikasa Group, agar menghukum kelima terdakwa dengan hukuman seberat-beratnya. Penyitaan aset itu supaya jangan ada lagi korban akibat penipuan mereka ditemui," ucap Pormian Simanungkalit, salah seorang korban yang hadir di PN Pekanbaru.
Sebelum sidang vonis, kejaksaan sudah menyita beberapa aset milik terdakwa, yakni berupa beberapa bidang tanah milik Fikasa Group. Meski belum mencukupi dengan jumlah kerugian para korban, namun mereka berharap nantinya aset yang telah disita bisa membayar sebagian kerugian mereka.
"Kami semua minta agar surat tanah yang telah disita, dapat dijual untuk mengembalikan uang kami saat ini," katanya.
Sementara sebelumnya, pengacara terdakwa, Syafardi menyampaikan pembelaan terhadap kliennya di hadapan hakim saat sidang dengan agenda duplik.
Dirinya berpendapat kasus tersebut perdata. "Klien kami Agung Salim, Bakti Salim, Elly Salim, Christian Salim tidak bersalah yang mulia," kata Syafardi saat sidang pembelaan saat itu.
Saksi Ahli Sebut Pidana Perbankan
Terakit klaim perdata pada perkara, saksi ahli pidana perbankan menilai itu murni menyalahi Undang-Undang Perbankan. Ahli Hukum Pidana Perbankan Prof Dr Jongker Sihombing menegaskan, yang dilakukan Agung Cs merupakan kejahatan perbankan yang melanggar Pasal 46 Undang-Undang tentang Perbankan.
"Pengacara berusaha menggiring opini supaya hakim memutus perkara tersebut menjadi onslag atau lepas dari tuntutan hukum," kata Jongker.
Ketika dikaitkan dengan pendapat saksi ahli lainnya Yunus Husen yang menyebutkan kasus yang berkaitan dengan produk promisory note ini adalah ranah perdata, Jongker tegas mematahkan pendapat tersebut .
"Saya melihat selain pura-pura tidak membaca Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Yunus juga pura-pura tidak tahu frasa kedua Pasal 15 UU Perbankan yang menyatakan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (deposito, red). Di persidangan saya sebut bahwa contoh promisory notes yang diperlihatkan, 99,9 persen sama dengan deposito," katanya.
Jongker menambahkan, dalam Pasal 175 KUHD jelas disebutkan, bahwa jika salah satu persyaratan tidak terpenuhi, kecuali syarat 1 dan 2, maka tidak memenuhi syarat sebagai surat utang. Pasal 174 KUHD itu sendiri berbunyi, surat sanggup memuat pernyataan kesanggupan membayar tanpa syarat.
"Sementara dalam warkat promisorry notes yang ditunjukkan di depan hakim di PN Pekanbaru itu, jelas-jelas tidak ada tercantum syarat itu" ucap Jongker.(end)