Dua Pabrik Obat Keras di Yogyakarta Digerebek, Terbesar Menurut Polisi

YOGYAKARTA (RIAUPOS.CO) – Polisi berhasil menggerebek dua pabrik di Bantul dan Sleman, DI Yogyakarta, yang disebut memproduksi 420 juta butir obat keras ilegal dan psikotropika per bulan.

Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen Pol Krisno Siregar menuturkan, pengungkapan dua pabrik ini berawal dari rangkaian kasus obat-obatan keras di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, dan Jakarta Timur.

- Advertisement -

Pihaknya menyita 5 juta pil obat keras dan psikotropika dari kasus-kasus itu. Jenisnya antara lain Hexymer (meningkatkan kendali otot dan mengurangi kekakuan, biasanya untuk Parkinson), Trihex (Trihexyphenidyl, untuk Parkinson).

Selain itu, DMP (Dextromethorphan Hbr atau dekstro, obat yang bekerja di sistem saraf pusat, biasanya untuk batuk), Tramadol (obat pereda rasa sakit), double L (obat epilepsi dan parkinson, berefek halusinasi), dan Aprazolam (obat terapi pada gangguan cemas, serangan panik).

- Advertisement -

"Semuanya ini kami analisa dan kami mendapatkan petunjuk bahwa pengiriman dari Jogja (DIY, red)," kata Kresno, di salah satu pabrik yang memproduksi obat keras ilegal, di Jalan PGRI I Sonosewu Nomor 158, Kasihan, Bantul, Senin (27/9/2021) seperti dilansir CNN.

Pabrik di Kasihan itu sendiri dibongkar keberadaannya pada Selasa (21/9). Lokasi pabrik lainnya, yakni di Banyuraden, Gamping, Sleman, terungkap sehari setelahnya.

Dari kedua pabrik ini, polisi menemukan berbagai mesin produksi, bahan kimia atau prekursor obat, adonan obat siap olah, serta obat-obatan keras-psikotropika siap edar.

Dari total 7 mesin yang ada di kedua pabrik itu, pihaknya memperkirakan lebih kurang 2 juta pil bisa diproduksi tiap harinya.

"Kalau sebulan itu 420 juta butir andaikata dia bekerja 24 jam full," sambungnya.

Biaya operasional dari kedua pabrik ini Rp2-3 miliar untuk belanja bahan baku, pengoperasian mesin, serta gaji para pegawai.

"Penemuan dua tempat ini sebagai pabrik level mega atau besar," ucap Krisno.

"Kami menyimpulkan ini yang terbesar berdasarkan pengalaman kami sebelumnya, dari mesinnya maupun luas tempatnya," sambungnya.

Soal bahan baku obat-obatan ini, Krisno menduga itu diperoleh dari Cina. Namun, pihaknya masih belum memastikan adanya keterlibatan warga negara asing dalam kasus ini.

"Barang-barang ini adalah obat-obat keras yang dalam konsumsinya harus dengan resep dokter. Tapi yang ada adalah obat keras ilegal karena para tersangka tidak ada yang punya keahlian di bidang kefarmasian dan izinnya pun sama sekali tidak ada," papar Krisno.

Polisi pun menangkap penanggung jawab pabrik, yakni WZ (53), warga Karanganyar, Jawa Tengah; LSK alias DA (49), warga Kasihan, Bantul; dan JSR alias J (56), warga Gamping, Sleman, selaku pemilik kedua pabrik ini.

"Kami akan terus mengembangkannya jika nanti kami berhasil menangkap jaringan semua kami akan mengembangkan ke arah tindak pidana pencucian uang," ucap Krisno.

Berdasarkan keterangan dari para penanggung jawab yang kini telah berstatus sebagai tersangka itu, diperoleh informasi sosok EY sebagai pengatur produksi dan peredaran dari obat-obatan dari kedua pabrik itu, yang kini masih buron.

EY, kata Krisno, mengatur pengiriman obat-obatan ini ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk ke Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Di tempat yang sama, tersangka J mengaku pil diproduksi berdasarkan pesanan, meski pihaknya tetap menyiapkan stok di luar orderan.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyebut pihaknya mengamankan total 13 tersangka dalam kasus ini, yang terdiri dari tiga orang penanggung jawab pabrik, penyuplai bahan baku, serta pihak yang terlibat peredaran di berbagai daerah.

"Tidak menutup kemungkinan peredaran obat ini sudah diedarkan di seluruh wilayah Indonesia. Dari 13 tersangka ini akan berkembang dengan tersangka-tersangka lain," jelasnya.

Beberapa barang bukti yang diamankan meliputi 1 unit truk Colt diesel; 30 juta butir obat keras dalam 1.200 kemasan kemasan; 15 unit mesin cetak pil, oven, pewarna, cording atau printing.

Kemudian, bahan prekusor seperti 25 kg Polivinill Pirolidon (PVP); 150 kg Microcrystalline Cellulose (MCC); 450 kg Sodium Starch Glycolate (SSG); 15 kg Polyoxyethylene Glycol 6000 (PEG); 200 kg Dextromethorphan; 275 kg Trihexyphenidyl; 45 kg Talc; 6.250 kg Lactose; ratusan kardus serta botol kosong.

Untuk ketiga tersangka yang terlibat dalam proses produksi obat-obatan ini, polisi mengenakan Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atas perubahan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan subsider Pasal 196 dan/atau Pasal 198 UU Kesehatan Jo Pasal 55 KUHP.

Ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar subsider 10 tahun penjara.

Pelaku juga dijerat Pasal 60 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

YOGYAKARTA (RIAUPOS.CO) – Polisi berhasil menggerebek dua pabrik di Bantul dan Sleman, DI Yogyakarta, yang disebut memproduksi 420 juta butir obat keras ilegal dan psikotropika per bulan.

Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen Pol Krisno Siregar menuturkan, pengungkapan dua pabrik ini berawal dari rangkaian kasus obat-obatan keras di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, dan Jakarta Timur.

Pihaknya menyita 5 juta pil obat keras dan psikotropika dari kasus-kasus itu. Jenisnya antara lain Hexymer (meningkatkan kendali otot dan mengurangi kekakuan, biasanya untuk Parkinson), Trihex (Trihexyphenidyl, untuk Parkinson).

Selain itu, DMP (Dextromethorphan Hbr atau dekstro, obat yang bekerja di sistem saraf pusat, biasanya untuk batuk), Tramadol (obat pereda rasa sakit), double L (obat epilepsi dan parkinson, berefek halusinasi), dan Aprazolam (obat terapi pada gangguan cemas, serangan panik).

"Semuanya ini kami analisa dan kami mendapatkan petunjuk bahwa pengiriman dari Jogja (DIY, red)," kata Kresno, di salah satu pabrik yang memproduksi obat keras ilegal, di Jalan PGRI I Sonosewu Nomor 158, Kasihan, Bantul, Senin (27/9/2021) seperti dilansir CNN.

Pabrik di Kasihan itu sendiri dibongkar keberadaannya pada Selasa (21/9). Lokasi pabrik lainnya, yakni di Banyuraden, Gamping, Sleman, terungkap sehari setelahnya.

Dari kedua pabrik ini, polisi menemukan berbagai mesin produksi, bahan kimia atau prekursor obat, adonan obat siap olah, serta obat-obatan keras-psikotropika siap edar.

Dari total 7 mesin yang ada di kedua pabrik itu, pihaknya memperkirakan lebih kurang 2 juta pil bisa diproduksi tiap harinya.

"Kalau sebulan itu 420 juta butir andaikata dia bekerja 24 jam full," sambungnya.

Biaya operasional dari kedua pabrik ini Rp2-3 miliar untuk belanja bahan baku, pengoperasian mesin, serta gaji para pegawai.

"Penemuan dua tempat ini sebagai pabrik level mega atau besar," ucap Krisno.

"Kami menyimpulkan ini yang terbesar berdasarkan pengalaman kami sebelumnya, dari mesinnya maupun luas tempatnya," sambungnya.

Soal bahan baku obat-obatan ini, Krisno menduga itu diperoleh dari Cina. Namun, pihaknya masih belum memastikan adanya keterlibatan warga negara asing dalam kasus ini.

"Barang-barang ini adalah obat-obat keras yang dalam konsumsinya harus dengan resep dokter. Tapi yang ada adalah obat keras ilegal karena para tersangka tidak ada yang punya keahlian di bidang kefarmasian dan izinnya pun sama sekali tidak ada," papar Krisno.

Polisi pun menangkap penanggung jawab pabrik, yakni WZ (53), warga Karanganyar, Jawa Tengah; LSK alias DA (49), warga Kasihan, Bantul; dan JSR alias J (56), warga Gamping, Sleman, selaku pemilik kedua pabrik ini.

"Kami akan terus mengembangkannya jika nanti kami berhasil menangkap jaringan semua kami akan mengembangkan ke arah tindak pidana pencucian uang," ucap Krisno.

Berdasarkan keterangan dari para penanggung jawab yang kini telah berstatus sebagai tersangka itu, diperoleh informasi sosok EY sebagai pengatur produksi dan peredaran dari obat-obatan dari kedua pabrik itu, yang kini masih buron.

EY, kata Krisno, mengatur pengiriman obat-obatan ini ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk ke Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Di tempat yang sama, tersangka J mengaku pil diproduksi berdasarkan pesanan, meski pihaknya tetap menyiapkan stok di luar orderan.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyebut pihaknya mengamankan total 13 tersangka dalam kasus ini, yang terdiri dari tiga orang penanggung jawab pabrik, penyuplai bahan baku, serta pihak yang terlibat peredaran di berbagai daerah.

"Tidak menutup kemungkinan peredaran obat ini sudah diedarkan di seluruh wilayah Indonesia. Dari 13 tersangka ini akan berkembang dengan tersangka-tersangka lain," jelasnya.

Beberapa barang bukti yang diamankan meliputi 1 unit truk Colt diesel; 30 juta butir obat keras dalam 1.200 kemasan kemasan; 15 unit mesin cetak pil, oven, pewarna, cording atau printing.

Kemudian, bahan prekusor seperti 25 kg Polivinill Pirolidon (PVP); 150 kg Microcrystalline Cellulose (MCC); 450 kg Sodium Starch Glycolate (SSG); 15 kg Polyoxyethylene Glycol 6000 (PEG); 200 kg Dextromethorphan; 275 kg Trihexyphenidyl; 45 kg Talc; 6.250 kg Lactose; ratusan kardus serta botol kosong.

Untuk ketiga tersangka yang terlibat dalam proses produksi obat-obatan ini, polisi mengenakan Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atas perubahan Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan subsider Pasal 196 dan/atau Pasal 198 UU Kesehatan Jo Pasal 55 KUHP.

Ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar subsider 10 tahun penjara.

Pelaku juga dijerat Pasal 60 UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya