Selasa, 2 Juli 2024

Viral, Rekaman Debat Dosen dan Mahasiswa Terkait Larangan Bercadar, Pelecehan Suku, dan Media

PEKANBARU (RIAUPOS. CO) – Sebuah rekaman suara yang berisi debat antara oknum dosen Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) dengan mahasiswanya terkait pelarangan penggunaan cadar di kampus, menjadi  viral. 
 
Sang dosen  menyinggung etnis beberapa hal yang dianggap sensitif, termasuk etnis. Dia juga diduga merendahkan kerja jurnalistik. 
 
Rekaman suara ini berdurasi 8 menit 18 detik. Dari rekaman itu, ada suara tiga orang, yakni Wakil Dekan I Fakultas Usluhuddin UIN Suska  Dr Husni Thamrin dengan mahasiswa bernama Salmi Abdullah, dan seorang mahasiswa lagi yang tak menyebutkan namanya.  Rekaman diduga diambil saat perwakilan mahasiswa menggelar audiensi dan bertemu Husni untuk mempertanyakan pelarangan cadar di kampus itu. Dari kabar yang beredar,  ini terjadi tiga hari yang lalu, Rabu (20/11).
 
‘’Silakan mau kuliah mau endak atau Anda saya berhentikan. Saya kan legal formal. Dosen itu punya otoritas, kalau kau mau dididik. Kalau kau tak mau dididik keluar. Berhenti. Pergilah kau dari sini.  Mau apa kau,’’ terdengar suara Husni Thamrin di awal rekaman. 
 
Merespon ini, Abdullah yang belakangan diketahui karena menyebutkan namanya saat ditanya oleh Husni, membandingkan dengan kampus lain. Dia mengambil contoh UIN Alauddin Makassar. ‘’Di UIN Suska memang dilarang (cadar, red), tapi di UIN Alauddin itu tidak dilarang. Karena itu diskriminasi,’’ katanya .
 
Husni  kemudian menyebut bahwa tiap-tiap kampus punya kebijakan masing-masing.  Mahasiswa dimintanya menghormati aturan kampus tempat dia berada. Beberapa contoh kemudian dia sebutkan. Sambil mulai menebar ancaman-ancaman. 
 
’’Masing-masing orang punya pandangan, kampus punya otoritas. Kamu sekolah di universitas Kristen kamu harus menghapal Injil. Di sini kamu harus menghapal Juz Amma. Kamu kalau sekolah di Yahudi harus ke Yahudi, kalau di Jepang tentu kamu menyembah matahari. Jadi mau apa? Kalau mau ikut, ikut regulasi. Kalau tidak, keluar,’’ kata Husni.
 
Abdullah menyela pernyataan Husni dengan membalikkan logika yang dipakainya. Inilah yang kemudian memancing emosi Husni. "Siapa nama kau?’’ kata Husni.
 
’’Fahmi Abdullah, Pak,’’ jawab sang mahasiswa. 
 
Abdullah yang dicecar Husni kemudian menjelaskan dia pernah mengambil mata kuliah Husni di semester 2.’’Ya sudah, kalau kamu mau ikuti, ikuti. Kalau tidak, tidak. Ini kan ada perintah dari menteri dengan rektor,’’ kata Husni. 
 
’’Tapi belum keluar Pak,’’ jawab Abdullah. 
 
Dijawab begini, Husni kemudian menyebut bahwa tidak semua aturan hukum itu harus tertulis.’’Kamu tahu tidak, hukum itu lisan dan tulisan. Seluruh hukum adat itu, local wisdom tak ada tertulis itu. Tapi harus diikuti.  Pernah kamu belajar local wisdom? (Dijawab sang mahasiswa, "Belum, Pak."). Makanya kamu belajar.  Jangan kau segelintir kulit bawang kau mau ngatur-ngatur dosen kau,’’ katanya.
 
Abdullah coba meluruskan dengan menyebut bahwa niat mereka bukan ingin mengatur namun mempertanyakan larangan memakai cadar di kampus. Husni menjwab dengan mengatakan tidak ada pemaksaan dalam pelarangan itu.
 
’’Kok gak maksa Pak.. (Bapak bilang, red) yang gak mau buka cadarnya silakan keluar,’’ sebut Abdullah.
 
Husni kemudian menyebut bahwa mendidik memang harus memaksa. Begitu juga aturan agama. ’’Ya keluar. Saya kan mau foto yang pakai cadar. Itu kan tatap muka. Tau gak kau kuliah tatap muka.  Memang saya paksa. Mendidik itu harus memaksa.  Kalau mau ujian buka. Memang hukum memaksa, Tuhan aja (kalau kita, red) tak sembahyang masuk neraka.  Kau mencuri, membunuh,  potong leher kau di Arab. Coba kamu bunuh orang di Arab tu, putus leher kau. Memang hukum itu sifatnya memaksa. Makanya harus belajar hukum kau,’’ papar Husni panjang lebar. 
 
Dia kemudian menebar kembali ancaman. Ini dengan menanyakan jurusan mahasiswa yang bersangkutan. ’’Aqidah Filsafat Pak. Semester 3,’’ kata Abdullah.
 
’’Besok kau berhadapan dengan aku,’’ ucap Husni.
 
Abdullah kembali coba menjernihkan suasana. Dia menyampaikan bahwa dirinya ingin didengar sebagai anak yang datang pada orang tuanya. Ini malah dijawab Husni dengan ketus.
 
’’Anak itu gak gitu bicaranya. Kau tak punya etika kau, tak punya moral kau,’’ ujar Husni. 
 
Husni kemudian menanyakan asal sang mahasiswa. Di sinilah hal yang sensitif dibawa-bawa. Etnis Batak disinggung.’’Mana kampung kau?’’ kata Husni.
 
’’Baganbatu Pak,’’ jawab Abdullah.
 
’’Batak kau kan. Makanya Batak keluar aja dari sini,’’ kata Husni.
 
Abdullah terdengar heran dengan hardikan Husni ini. ‘’Kenapa saya harus keluar Pak?’’ tanyanya.
 
’’Ya Batak tu kurang etika dia,’’ jawab Husni.
 
’’Gak semuanya begitu Pak,’’ sanggah Abdullah.
 
’’Kau contohnya satu,’’ kata Husni lagi.
 
Abdullah tak terima, dia meminta sang dosen tak menyudutkan suatu etnis seperti itu. Tapi Husni seolah tak menganggap penjelasan mahasiswanya itu.
 
’’Gak bisa Bapak mendeskripsikan begitu,’’ jawab Abdullah.
 
’’Memang begitu dia. Udah dicap orang di mana-mana tu.  Dah apa yang mau dibicarakan lagi?’’ hardik Husni.
 
Sesaat suasana hening. Abdullah kemudian mengulang kembali menjelaskan apa tujuan mereka menghadap Husni.’’Saya ingin menyampaikan apa yang dirasakan kawan-kawan Pak. Mereka tidak terima karena itu bentuknya pemaksaan,’’ jelas Abdullah.
 
Husni bukannya mendengarkan malah kembali menyinggung etnis Batak. Husni dan Abdullah kemudian saling berbantahan.’’Kalau mau, kalau tak mau keluar.  Tau kau ndak, yang pemberontak-pemberontak dari UIN ini dari Batak semua," kata Husni.
 
 ’’Endak Pak,’’ potong Abdullah.
 
’’Tau ndak kau, pemberontak-pemberontak dari UIN ini, dari Polda, dari Batak semua. Menghancurkan UIN. Menghancurkan dunia  Melayu. Itulah Batak tu,’’ ucap Husni.
 
 ’’Tidak bisa seperti itu Pak,’’ bantah Abdullah.
 
’’Kenyataannya begitu,’’ jawab Husni. 
 
’’Tapi jangan dicap seperti itu Pak,’’ sergah Abdullah.
 
’’Ini dunia Melayu ini Boy. Bukan dunia Batak ini,’’ kata Husni lagi.
 
Abdullah kemudian mengingatkan Husni bahwa ucapan-ucapannya itu bisa dia sampaikan pada media massa dan Husni akan kerepotan karena itu. 
 
’’Apa yang Bapak sampaikan, kalau saya sampaikan ke media, habis Bapak nanti,’’ kata Abdullah mengingatkan.
 
"Husni malah dengan santainya merendahkan media. Menganggap media tak berguna. "Silakan aja. Kenyataannya begitu,’’ sebut Husni. 
 
Husni menyebut dia berasal dari kalangan media massa juga. Karena itu dia merasa berhak menilai media tak berguna. 
 
’’Masalah media, saya orang media. Media itu kan geleneh-nya itu.  Udah kau baca media aku. Aku ni muat di media mana-mana. Kau tengok tu. Ndak kau tengok di tv aku.  Hebat kali media tu? Taik kucing-nya itu,’’ kata dia. 
 
Suasana kembali hening sejenak karena perwakilan mahasiswa yang menemui Husni ini seperti tak tahu bagaimana harus merespon. Dalam keheningan itu, Husni berucap lagi. Kali ini membandingkan daerah asalnya dengan etnis Batak.
 
’’Aku orang Kubu, kau orang Batak. Orang Kubu belum makan darah belum jadi orang Kubu.  Orang Batak belum makan daging orang belum jadi orang Batak. Sama-sama primitifnya kita ini.  Apalagi mau kalian sampaikan?’’ katanya dengan suara keras. 
 
Seorang mahasiswa yang ikut juga menemui Husni kemudian coba kembali ke pokok masalah tentang larangan memakai cadar di kampus. Dia memastikan, apakah jika penolakan tidak berdampak pada nilai mereka di kampus.
 
’’Pak, jadi kalau mahasiwi pakai cadar tidak boleh ikut kuliah?’’ tanya mahasiswa ini.
 
’’Itu nanti Senin keluar. Saya kan hanya perintah apa aja, menteri aja,’’ jawab Husni.
 
’’Jadi kalau ndak keluar peraturannya hari Senin, tetap (berlaku, red) dia Pak. Dikeluarkan juga?" tanya sang mahasiswa lagi.
 
’’Ndak tau juga saya. Kita lihat saja nanti. Yang jelas kita ini kampus radikal  nomor satu di Indonesia,’’ tegas Husni.
 
’’Masalah-masalah nilai juga tidak ada masalah kan Pak,’’ tanya si mahasiswa.
 
’’Itu tergantung.Nilai itu kan objektif saja. Kita tidak bisa ganggu orang. Tapi kalau orang tolong kita, tentu kita tolong dia. Etika kan, kalau orang tak mau tentu kita tak tolong dia. Kalau etika baik, dosen baik. Tapi kalau anak melawan ya kita sesuaikan saja. Kan kita ni punya etik. Hidup ini yang penting punya etika. Tak perlu pintar tu kalau etika tak ada. Kalian dari pondok kan? Moral, akhlak itu yang terpenting. Nabi itu diturunkan bukan untuk menciptakan ilmu pengetahuan, tapi akhlak. Dah, ada lagi yang mau disampaikan, ya sudahlah belajar baik-baik,’’ tutup Husni mengakhiri dalam rekaman tersebut.
 
Laporan: Ali Nurman
Editor: Deslina
Baca Juga:  Mubes VIII, Syahril Abubakar Ketum DPA LAM Riau
PEKANBARU (RIAUPOS. CO) – Sebuah rekaman suara yang berisi debat antara oknum dosen Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) dengan mahasiswanya terkait pelarangan penggunaan cadar di kampus, menjadi  viral. 
 
Sang dosen  menyinggung etnis beberapa hal yang dianggap sensitif, termasuk etnis. Dia juga diduga merendahkan kerja jurnalistik. 
 
Rekaman suara ini berdurasi 8 menit 18 detik. Dari rekaman itu, ada suara tiga orang, yakni Wakil Dekan I Fakultas Usluhuddin UIN Suska  Dr Husni Thamrin dengan mahasiswa bernama Salmi Abdullah, dan seorang mahasiswa lagi yang tak menyebutkan namanya.  Rekaman diduga diambil saat perwakilan mahasiswa menggelar audiensi dan bertemu Husni untuk mempertanyakan pelarangan cadar di kampus itu. Dari kabar yang beredar,  ini terjadi tiga hari yang lalu, Rabu (20/11).
 
‘’Silakan mau kuliah mau endak atau Anda saya berhentikan. Saya kan legal formal. Dosen itu punya otoritas, kalau kau mau dididik. Kalau kau tak mau dididik keluar. Berhenti. Pergilah kau dari sini.  Mau apa kau,’’ terdengar suara Husni Thamrin di awal rekaman. 
 
Merespon ini, Abdullah yang belakangan diketahui karena menyebutkan namanya saat ditanya oleh Husni, membandingkan dengan kampus lain. Dia mengambil contoh UIN Alauddin Makassar. ‘’Di UIN Suska memang dilarang (cadar, red), tapi di UIN Alauddin itu tidak dilarang. Karena itu diskriminasi,’’ katanya .
 
Husni  kemudian menyebut bahwa tiap-tiap kampus punya kebijakan masing-masing.  Mahasiswa dimintanya menghormati aturan kampus tempat dia berada. Beberapa contoh kemudian dia sebutkan. Sambil mulai menebar ancaman-ancaman. 
 
’’Masing-masing orang punya pandangan, kampus punya otoritas. Kamu sekolah di universitas Kristen kamu harus menghapal Injil. Di sini kamu harus menghapal Juz Amma. Kamu kalau sekolah di Yahudi harus ke Yahudi, kalau di Jepang tentu kamu menyembah matahari. Jadi mau apa? Kalau mau ikut, ikut regulasi. Kalau tidak, keluar,’’ kata Husni.
 
Abdullah menyela pernyataan Husni dengan membalikkan logika yang dipakainya. Inilah yang kemudian memancing emosi Husni. "Siapa nama kau?’’ kata Husni.
 
’’Fahmi Abdullah, Pak,’’ jawab sang mahasiswa. 
 
Abdullah yang dicecar Husni kemudian menjelaskan dia pernah mengambil mata kuliah Husni di semester 2.’’Ya sudah, kalau kamu mau ikuti, ikuti. Kalau tidak, tidak. Ini kan ada perintah dari menteri dengan rektor,’’ kata Husni. 
 
’’Tapi belum keluar Pak,’’ jawab Abdullah. 
 
Dijawab begini, Husni kemudian menyebut bahwa tidak semua aturan hukum itu harus tertulis.’’Kamu tahu tidak, hukum itu lisan dan tulisan. Seluruh hukum adat itu, local wisdom tak ada tertulis itu. Tapi harus diikuti.  Pernah kamu belajar local wisdom? (Dijawab sang mahasiswa, "Belum, Pak."). Makanya kamu belajar.  Jangan kau segelintir kulit bawang kau mau ngatur-ngatur dosen kau,’’ katanya.
 
Abdullah coba meluruskan dengan menyebut bahwa niat mereka bukan ingin mengatur namun mempertanyakan larangan memakai cadar di kampus. Husni menjwab dengan mengatakan tidak ada pemaksaan dalam pelarangan itu.
 
’’Kok gak maksa Pak.. (Bapak bilang, red) yang gak mau buka cadarnya silakan keluar,’’ sebut Abdullah.
 
Husni kemudian menyebut bahwa mendidik memang harus memaksa. Begitu juga aturan agama. ’’Ya keluar. Saya kan mau foto yang pakai cadar. Itu kan tatap muka. Tau gak kau kuliah tatap muka.  Memang saya paksa. Mendidik itu harus memaksa.  Kalau mau ujian buka. Memang hukum memaksa, Tuhan aja (kalau kita, red) tak sembahyang masuk neraka.  Kau mencuri, membunuh,  potong leher kau di Arab. Coba kamu bunuh orang di Arab tu, putus leher kau. Memang hukum itu sifatnya memaksa. Makanya harus belajar hukum kau,’’ papar Husni panjang lebar. 
 
Dia kemudian menebar kembali ancaman. Ini dengan menanyakan jurusan mahasiswa yang bersangkutan. ’’Aqidah Filsafat Pak. Semester 3,’’ kata Abdullah.
 
’’Besok kau berhadapan dengan aku,’’ ucap Husni.
 
Abdullah kembali coba menjernihkan suasana. Dia menyampaikan bahwa dirinya ingin didengar sebagai anak yang datang pada orang tuanya. Ini malah dijawab Husni dengan ketus.
 
’’Anak itu gak gitu bicaranya. Kau tak punya etika kau, tak punya moral kau,’’ ujar Husni. 
 
Husni kemudian menanyakan asal sang mahasiswa. Di sinilah hal yang sensitif dibawa-bawa. Etnis Batak disinggung.’’Mana kampung kau?’’ kata Husni.
 
’’Baganbatu Pak,’’ jawab Abdullah.
 
’’Batak kau kan. Makanya Batak keluar aja dari sini,’’ kata Husni.
 
Abdullah terdengar heran dengan hardikan Husni ini. ‘’Kenapa saya harus keluar Pak?’’ tanyanya.
 
’’Ya Batak tu kurang etika dia,’’ jawab Husni.
 
’’Gak semuanya begitu Pak,’’ sanggah Abdullah.
 
’’Kau contohnya satu,’’ kata Husni lagi.
 
Abdullah tak terima, dia meminta sang dosen tak menyudutkan suatu etnis seperti itu. Tapi Husni seolah tak menganggap penjelasan mahasiswanya itu.
 
’’Gak bisa Bapak mendeskripsikan begitu,’’ jawab Abdullah.
 
’’Memang begitu dia. Udah dicap orang di mana-mana tu.  Dah apa yang mau dibicarakan lagi?’’ hardik Husni.
 
Sesaat suasana hening. Abdullah kemudian mengulang kembali menjelaskan apa tujuan mereka menghadap Husni.’’Saya ingin menyampaikan apa yang dirasakan kawan-kawan Pak. Mereka tidak terima karena itu bentuknya pemaksaan,’’ jelas Abdullah.
 
Husni bukannya mendengarkan malah kembali menyinggung etnis Batak. Husni dan Abdullah kemudian saling berbantahan.’’Kalau mau, kalau tak mau keluar.  Tau kau ndak, yang pemberontak-pemberontak dari UIN ini dari Batak semua," kata Husni.
 
 ’’Endak Pak,’’ potong Abdullah.
 
’’Tau ndak kau, pemberontak-pemberontak dari UIN ini, dari Polda, dari Batak semua. Menghancurkan UIN. Menghancurkan dunia  Melayu. Itulah Batak tu,’’ ucap Husni.
 
 ’’Tidak bisa seperti itu Pak,’’ bantah Abdullah.
 
’’Kenyataannya begitu,’’ jawab Husni. 
 
’’Tapi jangan dicap seperti itu Pak,’’ sergah Abdullah.
 
’’Ini dunia Melayu ini Boy. Bukan dunia Batak ini,’’ kata Husni lagi.
 
Abdullah kemudian mengingatkan Husni bahwa ucapan-ucapannya itu bisa dia sampaikan pada media massa dan Husni akan kerepotan karena itu. 
 
’’Apa yang Bapak sampaikan, kalau saya sampaikan ke media, habis Bapak nanti,’’ kata Abdullah mengingatkan.
 
"Husni malah dengan santainya merendahkan media. Menganggap media tak berguna. "Silakan aja. Kenyataannya begitu,’’ sebut Husni. 
 
Husni menyebut dia berasal dari kalangan media massa juga. Karena itu dia merasa berhak menilai media tak berguna. 
 
’’Masalah media, saya orang media. Media itu kan geleneh-nya itu.  Udah kau baca media aku. Aku ni muat di media mana-mana. Kau tengok tu. Ndak kau tengok di tv aku.  Hebat kali media tu? Taik kucing-nya itu,’’ kata dia. 
 
Suasana kembali hening sejenak karena perwakilan mahasiswa yang menemui Husni ini seperti tak tahu bagaimana harus merespon. Dalam keheningan itu, Husni berucap lagi. Kali ini membandingkan daerah asalnya dengan etnis Batak.
 
’’Aku orang Kubu, kau orang Batak. Orang Kubu belum makan darah belum jadi orang Kubu.  Orang Batak belum makan daging orang belum jadi orang Batak. Sama-sama primitifnya kita ini.  Apalagi mau kalian sampaikan?’’ katanya dengan suara keras. 
 
Seorang mahasiswa yang ikut juga menemui Husni kemudian coba kembali ke pokok masalah tentang larangan memakai cadar di kampus. Dia memastikan, apakah jika penolakan tidak berdampak pada nilai mereka di kampus.
 
’’Pak, jadi kalau mahasiwi pakai cadar tidak boleh ikut kuliah?’’ tanya mahasiswa ini.
 
’’Itu nanti Senin keluar. Saya kan hanya perintah apa aja, menteri aja,’’ jawab Husni.
 
’’Jadi kalau ndak keluar peraturannya hari Senin, tetap (berlaku, red) dia Pak. Dikeluarkan juga?" tanya sang mahasiswa lagi.
 
’’Ndak tau juga saya. Kita lihat saja nanti. Yang jelas kita ini kampus radikal  nomor satu di Indonesia,’’ tegas Husni.
 
’’Masalah-masalah nilai juga tidak ada masalah kan Pak,’’ tanya si mahasiswa.
 
’’Itu tergantung.Nilai itu kan objektif saja. Kita tidak bisa ganggu orang. Tapi kalau orang tolong kita, tentu kita tolong dia. Etika kan, kalau orang tak mau tentu kita tak tolong dia. Kalau etika baik, dosen baik. Tapi kalau anak melawan ya kita sesuaikan saja. Kan kita ni punya etik. Hidup ini yang penting punya etika. Tak perlu pintar tu kalau etika tak ada. Kalian dari pondok kan? Moral, akhlak itu yang terpenting. Nabi itu diturunkan bukan untuk menciptakan ilmu pengetahuan, tapi akhlak. Dah, ada lagi yang mau disampaikan, ya sudahlah belajar baik-baik,’’ tutup Husni mengakhiri dalam rekaman tersebut.
 
Laporan: Ali Nurman
Editor: Deslina
Baca Juga:  Crab And Cow Pekanbaru
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari