SURABAYA (RIAUPOS.CO) – Krisis geopolitik di kawasan Eropa Timur memberikan efek yang beragam bagi ekonomi Indonesia. Di industri baja, permintaan ke benua biru meningkat. Perusahaan di Eropa mencari bahan baku sampai ke tanah air.
Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDS) Hadi Sutjipto menyatakan, pihaknya baru saja mengirimkan 15 ribu ton pelat baja ke Eropa. Ekspor tersebut terdiri atas 10 ribu ton tujuan Jerman dan 5 ribu ton tujuan Spanyol. Nilainya mencapai USD 17 juta. ‘’Ini menjadi momentum penting bagi kami. Karena di saat baru bangkit, akhirnya kami bisa mendapatkan tujuan ekspor baru," paparnya dalam pelepasan ekspor Eropa, kemarin.
Terakhir, perseroan melakukan ekspor ke benua biru pada 2002. Setelah itu, GDS tidak bisa menjual produk baja ke wilayah tersebut karena regulasi yang dikeluarkan Uni Eropa.
Menurut Hadi, faktor utama terbukanya pasar Eropa di industri baja adalah perang yang terjadi antara Ukraina dan Rusia. Sebab, dua negara tersebut merupakan pemasok baja besar di level global. "Biasanya, ekspor kami hanya ke wilayah Singapura atau Malaysia. Rata-rata nilainya 800–900 ribu dolar AS per tahun," jelasnya.
Selama pandemi, dia menyatakan, utilitas pabriknya anjlok hingga 49 persen. Namun, penambahan ekspor tersebut membuat utilitas produksi terkerek ke angka 56 persen.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim Isdarmawan Asrikan menyatakan, efek invasi Rusia ke Ukraina memang berhasil membuka keran ekspor baja untuk pasar Eropa. "Namun, efek positif tersebut tak terjadi di semua sektor," tuturnya.
Industri pengolahan yang mengandalkan impor dari dua negara tersebut juga ikut menderita. Misalnya, produsen pupuk dan produk kimia. "Kinerja ekspor Jatim awal tahun ini mulai membaik seiring biaya ocean freight yang mulai berkurang. Pengiriman ke Amerika Serikat dari dulunya 20 ribu dolar AS per kontainer, sekarang sudah 15 ribu dolar AS," ujarnya.(bil/c12/dio/jpg)