(RIAUPOS.CO) — Kasus kekerasan terhadap anak maupun perempuan menyita perhatian publik. Sehingga baik orang tua maupun anggota keluarga harus lebih peduli kepada tumbuh kembang anak.
Kasus kekerasan tertinggi terjadi pada tahun 2017, dengan 160 kasus. Lebih lanjut daerah paling tinggi kekerasannya pada anak adalah Kota Pekanbaru. Tahun 2018 terdapat 108 kasus perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Riau Dra H Tengku Hidayati Effiza menghimbau daerah agar membuat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Anak dan Perempuan (P2TP2A). ‘’Alhamdulillah seluruh kabupaten/kota di Riau sudah memiliki P2TP2A,’’ jelasnya.
Lebih lanjut, pihaknya memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa ada UPT yang menangani kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, yaitu P2TP2A. ‘’Kami pun sekarang sedang melakukan program Cegah Perempuan dan Anak pada ketahanan keluarga. Tentang bagaimana dalam keluarga tidak terjadi kekerasan, misalnya dari segi keimanan memberikan pendidikan agama di dalam keluarganya,’’ jelasnya.
Hal itu pun ia kaitkan dengan penggunaan telepon seluler (ponsel) pintar atau smartphone, supaya anak diawasi dan tidak terlalu sering menggunakannya. Orangtua diminta konsisten akan hal itu. Sehingga anak bisa melakukan program wajib mengaji dari pukul 18.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Dampingi anak belajar, mengaji dan lain sebagainya.
Selain itu katanya, ayah pun harus bisa mendongeng untuk anaknya.
Pihak terkait seperti sekolah maupun keluarga diminta dapat mengawasi betul perkembangan anak. Begitu pula penggunaan warnet pun harus diawasi, seperti konten yang harus dibuka itu yang mana saja untuk anak yang masih sekolah.
Untuk teknisi, sampai saat ini masih mengimbau kepada sekolah-sekolah. Misalnya jika anak SMA bisa membawa ponsel tipe standar. Sementara untuk SD tidak dibolehkan sama sekali atau dititipkan kepada pihak sekolah untuk menyimpannya dan itu pun ponsel biasa.(*3/rnl)
Laporan Marrio Kisaz, Pekanbaru