JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Setumpuk persoalan kini harus dihadapi industri tekstil dalam negeri. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, secara statistik, impor tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional tercatat meningkat. Yakni dari USD 4,7 miliar pada 2017 menjadi USD 4,9 miliar pada 2018, lalu USD 3,9 miliar pada September 2019.
“AS menaikkan tarif produk Tiongkok yang berimbas pada Indonesia lantaran adanya banjir produk impor,” ujarnya akhir pekan lalu.
Mantan managing director World Bank itu melanjutkan, persoalan lainnya adalah kapasitas produksi dan investasi industri hulu TPT meningkat, tetapi daya serap industri antara (tengah) di dalam negeri kurang. Kondisi itu membuat pasar untuk industri hulu TPT adalah ekspor.
Untuk industri tengah, terjadi penurunan kapasitas produksi yang disebabkan persoalan lingkungan dan mesin produksi yang sudah tua. Hal itu berimbas pada industri hilir yang sulit mendapatkan bahan baku dalam negeri akibat kurangnya pasokan. Padahal, lanjut dia, utilisasi produksi industri hilir baru 56 persen.
Dia memerinci, kapasitas dalam negeri untuk serat benang mencapai 3,1 juta ton dan tekstilnya 3,9 juta ton. Namun, yang mencengangkan ialah pada saat produksi belum penuh malah terdapat impor 1,2 juta ton serat.
“Kalau di satu sisi ada kapasitas dari produksinya nggak dipakai tapi ada impor, berarti ada macam-macam persoalan yang dihadapi dalam industri tersebut,” paparnya.
Setumpuk persoalan dari hulu ke hilir itulah yang disebut membuat industri TPT tertekan. Ditambah lagi tidak adanya pembatasan impor pakaian jadi.
Kondisi yang terjadi saat ini ialah TPT hulu seperti benang dan kain dilakukan pengawasan dengan syarat kuota impor serta laporan surveyor. Sementara itu, TPT garmen hanya mensyaratkan laporan surveyor.
“Perlakuan pengawasan tata niaga impor hulu dan hilir perlu kajian yang lebih komprehensif,” tambahnya.
Kepala Subdirektorat Jenderal (Kasubdit) Humas Bea Cukai Kementerian Keuangan Deni Surjantoro menambahkan, selain masalah mesin, industri tengah menghadapi tantangan isu lingkungan hidup dari limbah pada proses printing. Karena itu, perlu langkah perbaikan di industri tengah.
“Industri hilir mau ambil barang di tengah tidak ada produksi. Karena tidak ada produksi yang masuk, dia impor juga yang hilir,” katanya.
Kurang optimalnya industri tengah juga menjadi penyebab masuknya kain impor. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor kain meningkat selama periode 2016–2018. Tren kenaikan rata-rata tercatat 31,80 persen per tahun.
Pada 2016, impor kain tercatat 238.219 ton, kemudian naik menjadi 291.915 ton pada 2017. Impor kain kembali tumbuh menjadi 413.813 ton pada 2018.
Volume impor kain Indonesia terbesar berasal dari Tiongkok dengan pangsa impor 67,86 persen pada 2018. Selain Tiongkok, Indonesia mengimpor kain dari Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman