JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Anggota Komisi VI DPR, Deddy Yevri Sitorus menilai kesulitan keuangan yang membelit PT Garuda Indonesia sedikit mereda setelah mendapat pinjaman jangka pendek dari BRI yang totalnya lebih dari Rp5 triliun serta "talangan modal kerja" dari pemerintah sebesar Rp8,5 triliun.
Deddy mengatakan, kesulitan Garuda juga mereda karena adanya inisiatif penundaan pembayaran Sukuk 500 juta dolar AS yang jatuh tempo pada awal Juni 2020.
Angin segar itu berembus seiring dengan penunjukan PJT Partners sebagai financial advisor Garuda sebagai negosiator ke para pemegang Sukuk. Meski demikian, Garuda harus melakukan restrukturisasi bisnisnya agar bisa bertahan.
"Untuk mempertahankan hidupnya sampai keadaan new normal pasca Covid-19, Garuda setidaknya membutuhkan dana talangan sebesar 700 juta dolar AS. Selain itu Garuda harus benar-benar merestrukturisasi bisnisnya secara menyeluruh jika masih ingin eksis pasca Covid-19," kata Deddy dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Sabtu (16/5).
Menurut Deddy, Garuda bisa sedikit bernapas lega ketika pemerintah mengutarakan niatnya untuk memberikan talangan modal kerja sebesar Rp8,5 triliun. Walau menurutnya, suntikan talangan modal kerja ini terasa sangat janggal bagi perusahaan publik seperti Garuda.
Menurut Deddy, mekanisme suntikan dana tersebut harus jelas. Jika merupakan penyertaan modal negara (PMN), maka berarti pemerintah menambah kepemilikan saham di Garuda.
Pada saat yang sama, publik pemegang saham juga harus menambahkan sahamnya, atau akan terdilusi jika tidak menambah sahamnya di Garuda.
"Jika sifat dari suntikan ini merupakan "talangan modal kerja", mungkin sebagai utang subordinasi, maka mekanismenya tingkat pengembalian dan waktu pengembaliannya juga harus jelas," katanya.
Sebagai contoh, kata Deddy, Singapore Air yang baru saja mendapat suntikan 19 miliar dolar Singapura, terdiri dari 5,3 miliar dolar Singapura sebagai tambahan modal (equity) dari Temasek, 9,7 miliar dolar Singapura convertible bond oleh Temasek, yang nantinya bisa dikonversikan menjadi kepemilikan saham, serta 4 miliar dolar Singapura pinjaman dari DBS group Holdings.
"Semua jelas dari awal. Pemegang saham lain yang tidak menambahkan modal akan langsung terdilusi. Dan akan terdilusi lebih dalam lagi ketika convertible bond dikonversi jadi saham Temasek (pemerintah Singapura)," ungkapnya.
Namun, jika dana talangan modal kerja ini menjadi utang dari pemegang saham (subordinasi), Deddy mempertanyakan apakah pemerintah begitu percaya Garuda sanggup akan mengembalikan utang tersebut. Pasalnya Garuda selama bertahun-tahun hampir tidak pernah membukukan keuntungan.
"Menurut saya, pemerintah sangat berisiko mengeluarkan suntikan sangat besar untuk sesuatu yang tidak perlu, dibanding dengan hal-hal lain yang harus pemerintah intervensi. Lalu bagaimana dengan tanggung jawab pemegang saham lainnya? Jika hanya pemerintah yang menyelamatkan Garuda, tentu pihak lain pasti akan mendapatkan keuntungan," imbuhnya.
Selain itu, Deddy juga mempertanyakan nasib Sukuk 500 juta dolar AS diperpanjang dengan harga berapa dan seberapa lama, dengan jaminan apa. Deddy khawatir durasi dan harga yang lebih tinggi akan semakin memberatkan kinerja Garuda ke depan.
"Jangan sampai perpanjangan Sukuk mensyaratkan jaminan pemerintah juga, yang bisa menyeret pemerintah atau lembaga pemerintah yang menjamin ke dalam badai keuangan Garuda yang tidak pernah sehat," pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi