Sabtu, 23 November 2024
spot_img

DPR Pertanyakan Wacana Pemerintah Terbitkan Recovery Bond

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Wacana pemerintah yang mulai merancang kebijakan penerbitan surat utang (recovery bond) mendapat kritikan dari DPR. Upaya itu dianggap tidak tepat di tengah bangsa sedang berjuang melawan pandemi Covid-19.

Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengatakan, rencana kebijakan penerbitan surat utang (recovery bond) bertentangan dengan undang–undang.

"Recovery bond perlu dijelaskan ke publik landasan kebijakan dan skema implementasinya. Karena, berdampak pada beban negara yang merupakan beban rakyat," ujar Kamrussamad kepada JawaPos.com, Jumat (27/3).

Sebelumnya, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono menyatakan bahwa pihaknya tengah mengkaji kebijakan recovery bond.

"Kita ingin menjaga perusahaan-perusahaan. Mereka kan butuh cashflow, likuiditas keuangannya. Pemerintah telah menjajaki akan mengeluarkan suatu surat utang baru atau recovey bond. Kita mau menjaga kelangsungan usaha dan mengurangi PHK (pemutusan hubungan kerja)," kata Susiwijono dalam Telekonferensi Pers, Kamis (26/3).

Baca Juga:  Astra Financial Hadirkan Festival Layanan Keuangan

Atas penyataan Susiwijono itu, kata Kamrussamad, kebijakan recovery bond bertentangan dengan UU nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 55 ayat 1–5.

Menurut dia, skema government bond yang akan dikeluarkan pemerintah harus jelas dulu regulasi dan bentuknya. Jika goverment bond, maka hasilnya harus masuk ke APBN dan pengeluaranya dicatatkan sebagai belanja negara yang didasarkan pada undang-undang keuangan negara dan undang–undang perbendaharaan negara.

Apalagi jika ingin memberikan skema langsung ke korporasi harus diperjelas payung hukum kebijakannnya. Kata Kamrussamad, utang itu tidak bisa langsung diberikan ke korporasi. Negara memberikan skema langsung ke korporasi sangat berbahaya dan berpotensi menjadi skandal besar di kemudian hari.

Baca Juga:  Februari Turun 7 persen, Gaikindo Prediksi Maret Penjualan Mobil Meningkat

"Ini lebih parah dari BLBI, karena skema BLBI negara memberikan suntikan dana segar ke korporasi dan negara mendapatkan kompensasi saham di perusahaan penerima dana BLBI. Skema inilah yang membebani rakyat Indonesia puluhan tahun sejak awal reformasi," ujar Kamrussamad.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Wacana pemerintah yang mulai merancang kebijakan penerbitan surat utang (recovery bond) mendapat kritikan dari DPR. Upaya itu dianggap tidak tepat di tengah bangsa sedang berjuang melawan pandemi Covid-19.

Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad mengatakan, rencana kebijakan penerbitan surat utang (recovery bond) bertentangan dengan undang–undang.

- Advertisement -

"Recovery bond perlu dijelaskan ke publik landasan kebijakan dan skema implementasinya. Karena, berdampak pada beban negara yang merupakan beban rakyat," ujar Kamrussamad kepada JawaPos.com, Jumat (27/3).

Sebelumnya, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono menyatakan bahwa pihaknya tengah mengkaji kebijakan recovery bond.

- Advertisement -

"Kita ingin menjaga perusahaan-perusahaan. Mereka kan butuh cashflow, likuiditas keuangannya. Pemerintah telah menjajaki akan mengeluarkan suatu surat utang baru atau recovey bond. Kita mau menjaga kelangsungan usaha dan mengurangi PHK (pemutusan hubungan kerja)," kata Susiwijono dalam Telekonferensi Pers, Kamis (26/3).

Baca Juga:  Emas Dunia Anjlok, Antam Turun Rp15.000 per Gram

Atas penyataan Susiwijono itu, kata Kamrussamad, kebijakan recovery bond bertentangan dengan UU nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 55 ayat 1–5.

Menurut dia, skema government bond yang akan dikeluarkan pemerintah harus jelas dulu regulasi dan bentuknya. Jika goverment bond, maka hasilnya harus masuk ke APBN dan pengeluaranya dicatatkan sebagai belanja negara yang didasarkan pada undang-undang keuangan negara dan undang–undang perbendaharaan negara.

Apalagi jika ingin memberikan skema langsung ke korporasi harus diperjelas payung hukum kebijakannnya. Kata Kamrussamad, utang itu tidak bisa langsung diberikan ke korporasi. Negara memberikan skema langsung ke korporasi sangat berbahaya dan berpotensi menjadi skandal besar di kemudian hari.

Baca Juga:  Novotel Kenalkan ALL di Pekanbaru

"Ini lebih parah dari BLBI, karena skema BLBI negara memberikan suntikan dana segar ke korporasi dan negara mendapatkan kompensasi saham di perusahaan penerima dana BLBI. Skema inilah yang membebani rakyat Indonesia puluhan tahun sejak awal reformasi," ujar Kamrussamad.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari