JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Asosiasi perusahaan rokok menengah dan kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) mendesak Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai No 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau diubah. Sebab, pada masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, aturan tersebut mempengaruhi daya saing dan justru membuat industri hasil tembakau skala kecil dan menengah sulit tumbuh.
Imbauan penjarakan fisik, menurut Ketua Harian Formasi Heri Susanto, membuat rantai distribusi tidak lancar. Apalagi, pabrik wajib menerapkan protokol kesehatan yang berdampak pada penurunan produksi hingga 50 persen. Terutama untuk pabrik sigaret keretek tangan (SKT). "Jumlah pekerja dibatasi. Masuknya bergantian," ucapnya, pekan lalu.
Kondisi itu, menurut Heri, diperberat Perdirjen No 37 Tahun 2017 yang membolehkan pabrikan rokok mematok harga transaksi pasar (HTP) atau harga jual di tingkat konsumen sebesar 85 persen dari harga jual eceran (HJE) atau harga banderol pada pita cukai. Kebijakan tersebut berlaku di 50 persen wilayah pengawasan kantor bea cukai. Bahkan, harga jualnya bisa lebih rendah dari 85 persen di daerah-daerah dengan persentase tertentu.
Implementasi regulasi itu akan memberatkan industri rokok skala kecil dan menengah. Sebab, daya saing mereka dengan industri besar menurun. "Kami meminta ada perubahan. Setidaknya, harga jual di tingkat konsumen bisa menjadi 90 persen dari HJE. Itu berlaku di seluruh wilayah, tidak dibagi-bagi seperti sekaran," katanya.
Selain itu, Formasi meminta KPPU menyoroti persaingan industri rokok. Menurut Heri, strategi harga jual yang lebih rendah dari HJE tersebut berpotensi melahirkan monopoli.
Sementara itu, pabrikan rokok besar yang tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) enggan menyebut aturan itu sebagai diskon rokok. Ketua Gappri Henry Najoan menegaskan bahwa kebijakan yang membolehkan harga transaksi pasar (HTP) sebesar 85 persen dari HJE tersebut bertujuan memberi ruang gerak produsen. "Jadi, itu bukan diskon," ungkapnya.
Menurut Henry, kebijakan tersebut didasari pertimbangan bahwa ada rantai proses distribusi dari produsen ke konsumen. Proses itu membutuhkan biaya sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah banderol HJE. "Dalam kondisi sulit akibat pandemi, kami jangan diganggu dengan isu yang kurang tepat," tuturnya.
Mengenai kondisi industri selama pandemi, Henry memprediksi ada penurunan signifikan pada produksi rokok akibat merosotnya penjualan rokok. "Pada 2020 ini, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan 2019 atau sekitar Rp 165 triliun. Volume produksi dari IHT justru akan turun 13–23 persen," ucapnya.
Pada masa new normal, lanjut Henry, Gappri berharap pemerintah tidak menerbitkan kebijakan-kebijakan yang justru menghambat recovery industri. Misalnya, dengan menaikkan cukai atau melakukan simplifikasi struktur cukai. "Pemerintah diharapkan membantu sepenuhnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan pabrikan, baik secara kualitas, kuantitas, varietas, maupun kontinuitas," katanya.
Terpisah, Kepala Kanwil IV KPPU Dendy R Sutrisno menuturkan, sampai saat ini, belum ada laporan resmi dari pelaku usaha industri tembakau terkait dengan indikasi persaingan tidak sehat. "Tapi, kami membuka diri bagi masyarakat yang ingin menyampaikan keluhannya," ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Emerson Yuntho menilai tidak ada kajian mengenai ketentuan pelonggaran HJE. Kabarnya, pelonggaran boleh dilakukan tidak lebih dari 50 persen oleh kantor pengawasan bea dan cukai. "Aturan tersebut membuat negara berpotensi kehilangan pendapatan PPh badan," ungkapnya.
Dia menjelaskan, simulasi awal menunjukkan bahwa potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok 2020 akibat kebijakan diskon mencapai Rp2,6 triliun. Diskon itu termasuk ketentuan 50 persen kantor wilayah pengawasan bea dan cukai.
Angka itu diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) 2019. Riset tersebut melibatkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan senilai Rp1,73 triliun.
Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1 persen harga transaksi pasar (HTP) dan HJE pada segmen sigaret keretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM), potensi kehilangan penerimaan negara naik. Nominalnya mencapai Rp2,6 triliun. Penghitungan itu sesuai dengan PMK No 152 Tahun 2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Senada dengan Emerson, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengkritisi kebijakan tersebut. Menurut dia, aturan diskon rokok akan memperbesar potensi kehilangan penerimaan negara. Tauhid pun mengimbau agar kebijakan itu dikaji ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh badan. "Kenaikan harga rokok yang terjadi pada 2020 tidak menjamin potensi kerugian negara dari PPh ini terselesaikan," katanya.
Sementara itu, Kasubdit Tarif Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Sunaryo Kartodiwiryo mempunyai pendapat yang tidak sama. Dia menampik anggapan bahwa Perdirjen Bea Cukai No 37 Tahun 2017 akan menjadi penyebab hilangnya penerimaan negara dalam jumlah besar.
Menurut Sunaryo, simulasi potential loss yang disebut-sebut bisa mencapai triliunan itu tidak melibatkan unsur sensitivitas harga terhadap produk rokok. Termasuk kalkulasi yang menyebutkan bahwa perdirjen justru bisa membuat negara kehilangan penerimaan PPh badan hingga Rp2,6 triliun.
Dia mengungkapkan bahwa kalkulasi yang beredar lebih menitikberatkan pada asumsi rokok mahal dan kurang mahal terhadap omset. "Yang dijelaskan, di bawah HJE omsetnya sekian, di atas HJE omsetnya sekian. Lalu, selisihnya itu yang dianggap kekurangan PPh," tuturnya kepada Jawa Pos (JPG), Ahad (12/7).(agf/dee/c20/hep/das)