PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Sidang atas dugaan korupsi anggaran di Bappeda Siak senilai Rp2,8 miliar oleh mantan Sekdaprov Riau H Yan Prana Jaya Indra Rasyid kembali berlangsung secara virtual di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (8/4).
Dalam persidangan kali ini, Hakim Ketua Lilin Herlina menyampaikan putusan selanya terkait eksepsi (keberatan) yang disampaikan kuasa hukum terdakwa pada persidangan sebelumnya. Hakim memutuskan menolak eksepsi terdakwa secara keseluruhan. Hakim memutuskan pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan.
Ia menyebutkan, bahwa eksepsi pengacara Deni Azani SH MH dan kawan-kawan yang menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Hendri Junaidi SH MH dan kawan-kawan tidak lengkap atau tidak cermat dinilai tidak tepat. Hakim menilai, dakwaan JPU sudah lengkap dan cermat sesuai perudangan yang berlaku.
"Oleh karena itu, memutuskan menolak eksepsi terdakwa secara keseluruhan. Memutuskan pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan," sebut Hakim Ketua Lilin Herlina dalam persidangan. Untuk itu, hakim memutuskan sidang akan dilanjutkan pada Senin (12/4) pekan depan dengan menghadirkan saksi-saksi dalam persidangan.
Pada kesempatan itu Yan Prana meminta kepada hakim ketua untuk dapat memberi izin agar dirinya bisa datang langsung ke PN Pekanbaru mengkuti sidang selanjutnya.
Menanggapi permintaan terdakwa, hakim ketua menyarankan kepada kuasa hukum terdakwa bisa berkoordinasi dengan JPU untuk meminta izin ke pihak Rumah Tahanan (Rutan) Klas I B Pekanbaru sehingga bisa menghadirkan terdakwa Yan Prana Jaya pada sidang nanti. "Kalau ingin menghadirkan terdakwa di dalam persidangan nanti kuasa hukum terdakwa silahkan berkoordinasi dengan JPU. Mungkin kalau terdakwa bisa hadir langsung dalam persidangan akan bisa lebih efektif lagi," ucap hakim ketua.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Aliandri Tanjung SH MH dan rekan-rekan menyampaikan akan pikir-pikir mengajukan banding. Banding itu nanti akan ajukan bersama-sama dalam putusan pokok perkara seandainya perkara ini dinyatakan dihukum, nanti akan mengajukan banding sekalian dengan banding putusan sela ini.
Kemudian, kuasa hukum terdakwa juga merasa keberatan dengan putusan sela terutama mengenai pertimbangan majelis tentang putusan MK No 31 PUU Tahun 2012 yang menyatakan bahwa institusi kejaksaan bisa saja memakai lembaga manapun untuk mengaudit keuangan negara. Kalau menurut undang-undangnya, BPK yang bisa mengaudit keuangan negera.
"Nah, di dalam putusan MK itu sendiri kan dijelaskan. Putusan MK itu sebenarnya terkait dengan pengujian UU terkait dengan kewenangan KPK sebenarnya. Makanya dalam putusan MK itu bercerita tentang KPK. Nah sekarang pertanyaannya apakah jaksa ini berada di bawah naungan lembaga KPK atau berdiri sendiri atau berbeda. Kalau dia berbeda seharusnya kan tidak sama kewenangannya. Karena keputusan MK itu hanya berlaku untuk KPK di situ. Nah sekarang kan persoalannya perkara ini disidik dan diaudit oleh inspektorat Pekanbaru yang diminta oleh Kejati Riau," ujarnya.
Ditambahkannya, untuk persidangan selanjutnya, kuasa hukum terdakwa sepakat dengan JPU dan hakim untuk bisa menghadirkan terdakwa pada sidang selanjutnya. Hal tersebut guna untuk lebih maksimal dan lebih efektif lagi dalam melakukan pemeriksaan dalam perkara ini.
Sehingga kebenaran materil itu bisa terungkap secara jelas dan gamblang. Sehingga nanti terdakwa bisa membantah keberatan dengan keterangan saksi dan keterangan ahli atau alat bukti.
"Kalau melalui online atau virtual kan susah seperti terkendala sinyal sehingga kadang-kadang tidak nyambung. Hari ini saya juga akan langsung ke Rutan Kelas I Pekanbaru agar diberikan akses kepada terdakwa untuk bisa hadir dalam persidangan selanjutnya," terangnya.
Untuk diketahui, Yan Prana menjadi terdakwa dalam perkara dugaan korupsi anggaran rutin di Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Siak 2013-2017. Saat itu dia menjabat sebagai Kepala Bappeda Siak, yang juga merupakan Pengguna Anggaran (PA).
Sidang lanjutan sebelumnya pada agenda melakukan nota pembelaan atau eksepsi yang disampaikan di persidangan tersebut.
Kuasa hukum atau penasehat hukum terdakwa, Aliandri Tanjung SH MH dan rekan-rekan lainnya mengatakan, kliennya mempermasalahkan syarat formil dakwaan yang tidak lengkap secara formil.
Selain itu, dalam pembacaan eksepsi yang disampaikan kuasa hukum Aliandri Tanjung SH MH dan rekan-rekan kepada majelis hakim menyampaikan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Himawan AS tidak dapat membuktikan dakwaan yang disangkakan kepada kliennya dan hanya menduga-duga.
Dan tanpa adanya kepastian terhadap pemotongan 10 persen anggaran perjalanan Dinas Bapedda Kabupaten Siak sebagaimana yang sudah disangkakan kepada terdakwa. "Bahwa berdasarkan hal tersebut, surat saudara dakwaan JPU tidak memenuhi syarat, jelas dan lengkap. Oleh karena itu surat dakwaan JPU haruslah dinyatakan batal demi hukum," ucap kuasa hukum Yan Prana Jaya tersebut dalam persidangan.
Selain itu, bahwa JPU sungguh tidak cermat menempatkan tanggungjawab terdakwa kepada kerugian negara terlebih ketika waktu dan tempat terjadinya perbuatan yang didakwakan.
Dalam dakwaan, JPU menyatakan terdakwa sudah menerima potongan perjalanan dinas sebesar 10 persen sejak 2013 -2017, sehingga menimbulkan kerugian negara yang tidak didukung oleh alat bukti yang sah dan valid, serta hanya menduga-duga saja.
"Faktanya terdakwa sejak 3 Oktober 2017 sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala Bepedda Kabupaten Siak. Namun anehnya pertanggungjawaban kerugian negara sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan yang dibebankan kepada terdakwa adalah sampai berakhirnya tahun anggaran 2017. Padahal terdakwa bukan lagi pada posisi yang didakwakan sebagaimana yang tersebar dalam secara tidak beraturan dalam dakwaan JPU," ungkapnya. "Bahwa menurut analisa kami berdasarkan ilmu hukum pidana secara sederhana saja. Jika ada kerugian negara seharusnya bukanlah menjadi tanggung jawab terdakwa. Apabila terdakwa tidak lagi berposisi sebagai penanggung jawab anggaran atau PA pada Bapedda Kabupaten Siak sejak tanggal 3 Oktober 2017," sambungnya.
Bahwa kekeliruan dan ketidakcermatan JPU dalam menghitung kerugian negara pada item perjalanan dinas ini berakibat kepada kekeliruan dan ketidakcermatan JPU secara keseluruhan dalam dakwaan ini. Oleh karena itu surat dakwaan JPU haruslah dinyatakan batal demi hukum.
Dan faktanya, dalam hal ini negara tidak dirugikan, yang mana realisasi perjalanan dinas sesuai dan berdasarkan anggaran yang sudah ditetapkan bahwa laporan keuangan Bapedda Siak pada tahun anggaran 2013 dan sampai dengan tahun anggaran 2017 pada BPK RI Provinsi Riau adalah clear. Artinya, adanya bukti nyata bahwa perjalanan dinas itu ada, bukan fiktif.
Sehingga berdasarkan hal tersebut di atas surat dakwaan JPU tidak memenuhi syarat secara cermat, jelas dan lengkap. Oleh karena surat dakwaan JPU haruslah dinyatakan batal demi hukum.
Selanjutnya, dalam kerugian negara pada item makan dan minum 2013 sampai dengan 2017 dinyatakan terdakwa bersama-sama Eka Susanti terhadap pengeluaran anggaran makan dan minum Bapedda Kabupaten Siak adalah tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya sehingga menimbulkan kerugian negara.
Padahal dalam dakwaan itu sendiri JPU mengakui bahwa fakta kegiatan itu ada. Namun di sisi lain dalam surat dakwaan JPU menyatakan mark up atau pun pengelembungan.
Padahal dalam surat dakwaan JPU tidak pernah ada menyajikan data tentang harga yang sepatutnya untuk dibandingkan dengan harga didakwakan yang sudah digelembungkan.
Sehingga bertolak belakang dengan adanya kerugian negara yang diambil dari seluruh total anggaran pada item penggandaan makan minum. Seakan-akan sudah terjadi proyek fiktif.
Maka bahwa dengan demikian JPU sudah gagal memposisikan, membedakan, mengklasifikasikan serta tidak mampu menguraikan secara cermat tentang penyebab kerugian negara pada item makan dan minum.
Bahwa kekeliruan dan ketidak cermatan JPU dalam menghitung item kerugian negara pada item makan dan minum ini berakibat pada kekeliruan dan ketidak cermat tan JPU secara keseluruhan dalam dakwaan ini.Bahwa surat dakwaan JPU tidak menguraikan secara lengkap arti definisi, makna dan prosedur sebuah anggaran dikatakan mark up, sehingga JPU hanya mengglobalisasi atas dugaan tindak pidana yang terjadi.
Berdasarkan hal tersebut surat JPU tidak memenuhi syarat secara cermat, jelas dan tidak lengkap.
Dalam surat dakwaan JPU yang menyatakan bahwa terdakwa secara bersama-sama dengan Dona Fitria bersama-sama pula dengan Ade Kusendang dan Erita dalam berkas terpisah yang melakukan atau yang turut serta melakukan beberapa perbuatan dalam dakwaan tersebut adalah tidak jelas dan kabur.
Apakah terdakwa Dona Fitria dan Ade Kusendang itu bersama-sama melakukan perbuatan tindak pidana, atau apakah terdakwa Dona Fitria dan Ade Kusendang yang turut melakukan beberapa perbuatan tindak pidana.
Surat dakwaan JPU telah nyata mencapuraduk kan berbagai bentuk pernyataan sehingga dapat menjadi kabur dan tidak jelas.
"Uraian di atas tidak memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana sebetulnya," sebut kuasa hukum terdakwa.
Bahkan, sampai pada dalam sidang kedua, pihaknya tidak menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada terdakwa. Kedua, dalam surat dakwaan yang disampaikan oleh jaksa tidak cermat, tidak lengkap dan tidak jelas.
Dikatakannya, dalam surat dakwaan yang disampaikan oleh jaksa bahwa inspektorat Kota Pekanbaru dijadikan sebagai acuan untuk audit kerugian negara pada Bapedda Kabupaten Siak.
Menurutnya, sebagaimana diketahui bahwa Kabupaten Siak tidak berada di bawah Kota Pekanbaru, itu bertentangan dengan peraturan Wali Kota Pekanbaru Nomor 9/2016.
Kemudian dalam dakwaan dikatakan bahwa item makan minum disebutkan bahwa kerugian negara itu pada anggaran makan minum tahun anggaran (TA) 2013 sampai dengan TA 2017 itu dianggap semua kerugian negera. Padahal didalam dakwaan jaksa mendalilkan adanya mark up. "Kalau semua anggaran itu dianggap kerugian negara berarti proyek atau kegiatan tersebut dianggap fiktif. Artinya apa? Bahwa jaksa sendiri tidak sanggup dan tidak mampu untuk membedakan, mengklasifikasikan dan mendefinisikan perbedaan mark up dengan proyek fiktif," jelasnya.(dof)