Jumat, 28 Juni 2024

Limbah Sagu Jadi Repu untuk Pakan Sapi

Di saat peternak lain di desanya memberi sapi-sapi mereka pakan hijauan, Umis malah mencoba cara yang lebih praktis. Dia tak perlu lagi mencari rumput dan tanaman lain, yang cukup menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dengan resep rahasia yang diramunya sendiri, ayah satu anak ini mampu mengubah limbah sagu menjadi pakan sapi.

RIAUPOS.CO – Enam bulan lalu, Umis, memelihara seekor sapi milik adiknya yang didapat dari program pengembangan ternak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti. Saat didapat sapi itu masih sangat kecil dan baru saja bercerai susu dari induknya. Kini, lebih kurang enam bulan, sapi yang dipelihara Umis tumbuh besar dan sehat. Bahkan jauh lebih berkembang dari sapi lain yang berasal dari program tersebut.

- Advertisement -

Sapinya kini ditaksir memiliki berat 75 sampai 80 kilogram, dengan tinggi sekitar 1,3 meter. Sedangkan berat sapi lain dari program yang sama, cuma sekitar 50 kilogram dan tinggi 1 meter.

Riau Pos sengaja menemui Umis di Kecamatan Tebingtinggi Timur, belum lama ini. Laki-laki kelahiran 1974 itu bersedia membagikan pengalamannya mengolah limbah padat sagu. Dia pun mempraktikkan cara meramunya hingga menjadi pakan sehat bagi sapi.

Limbah padat sisa pengolahan sagu yang berbentuk ampas itu lebih dikenal masyarakat dengan istilah repu. Bentuknya berserat dan berwarna putih sedikit kekuningan. Walaupun kandungan nutrisi terutama protein kasar terhitung rendah berkisar antara 2,30-3,36 persen, tapi pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu mencapai 52,98 persen.

- Advertisement -

Mis mengumpulkan repu itu saat ada waktu luang, karena sehari-hari dia juga berprofesi sebagai tukang. Untuk mendapatkan suplai limbah sebagai bahan baku pakan ternaknya itu, dia mengambil dari sebuah kilang sagu di ujung jalan desa tidak jauh dari rumahnya.

“Tidak beli, tinggal minta. Berapa sanggup, ambil saja. Sekali turun biasanya saya bawa tiga karung 50 kilo,” ujarnya.

Setelah diangkut kembali ke rumahnya, repu yang masih basah tadi dikeluarkan dari karung kemudian digelar diatas tikar atau plastik untuk dijemur. Proses pengeringan air dari ampas sagu itu bisa memakan waktu empat hingga lima hari saat matahari cerah.

“Kalau masih basah, sapi tidak mau makan. Mungkin karena bau ataupun rasanya,” cerita laki-laki bertubuh kurus itu.

Dengan peralatan sederhana, Umis, menyiapkan pakan buat seekor sapi yang dirawatnya. Dia mulai mengeluarkan repu kering dari dalam karung, kemudian mencampurkannya kedalam sebuah mangkuk yang sudah berisi larutan gula merah (aren atau kelapa). Kemudian diaduk hingga rata bersama garam halus. Lalu dia langsung memasukkan campuran repu itu ke wadah yang sudah tersedia di dalam kandang sapinya.

Sesuai perkiraan, sapi betina Umis langsung melahapnya. Ia tampak menyukai makanan limbah racikan tuannya itu.

“Makannya tiga kali sehari. Cuma saya masih selingi dengan rumput, jadi repu hanya saya kasi sore dan malam,” katanya.

Untuk satu kali makan, dia memberikan setengah hingga satu kilogram repu dengan campuran dua sendok makan garam halus dan satu ons gula merah.

Ide untuk mengolah limbah sagu menjadi pakan sapi didapatnya dari pelatihan yang diikutinya beberapa waktu lalu. Saat itu penyuluh dari Dinas Pertanian Peternakan dan Ketahanan Pangan (DPPKP) Kepulauan Meranti, menginformasikan bahwa repu dapat diolah sebagai makanan sapi dengan campuran ragi. Namun, setelah dicoba cara itu tidak berhasil.

“Saya tidak putus asa, karena saya yakin sapi pasti mau makan repu. Tinggal bagaimana mengolahnya saja,” cerita dia.

Dia kemudian teringat, dalam pelatihan itu dikatakan juga bahwa sapi memerlukan zat gula dan garam untuk pertumbuhan. Mis pun mulai berkreasi. Hingga akhirnya jadilah resep repu dan gula merah itu.

“Waktu saya kasi ke sapi, ternyata dimakan. Malah tidak cukup,” sebutnya girang.

Penggunaan gula merah dalam campuran repu itu tentunya jadi tambahan modal bagi peternak apalagi jika jumlah sapi yang diternakkan mencapai puluhan ekor. Terlebih saat ini harga gula merah aren dan kelapa cukup tinggi, mencapai Rp 20 ribu hingga 22 ribu perkilogram. Tapi menurut Umis, penggunaan gula merah bisa saja tidak dilakukan.

“Sapinya tetap mau makan, cuma kurang lahap saja. Karena saya pelihara cuma satu ekor, jadi tidak begitu berat beli gula merahnya. Tapi walau bagaimanapun saya percaya gula merah itu dapat membantu pertumbuhan sapi,” jelas pria berwatak ramah ini.

Baca Juga:  Manfaatkan Pekarangan dengan Tanaman Kelor

Menurutnya tidak ada trik khusus agar sapi para peternak mau makan repu. Hanya dibutuhkan ketelatenan membuat racikan dan membiasakan hewan ternak dengan konsumsi pakan tersebut.

“Tidak ada sakit perut selama saya kasi repu. Dari kotorannya bisa terlihat, kalau dia sakit pasti kotorannya cair,” ceritanya.

Selain rumput dan repu, Selpi, begitu sapi kesayangan Umis itu diberi nama, juga memakan batang dan tunggul sagu sisa yang ditinggalkan para penebang. Caranya hampir sama. Umbi sagu dipotong lalu diparut hingga halus kemudian dicampur gula merah dan garam.

“Sapi ini dikasi pemerintah. Disuruh pelihara hingga besar dan tidak boleh dijual. Saya juga sayang, biar beranak pinak, tunggu sudah berkembang nanti baru dijual,” ucap laki-laki berkumis tipis itu optimis.

Di tempatnya, ia dipercaya oleh masyarakat untuk mengetuai kelompok ternak yang mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Riau sebanyak 33 ekor sapi. Ada 15 anggota yang tergabung dalam kelompok tersebit.

Mengolah repu untuk makan hewan ternak sebenarnya sudah lama diketahui oleh masyarakat Meranti. Repu yang dicampur berbagai bahan lainnya sering digunakan sebagai pakan ayam buras, bebek dan babi. Hanya saja pemanfaatan ini masih terbatas di kalangan tertentu saja. Sebagian besar peternak tetap menggunakan pakan yang biasa diberikan, seperti rumput, sisa makanan dan pur.

Salah seorang pemilik kilang sagu skala kecil di Hulu Kabung, Tebingtinggi, Ibnu Hasim, jika ada permintaan, dia mengantar ratusan kilogram repu kering ke Selatpanjang. Limbah sisa pengolahan sagu itu dikemas kedalam karung 25 kilogram dan dihargai Rp3500.

“Katanya untuk makan babi. Sekali beli dalam jumlah banyak, biasanya berapa kita antar akan diborong” ceritanya.

Sesekali, jika laki-laki bujangan ini sedang malas, dia akan membiarkan repu sisa pegolahan kilangnya menumpuk sebelum akhirnya dibuang ke sungai. Atau akan ada warga sekitar yang datang meminta.

“Tidak dijual, berapa sanggup ambil saja. Saya malah senang ada yang datang minta, daripada menumpuk jadi limbah,” tutur laki-laki yang mewarisi perkebunan dari kakeknya itu.

Ratusan Ribu Ton Repu untuk Ribuan Sapi
Sagu sudah sejak lama menjadi primadona bagi masyarakat daerah berjuluk tanah jantan ini. Luas perkebunan yang ada dan sudah dikelola dengan baik mencapai 45 ribu hektar (Ha), terbesar di Provinsi Riau. Disusul Kabupaten Indragiri Hilir, 17.586 Ha, Bengkalis 3.103 Ha dan Kabupaten Pelalawan dengan luas 779 Ha

Hampir semua orang kaya di Meranti adalah pengusaha atau pemilik kebun sagu. Bahkan menurut catatan, sejak zaman penjajahan, Belanda dan Jepang sudah membangun jaringan bisnis sagu Meranti lengkap dengan aset perkebunan dan kilang pengolahan.

“Tidak ada orang kaya di Meranti, kecuali toke sagu,” kata Sekda Kepulauan Meranti, Bambang Suprianto dalam berbagai kesempatan.

Hampir tidak ada yang terbuang dari tanaman yang berjuluk si pohon emas dari Meranti ini. Batangnya menghasilkan pati kaya karbohidrat, daunnya dapat disulam menjadi atap. Bahkan limbahnya pun tidak terbuang sia-sia. Setidaknya ada tiga jenis limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan. repu, uyung, dan limbah cair.

Kulit batang sagu atau dikenal dengan istilah uyung sudah terbukti bisa diubah menjadi arang briket dengan pangsa pasar internasional. Selain itu, Pemkab Meranti juga sudah menggunakan uyung dalam proyek pembangunan jalan. Limbah yang selama ini dibakar itu, kini dipakai sebagai alas material base, agar struktur jalan di atas tanah gambut menjadi kuat.

Kemudian ada limbah berupa ampas sagu atau repu. Lalu limbah cair yang berasal dari air repu tadi. Menurut penelitian, limbah cair ini dapat diolah menjadi bioetanol.

Berdasarkan data, lebih kurang 63 kilang sagu skala besar beroperasi di seluruh Kepulauan Meranti. Rata-rata industri itu memproduksi minimal 104 ton tepung sagu perbulan. Selain itu juga banyak kilang skala kecil, yang menjual produksi sagu basah mereka ke industri besar yang mengolah hingga jadi tepung.

Ditambah satu anak perusahaan Sampoerna, PT National Sago Prima (NSP) yang memproduksi tepung sagu lebih kurang 900 ton perbulan dengan tujuan ekspor pasar Jepang.

Baca Juga:  Raih Adipura, Rohil Terapkan Standar Pro Lingkungan

Namun sayang. Di balik cerita kesuksesan industri di kabupaten yang dikenal sebagai cluster sagu Indonesia itu, ada sungai-sungai yang tercemar. Keruh dan berbau busuk. Ikan dan udang pergi atau mati. Para nelayan kecil berkeluh kesah karena tangkapan semakin susah.

Dengan produksi ribuan ton perbulan dan lokasi industri yang selalu berada di bibir laut maupun hulu sungai, membuat pencemaran lingkungan tidak terelakkan. Hasil ekstraksi limbah dibuang begitu saja oleh pengusaha ke aliran sungai, karena tidak mampu diolah.

Belum ada angka pasti untuk jumlah limbah berupa repu hasil pengolahan sagu dari seluruh kilang di Meranti. Namun sesuai prediksi pemerintah kabupaten, jumlahnya mencapai ratusan ribu ton pertahun. Sebagai gambaran, penulis paparkan secara singkat perhitungan jumlah repu yang terbuang.

Satu tual sagu (potongan batang berukuran satu meter) rata-rata memiliki berat total sekitar 70 Kg dengan jumlah pati sagu kurang dari setengahnya yakni 30 hingga 33 Kg. Kemudian berat uyung atau kulit batang sekitar 15 Kg, dan sisanya lebih kurang 25 Kg adalah ampas sagu atau repu yang masih basah atau mengandung air. Artinya dapat dihitung, satu tual sagu sama dengan sekitar 25 Kg repu basah.

Saat ini jumlah pengiriman ke Cirebon menggunakan kapal bisa mencapai 4 kali dalam satu bulan, dengan total mencapai 1200 partai atau 31.200 ton tepung sagu.

Untuk memenuhi kuota itu dibutuhkan 1.440.000 tual sagu. Jika satu tual diprediksi menghasilkan 25 Kg repu, maka dapat dihitung dalam satu bulan repu yang dihasilkan mencapai 36 ribu ton. Atau 432 ribu ton pertahun, hampir setengah juta ton.

Angka itu masih diluar jumlah repu dari hasil produksi tepung sagu PT NSP yang mencapai 900 ton perbulan.

Riau Pos pernah melakukan penelusuran terhadap pengelolaan limbah di kilang pengolahan sagu milik Amir di Desa Tanjung Darultakzim, Kecamatan Tebingtinggi Barat belum lama ini. Di kilang dengan jumlah produksi ratusan ton tepung sagu perbulan ini, kita bisa melihat dua buah lokasi mesin pengolahan yang berbeda.

Lokasi pertama, sudah dilengkapi dengan deretan mesin canggih yang bisa mengolah tual sagu menjadi tepung dan langsung dikemas kedalam karung bermerek “Sagu Selatpanjang”. Di lokasi ini juga sudah dilengkapi dengan Intalasi Pembuangan Air Limbah (Ipal) dan petugas khusus. Jika berkunjung kesana, dapat terlihat repu yang sudah kering itu menumpuk di sebuah tanah lapang seluas satu hektar tidak jauh dari kilang tersebut menunggu diolah.

Sedangkan di lokasi kedua yang berhadapan dengan lokasi pertama, pengolahan hanya dilakukan sampai tahap sagu basah saja. Tidak terlihat Ipal maupun petugas khusus seperti lokasi sebelumnya. Saat ditelusuri, ternyata limbah repu yang masih basah itu langsung dialirkan ke sebuah anak sungai tepat di belakang kilang. Bau menyengat begitu terasa saat berada di lokasi pembuangan “rahasia” itu. Ampas sagu atau repu tampak membusuk di bibir sungai, sedangkan airnya yang beracun itu turun ke anak sungai hingga mengalir ke sungai utama.

Hal ini disinyalir menjadi salah satu penyebab pencemaran air yang parah di Sungai Suir Kecamatan Tebingtinggi. Jadi jangan heran saat menyeberangi sungai melalui pelabuhan Lalang menuju Desa Tanjung Darultakzim menggunakan sampan dayung, kita akan melihat air sungai yang menghitam dan keruh dengan bau yang menyengat terutama saat pasang surut.

Berbagai cara coba dilakukan Pemkab Kepulauan Meranti untuk dapat mengurai permasalahan limbah dari industri komoditi utama daerah ini. Melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH), telah diberikan sosialisasi bahaya limbah serta tatacara pengolahannya hingga mewajibkan Intalasi Pembuangan Air Limbah.

“Sudah beberapa kali kita kumpulkan. Mulai dari sosialisasi, imbauan hingga memberikan pelatihan tentang pengelolaan limbah. Kita juga sudah minta mereka untuk peduli lingkungan dan memikirkan nasib para nelayan yang terdampak industri mereka,” ungkap Kepala BLH Meranti, Syaiful Bahkri.

Tapi upaya itu belum memberikan hasil maksimal. Masih banyak pengelola industri yang tidak patuh. Alasannya jumlah limbah yang mereka hasilkan sangat banyak, sehingga terpaksa dibuang atau dibakar. Tinggal upaya pemerintah bagaimana mengemas dan mengolah limbah kaya karbohidrat itu. (gus)

Laporan Wira Saputra, Tebingtinggi

 

Di saat peternak lain di desanya memberi sapi-sapi mereka pakan hijauan, Umis malah mencoba cara yang lebih praktis. Dia tak perlu lagi mencari rumput dan tanaman lain, yang cukup menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Dengan resep rahasia yang diramunya sendiri, ayah satu anak ini mampu mengubah limbah sagu menjadi pakan sapi.

RIAUPOS.CO – Enam bulan lalu, Umis, memelihara seekor sapi milik adiknya yang didapat dari program pengembangan ternak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti. Saat didapat sapi itu masih sangat kecil dan baru saja bercerai susu dari induknya. Kini, lebih kurang enam bulan, sapi yang dipelihara Umis tumbuh besar dan sehat. Bahkan jauh lebih berkembang dari sapi lain yang berasal dari program tersebut.

Sapinya kini ditaksir memiliki berat 75 sampai 80 kilogram, dengan tinggi sekitar 1,3 meter. Sedangkan berat sapi lain dari program yang sama, cuma sekitar 50 kilogram dan tinggi 1 meter.

Riau Pos sengaja menemui Umis di Kecamatan Tebingtinggi Timur, belum lama ini. Laki-laki kelahiran 1974 itu bersedia membagikan pengalamannya mengolah limbah padat sagu. Dia pun mempraktikkan cara meramunya hingga menjadi pakan sehat bagi sapi.

Limbah padat sisa pengolahan sagu yang berbentuk ampas itu lebih dikenal masyarakat dengan istilah repu. Bentuknya berserat dan berwarna putih sedikit kekuningan. Walaupun kandungan nutrisi terutama protein kasar terhitung rendah berkisar antara 2,30-3,36 persen, tapi pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu mencapai 52,98 persen.

Mis mengumpulkan repu itu saat ada waktu luang, karena sehari-hari dia juga berprofesi sebagai tukang. Untuk mendapatkan suplai limbah sebagai bahan baku pakan ternaknya itu, dia mengambil dari sebuah kilang sagu di ujung jalan desa tidak jauh dari rumahnya.

“Tidak beli, tinggal minta. Berapa sanggup, ambil saja. Sekali turun biasanya saya bawa tiga karung 50 kilo,” ujarnya.

Setelah diangkut kembali ke rumahnya, repu yang masih basah tadi dikeluarkan dari karung kemudian digelar diatas tikar atau plastik untuk dijemur. Proses pengeringan air dari ampas sagu itu bisa memakan waktu empat hingga lima hari saat matahari cerah.

“Kalau masih basah, sapi tidak mau makan. Mungkin karena bau ataupun rasanya,” cerita laki-laki bertubuh kurus itu.

Dengan peralatan sederhana, Umis, menyiapkan pakan buat seekor sapi yang dirawatnya. Dia mulai mengeluarkan repu kering dari dalam karung, kemudian mencampurkannya kedalam sebuah mangkuk yang sudah berisi larutan gula merah (aren atau kelapa). Kemudian diaduk hingga rata bersama garam halus. Lalu dia langsung memasukkan campuran repu itu ke wadah yang sudah tersedia di dalam kandang sapinya.

Sesuai perkiraan, sapi betina Umis langsung melahapnya. Ia tampak menyukai makanan limbah racikan tuannya itu.

“Makannya tiga kali sehari. Cuma saya masih selingi dengan rumput, jadi repu hanya saya kasi sore dan malam,” katanya.

Untuk satu kali makan, dia memberikan setengah hingga satu kilogram repu dengan campuran dua sendok makan garam halus dan satu ons gula merah.

Ide untuk mengolah limbah sagu menjadi pakan sapi didapatnya dari pelatihan yang diikutinya beberapa waktu lalu. Saat itu penyuluh dari Dinas Pertanian Peternakan dan Ketahanan Pangan (DPPKP) Kepulauan Meranti, menginformasikan bahwa repu dapat diolah sebagai makanan sapi dengan campuran ragi. Namun, setelah dicoba cara itu tidak berhasil.

“Saya tidak putus asa, karena saya yakin sapi pasti mau makan repu. Tinggal bagaimana mengolahnya saja,” cerita dia.

Dia kemudian teringat, dalam pelatihan itu dikatakan juga bahwa sapi memerlukan zat gula dan garam untuk pertumbuhan. Mis pun mulai berkreasi. Hingga akhirnya jadilah resep repu dan gula merah itu.

“Waktu saya kasi ke sapi, ternyata dimakan. Malah tidak cukup,” sebutnya girang.

Penggunaan gula merah dalam campuran repu itu tentunya jadi tambahan modal bagi peternak apalagi jika jumlah sapi yang diternakkan mencapai puluhan ekor. Terlebih saat ini harga gula merah aren dan kelapa cukup tinggi, mencapai Rp 20 ribu hingga 22 ribu perkilogram. Tapi menurut Umis, penggunaan gula merah bisa saja tidak dilakukan.

“Sapinya tetap mau makan, cuma kurang lahap saja. Karena saya pelihara cuma satu ekor, jadi tidak begitu berat beli gula merahnya. Tapi walau bagaimanapun saya percaya gula merah itu dapat membantu pertumbuhan sapi,” jelas pria berwatak ramah ini.

Baca Juga:  Manfaatkan Pekarangan dengan Tanaman Kelor

Menurutnya tidak ada trik khusus agar sapi para peternak mau makan repu. Hanya dibutuhkan ketelatenan membuat racikan dan membiasakan hewan ternak dengan konsumsi pakan tersebut.

“Tidak ada sakit perut selama saya kasi repu. Dari kotorannya bisa terlihat, kalau dia sakit pasti kotorannya cair,” ceritanya.

Selain rumput dan repu, Selpi, begitu sapi kesayangan Umis itu diberi nama, juga memakan batang dan tunggul sagu sisa yang ditinggalkan para penebang. Caranya hampir sama. Umbi sagu dipotong lalu diparut hingga halus kemudian dicampur gula merah dan garam.

“Sapi ini dikasi pemerintah. Disuruh pelihara hingga besar dan tidak boleh dijual. Saya juga sayang, biar beranak pinak, tunggu sudah berkembang nanti baru dijual,” ucap laki-laki berkumis tipis itu optimis.

Di tempatnya, ia dipercaya oleh masyarakat untuk mengetuai kelompok ternak yang mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Riau sebanyak 33 ekor sapi. Ada 15 anggota yang tergabung dalam kelompok tersebit.

Mengolah repu untuk makan hewan ternak sebenarnya sudah lama diketahui oleh masyarakat Meranti. Repu yang dicampur berbagai bahan lainnya sering digunakan sebagai pakan ayam buras, bebek dan babi. Hanya saja pemanfaatan ini masih terbatas di kalangan tertentu saja. Sebagian besar peternak tetap menggunakan pakan yang biasa diberikan, seperti rumput, sisa makanan dan pur.

Salah seorang pemilik kilang sagu skala kecil di Hulu Kabung, Tebingtinggi, Ibnu Hasim, jika ada permintaan, dia mengantar ratusan kilogram repu kering ke Selatpanjang. Limbah sisa pengolahan sagu itu dikemas kedalam karung 25 kilogram dan dihargai Rp3500.

“Katanya untuk makan babi. Sekali beli dalam jumlah banyak, biasanya berapa kita antar akan diborong” ceritanya.

Sesekali, jika laki-laki bujangan ini sedang malas, dia akan membiarkan repu sisa pegolahan kilangnya menumpuk sebelum akhirnya dibuang ke sungai. Atau akan ada warga sekitar yang datang meminta.

“Tidak dijual, berapa sanggup ambil saja. Saya malah senang ada yang datang minta, daripada menumpuk jadi limbah,” tutur laki-laki yang mewarisi perkebunan dari kakeknya itu.

Ratusan Ribu Ton Repu untuk Ribuan Sapi
Sagu sudah sejak lama menjadi primadona bagi masyarakat daerah berjuluk tanah jantan ini. Luas perkebunan yang ada dan sudah dikelola dengan baik mencapai 45 ribu hektar (Ha), terbesar di Provinsi Riau. Disusul Kabupaten Indragiri Hilir, 17.586 Ha, Bengkalis 3.103 Ha dan Kabupaten Pelalawan dengan luas 779 Ha

Hampir semua orang kaya di Meranti adalah pengusaha atau pemilik kebun sagu. Bahkan menurut catatan, sejak zaman penjajahan, Belanda dan Jepang sudah membangun jaringan bisnis sagu Meranti lengkap dengan aset perkebunan dan kilang pengolahan.

“Tidak ada orang kaya di Meranti, kecuali toke sagu,” kata Sekda Kepulauan Meranti, Bambang Suprianto dalam berbagai kesempatan.

Hampir tidak ada yang terbuang dari tanaman yang berjuluk si pohon emas dari Meranti ini. Batangnya menghasilkan pati kaya karbohidrat, daunnya dapat disulam menjadi atap. Bahkan limbahnya pun tidak terbuang sia-sia. Setidaknya ada tiga jenis limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan. repu, uyung, dan limbah cair.

Kulit batang sagu atau dikenal dengan istilah uyung sudah terbukti bisa diubah menjadi arang briket dengan pangsa pasar internasional. Selain itu, Pemkab Meranti juga sudah menggunakan uyung dalam proyek pembangunan jalan. Limbah yang selama ini dibakar itu, kini dipakai sebagai alas material base, agar struktur jalan di atas tanah gambut menjadi kuat.

Kemudian ada limbah berupa ampas sagu atau repu. Lalu limbah cair yang berasal dari air repu tadi. Menurut penelitian, limbah cair ini dapat diolah menjadi bioetanol.

Berdasarkan data, lebih kurang 63 kilang sagu skala besar beroperasi di seluruh Kepulauan Meranti. Rata-rata industri itu memproduksi minimal 104 ton tepung sagu perbulan. Selain itu juga banyak kilang skala kecil, yang menjual produksi sagu basah mereka ke industri besar yang mengolah hingga jadi tepung.

Ditambah satu anak perusahaan Sampoerna, PT National Sago Prima (NSP) yang memproduksi tepung sagu lebih kurang 900 ton perbulan dengan tujuan ekspor pasar Jepang.

Baca Juga:  Gencarkan Aksi Penghijauan Jaga Lingkungan dan Dukung Keberadaan Objek Wisata

Namun sayang. Di balik cerita kesuksesan industri di kabupaten yang dikenal sebagai cluster sagu Indonesia itu, ada sungai-sungai yang tercemar. Keruh dan berbau busuk. Ikan dan udang pergi atau mati. Para nelayan kecil berkeluh kesah karena tangkapan semakin susah.

Dengan produksi ribuan ton perbulan dan lokasi industri yang selalu berada di bibir laut maupun hulu sungai, membuat pencemaran lingkungan tidak terelakkan. Hasil ekstraksi limbah dibuang begitu saja oleh pengusaha ke aliran sungai, karena tidak mampu diolah.

Belum ada angka pasti untuk jumlah limbah berupa repu hasil pengolahan sagu dari seluruh kilang di Meranti. Namun sesuai prediksi pemerintah kabupaten, jumlahnya mencapai ratusan ribu ton pertahun. Sebagai gambaran, penulis paparkan secara singkat perhitungan jumlah repu yang terbuang.

Satu tual sagu (potongan batang berukuran satu meter) rata-rata memiliki berat total sekitar 70 Kg dengan jumlah pati sagu kurang dari setengahnya yakni 30 hingga 33 Kg. Kemudian berat uyung atau kulit batang sekitar 15 Kg, dan sisanya lebih kurang 25 Kg adalah ampas sagu atau repu yang masih basah atau mengandung air. Artinya dapat dihitung, satu tual sagu sama dengan sekitar 25 Kg repu basah.

Saat ini jumlah pengiriman ke Cirebon menggunakan kapal bisa mencapai 4 kali dalam satu bulan, dengan total mencapai 1200 partai atau 31.200 ton tepung sagu.

Untuk memenuhi kuota itu dibutuhkan 1.440.000 tual sagu. Jika satu tual diprediksi menghasilkan 25 Kg repu, maka dapat dihitung dalam satu bulan repu yang dihasilkan mencapai 36 ribu ton. Atau 432 ribu ton pertahun, hampir setengah juta ton.

Angka itu masih diluar jumlah repu dari hasil produksi tepung sagu PT NSP yang mencapai 900 ton perbulan.

Riau Pos pernah melakukan penelusuran terhadap pengelolaan limbah di kilang pengolahan sagu milik Amir di Desa Tanjung Darultakzim, Kecamatan Tebingtinggi Barat belum lama ini. Di kilang dengan jumlah produksi ratusan ton tepung sagu perbulan ini, kita bisa melihat dua buah lokasi mesin pengolahan yang berbeda.

Lokasi pertama, sudah dilengkapi dengan deretan mesin canggih yang bisa mengolah tual sagu menjadi tepung dan langsung dikemas kedalam karung bermerek “Sagu Selatpanjang”. Di lokasi ini juga sudah dilengkapi dengan Intalasi Pembuangan Air Limbah (Ipal) dan petugas khusus. Jika berkunjung kesana, dapat terlihat repu yang sudah kering itu menumpuk di sebuah tanah lapang seluas satu hektar tidak jauh dari kilang tersebut menunggu diolah.

Sedangkan di lokasi kedua yang berhadapan dengan lokasi pertama, pengolahan hanya dilakukan sampai tahap sagu basah saja. Tidak terlihat Ipal maupun petugas khusus seperti lokasi sebelumnya. Saat ditelusuri, ternyata limbah repu yang masih basah itu langsung dialirkan ke sebuah anak sungai tepat di belakang kilang. Bau menyengat begitu terasa saat berada di lokasi pembuangan “rahasia” itu. Ampas sagu atau repu tampak membusuk di bibir sungai, sedangkan airnya yang beracun itu turun ke anak sungai hingga mengalir ke sungai utama.

Hal ini disinyalir menjadi salah satu penyebab pencemaran air yang parah di Sungai Suir Kecamatan Tebingtinggi. Jadi jangan heran saat menyeberangi sungai melalui pelabuhan Lalang menuju Desa Tanjung Darultakzim menggunakan sampan dayung, kita akan melihat air sungai yang menghitam dan keruh dengan bau yang menyengat terutama saat pasang surut.

Berbagai cara coba dilakukan Pemkab Kepulauan Meranti untuk dapat mengurai permasalahan limbah dari industri komoditi utama daerah ini. Melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH), telah diberikan sosialisasi bahaya limbah serta tatacara pengolahannya hingga mewajibkan Intalasi Pembuangan Air Limbah.

“Sudah beberapa kali kita kumpulkan. Mulai dari sosialisasi, imbauan hingga memberikan pelatihan tentang pengelolaan limbah. Kita juga sudah minta mereka untuk peduli lingkungan dan memikirkan nasib para nelayan yang terdampak industri mereka,” ungkap Kepala BLH Meranti, Syaiful Bahkri.

Tapi upaya itu belum memberikan hasil maksimal. Masih banyak pengelola industri yang tidak patuh. Alasannya jumlah limbah yang mereka hasilkan sangat banyak, sehingga terpaksa dibuang atau dibakar. Tinggal upaya pemerintah bagaimana mengemas dan mengolah limbah kaya karbohidrat itu. (gus)

Laporan Wira Saputra, Tebingtinggi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari