JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelumnya mengungkapkan temuan terkait utang pemerintah yang menumpuk. Disebutkan bahwa pemerintah pusat dalam pengelolaan utang kurang efektif.
Auditor Utama II Badan Periksa Keuangan (BPK) Laode Nusriad pun memberikan masukan atas penumpukan utang-utang tersebut. Apalagi utang negara selalu menjadi pembahasan menarik.
Hal yang pertama adalah pembagian tugas dan wewenang antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menetapkan kebijakan Surat Berharga Negara (SBN). Mengingat saat ini, BI juga masuk ke pasar perdana untuk dana penanganan Covid-19.
“Kedua, bagaimana menyempurnakan kebijakan, khususnya private placement, karena yield-nya tidak bisa diukur. Mungkin perlu ada ukuran yang jelas terkait private placement,” ujarnya melalui telekonferensi pers, Senin (11/5).
Kemudian, melakukan monitoring untuk mencegah terhadap pembayaran kupon, dalam hal ini terkait pelunasan utang. “Terakhir masalah risiko manajemen keuangan negara. Ini sudah harus mulai dibuat kerangkanya, termasuk parameter pemanfaatan utang untuk belanja produktif,” kata dia.
Sebelumnya, Kemenkeu juga memberikan tanggapannya terkait temuan BPK tentang pengelolaan utang pemerintah pusat yang dinilai kurang efektif. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan, penambahan utang pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan penurunan angka kemiskinan.
“Walaupun nambah utang kita, tapi sudah bisa dilihat hasilnya. Seperti infrastruktur jadi baik, kemiskinan menurun, sampai akhirnya Covid-19 ini,” ujarnya dalam video conference, Jumat (8/5).
Sri Mulyani menegaskan, pihaknya sangat menghormati hasil temuan BPK tersebut. Pihaknya juga memastikan, penggunaan utang dilakukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Menurutnya, analisa BPK tersebut sebagai pengingat agar pemerintah semakin berhati-hati. “Fiskal adalah instrumen. Tapi bukan berarti kita ugal-ugalan. Jadi, ya kita hormati saja,” ucapnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman