Kamis, 4 Juli 2024

Dua Bulan, Sudah Mencapai 16 Kasus 

(RIAUPOS.CO) — Jika pada semester satu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 65 kasus, kini di dua bulan semester dua kasus tersebut sudah mencapai 16 kasus. Data tersebut didapat dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Pekanbaru.

Hal itu dijelaskan Konselor P2A Herlia Santi kepada Riau Pos, Ahad (8/9). Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terlapor di Unit Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak (P2A) pada Juli hingga Agustus 2019 sebanyak 16 kasus.

- Advertisement -

Rincinya, kekerasan dalam rumah tangga berjumlah dua kasus, kekerasan terhadap anak berjumlah dua kasus, hak anak sebanyak lima kasus, hak asuh anak satu kasus, anak berhadapan hukum terdapat satu kasus, pencabulan sebanyak empat kasus dan kekerasan berbasis gender ada satu kasus. Lebih lanjut, kasus kekerasan pada anak didominasi di Tenayan Raya, Bukitraya dan Rumbai.

Baca Juga:  Nekat Sayat Leher di Depan Mertua dan Istri

Santi panggilan akrabnya, untuk kasus berbasis gender katanya bermula saat suami meminta izin kepada istri untuk menikah lagi dengan ancaman cerai dan peras. “Jika sang istri tidak beri izin menikah maka mengancam cerai. Istri pun dimintai biaya nikah. Awalnya diminta Rp3 juta lalu minta Rp10 juta,” jelasnya.

Sang istri merasa terancam, melapor ke P2A. Lebih lanjut Santi memberi alternatif agar saat sang klien memberi uang memakai akta notaris. “Saya tawarkan alternatif itu. Agar tidak diperalat. Kalau tidak berhasil bisa lapor saya lagi. Jadi perempuan pun harus paham hukum,” terangnya.

- Advertisement -

Kekerasan berbasis gender ini pun dapat meluas ke kaum marginal, ke disabilitas misalnya. Untuk menghadapi itu para stakeholder harus memiliki satu pemikiran. “Mulai dari pemikiran preventif, penanganan dan pemberdayaan itu harus satu pemikiran. Jangan hanya penanganan saja, namun harus semuanya,” paparnya.

Baca Juga:  Sepakat Pasar Cik Puan Diserahkan ke Pemko

Lalu, ketika korban sudah sele­sai masa pendampingan psiko­logis, kiranya masyarakat tidak mengungkitnya. Hal itu dikarenakan akan mengenai mentalnya kembali. Begitu pula tidak melakukan hal yang sama kepada mantan pelaku.

Menurutnya kasus yang masuk saat ini, bak gunung es. “Pertama, karena memang kasusnya yang meningkat dan kedua, masyarakatnya yang sudah mulai sadar,” ucapnya.

Sebagai informasi sejak 2017 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Kekerasan pada anak yang terlapor pada 2017 (59 orang) dan 2018 (70 orang). Sementara kasus kekerasan pada perempuan yang terlapor pada 2017 (15 orang) dan 2018 (23 orang). 

Rincinya kasus kekerasan terhadap anak paling tinggi pada kategori pencabulan 2017 (19), 2018 (32) sementara pasus kekerasan pada perempuan paling tinggi pada kategori KDRT dimana pada 2017 (12) dan 2018 berjumlah 16 kasus.(*3/ade)

Laporan MUSLIM NURDIN, Pekanbaru

(RIAUPOS.CO) — Jika pada semester satu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 65 kasus, kini di dua bulan semester dua kasus tersebut sudah mencapai 16 kasus. Data tersebut didapat dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Pekanbaru.

Hal itu dijelaskan Konselor P2A Herlia Santi kepada Riau Pos, Ahad (8/9). Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terlapor di Unit Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak (P2A) pada Juli hingga Agustus 2019 sebanyak 16 kasus.

Rincinya, kekerasan dalam rumah tangga berjumlah dua kasus, kekerasan terhadap anak berjumlah dua kasus, hak anak sebanyak lima kasus, hak asuh anak satu kasus, anak berhadapan hukum terdapat satu kasus, pencabulan sebanyak empat kasus dan kekerasan berbasis gender ada satu kasus. Lebih lanjut, kasus kekerasan pada anak didominasi di Tenayan Raya, Bukitraya dan Rumbai.

Baca Juga:  PWI Taja Lomba Vidgram Berhadiah Jutaan Rupiah

Santi panggilan akrabnya, untuk kasus berbasis gender katanya bermula saat suami meminta izin kepada istri untuk menikah lagi dengan ancaman cerai dan peras. “Jika sang istri tidak beri izin menikah maka mengancam cerai. Istri pun dimintai biaya nikah. Awalnya diminta Rp3 juta lalu minta Rp10 juta,” jelasnya.

Sang istri merasa terancam, melapor ke P2A. Lebih lanjut Santi memberi alternatif agar saat sang klien memberi uang memakai akta notaris. “Saya tawarkan alternatif itu. Agar tidak diperalat. Kalau tidak berhasil bisa lapor saya lagi. Jadi perempuan pun harus paham hukum,” terangnya.

Kekerasan berbasis gender ini pun dapat meluas ke kaum marginal, ke disabilitas misalnya. Untuk menghadapi itu para stakeholder harus memiliki satu pemikiran. “Mulai dari pemikiran preventif, penanganan dan pemberdayaan itu harus satu pemikiran. Jangan hanya penanganan saja, namun harus semuanya,” paparnya.

Baca Juga:  Nekat Sayat Leher di Depan Mertua dan Istri

Lalu, ketika korban sudah sele­sai masa pendampingan psiko­logis, kiranya masyarakat tidak mengungkitnya. Hal itu dikarenakan akan mengenai mentalnya kembali. Begitu pula tidak melakukan hal yang sama kepada mantan pelaku.

Menurutnya kasus yang masuk saat ini, bak gunung es. “Pertama, karena memang kasusnya yang meningkat dan kedua, masyarakatnya yang sudah mulai sadar,” ucapnya.

Sebagai informasi sejak 2017 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Kekerasan pada anak yang terlapor pada 2017 (59 orang) dan 2018 (70 orang). Sementara kasus kekerasan pada perempuan yang terlapor pada 2017 (15 orang) dan 2018 (23 orang). 

Rincinya kasus kekerasan terhadap anak paling tinggi pada kategori pencabulan 2017 (19), 2018 (32) sementara pasus kekerasan pada perempuan paling tinggi pada kategori KDRT dimana pada 2017 (12) dan 2018 berjumlah 16 kasus.(*3/ade)

Laporan MUSLIM NURDIN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari