Jumat, 1 Agustus 2025

Industri Komponen Terdisrupsi 47 Persen

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Industri otomotif nasional memerlukan transisi sebelum menuju battery electric vehicle (BEV). Sebab, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) ke BEV yang terlalu radikal bakal mengubah struktur industri otomotif nasional. Mulai dari pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, diperlukan transisi alami dari ICE ke BEV. Seperti halnya pergeresan dari transmisi manual ke otomatis. Hal itu untuk menghindari dampak negatif perubahan struktur industri otomotif.

Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono mengatakan bahwa dari sisi konsumen, harga BEV saat ini, berkisar Rp 600 juta, terlalu mahal. Sedangkan, daya beli masyarakat Indonesia untuk mobil masih di bawah Rp300 juta. Itu artinya, ada selisih Rp300 juta yang harus dipersempit untuk mendongkrak penjualan BEV.

Baca Juga:  Beli Pikap Suzuki, Dapat Sepeda Motor

Dari sisi industri komponen, perubahan ICE ke BEV akan mendisrupsi 47 persen persen perusahaan. Pilihan penguasa ada dua yaitu, tutup atau beralih membuat komponen-komponen BEV. Namun, membuat komponen membutuhkan investasi baru dan juga pengembangan sumber daya manusia (SDM).  

"Itu sebabnya, industri komponen lebih memilih transisi dari ICE ke mobil hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) sebelum masuk BEV. Masa transisi itu dapat dimanfaatkan industri komponen untuk membangun kompetensi," ujarnya, Ahad (17/10).

Shodiq menambahkan bahwa Indonesia memerlukan mobil listrik. Itu seiring terus menurunnya pasokan bahan bakar fosil. Kemudian, BEV bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi EV. Mobil listrik juga bisa menurunkan emisi gas buang. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan mobil listrik. 

Baca Juga:  AHM Segarkan Tampilan Honda Vario 160

Akan tetapi, dia menegaskan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dengan mengembangkan BEV. Pertama, harga BEV masih mahal. Alhasil, penetrasinya masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar.  Berdasarkan data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar.(agf/dio/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Industri otomotif nasional memerlukan transisi sebelum menuju battery electric vehicle (BEV). Sebab, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) ke BEV yang terlalu radikal bakal mengubah struktur industri otomotif nasional. Mulai dari pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, diperlukan transisi alami dari ICE ke BEV. Seperti halnya pergeresan dari transmisi manual ke otomatis. Hal itu untuk menghindari dampak negatif perubahan struktur industri otomotif.

Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono mengatakan bahwa dari sisi konsumen, harga BEV saat ini, berkisar Rp 600 juta, terlalu mahal. Sedangkan, daya beli masyarakat Indonesia untuk mobil masih di bawah Rp300 juta. Itu artinya, ada selisih Rp300 juta yang harus dipersempit untuk mendongkrak penjualan BEV.

Baca Juga:  RS Prima Pekanbaru Rayakan 9 Tahun Perjalanan, Siap Hadirkan Layanan Lebih Nyaman

Dari sisi industri komponen, perubahan ICE ke BEV akan mendisrupsi 47 persen persen perusahaan. Pilihan penguasa ada dua yaitu, tutup atau beralih membuat komponen-komponen BEV. Namun, membuat komponen membutuhkan investasi baru dan juga pengembangan sumber daya manusia (SDM).  

"Itu sebabnya, industri komponen lebih memilih transisi dari ICE ke mobil hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) sebelum masuk BEV. Masa transisi itu dapat dimanfaatkan industri komponen untuk membangun kompetensi," ujarnya, Ahad (17/10).

- Advertisement -

Shodiq menambahkan bahwa Indonesia memerlukan mobil listrik. Itu seiring terus menurunnya pasokan bahan bakar fosil. Kemudian, BEV bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi EV. Mobil listrik juga bisa menurunkan emisi gas buang. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan mobil listrik. 

Baca Juga:  AHM Segarkan Tampilan Honda Vario 160

Akan tetapi, dia menegaskan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dengan mengembangkan BEV. Pertama, harga BEV masih mahal. Alhasil, penetrasinya masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar.  Berdasarkan data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar.(agf/dio/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos
spot_img

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Industri otomotif nasional memerlukan transisi sebelum menuju battery electric vehicle (BEV). Sebab, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) ke BEV yang terlalu radikal bakal mengubah struktur industri otomotif nasional. Mulai dari pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, diperlukan transisi alami dari ICE ke BEV. Seperti halnya pergeresan dari transmisi manual ke otomatis. Hal itu untuk menghindari dampak negatif perubahan struktur industri otomotif.

Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono mengatakan bahwa dari sisi konsumen, harga BEV saat ini, berkisar Rp 600 juta, terlalu mahal. Sedangkan, daya beli masyarakat Indonesia untuk mobil masih di bawah Rp300 juta. Itu artinya, ada selisih Rp300 juta yang harus dipersempit untuk mendongkrak penjualan BEV.

Baca Juga:  RS Prima Pekanbaru Rayakan 9 Tahun Perjalanan, Siap Hadirkan Layanan Lebih Nyaman

Dari sisi industri komponen, perubahan ICE ke BEV akan mendisrupsi 47 persen persen perusahaan. Pilihan penguasa ada dua yaitu, tutup atau beralih membuat komponen-komponen BEV. Namun, membuat komponen membutuhkan investasi baru dan juga pengembangan sumber daya manusia (SDM).  

"Itu sebabnya, industri komponen lebih memilih transisi dari ICE ke mobil hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) sebelum masuk BEV. Masa transisi itu dapat dimanfaatkan industri komponen untuk membangun kompetensi," ujarnya, Ahad (17/10).

Shodiq menambahkan bahwa Indonesia memerlukan mobil listrik. Itu seiring terus menurunnya pasokan bahan bakar fosil. Kemudian, BEV bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi EV. Mobil listrik juga bisa menurunkan emisi gas buang. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan mobil listrik. 

Baca Juga:  Huawei Rilis Dua Ponsel Layar Lipat

Akan tetapi, dia menegaskan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dengan mengembangkan BEV. Pertama, harga BEV masih mahal. Alhasil, penetrasinya masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar.  Berdasarkan data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar.(agf/dio/jpg)

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari