Diskriminasi Eropa terhadap Sawit Indonesia

Sejak industri kelapa Sawit Indonesia tumbuh dan berkembang serta berhasil mendominasi pasar internasional, khususnya di Uni Eropa, beragam persoalan tentang industri sawit terus dimunculkan. Mulai dari isu kesehatan, pekerja di bawah umur hingga alasan kerusakan lingkungan.

Yang terbaru, pada Maret 2019 lalu, Komisi Uni Eropa meloloskan peraturan pelaksanaan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II).

- Advertisement -

Dalam peraturan tersebut, Uni Eropa bersepakat memasukkan minyak Sawit sebagai kategori tidak berkelanjutan sehingga tidak bisa digunakan untuk biodiesel.

Alasannya tentu lagi-lagi soal lingkungan.

- Advertisement -

Uni Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan Sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.

Bagi Indonesia dan negara-negara penghasil CPO, kebijakan ini tentu saja sangat diskriminatif karena akan berdampak pada perekonomian negara.

Indonesia merupakan negara dengan produksi Sawit terbesar di dunia.

Sebesar 60 persen produksi sawit dunia dihasilkan dari Indonesia. Selebihnya dari Malaysia dan beberapa negara Asia Tenggara.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan, Indonesia mengekspor 4,78 juta ton CPO ke Uni Eropa sepanjang tahun 2018, menjadikan Benua Biru sebagai tujuan ekspor kedua sesudah India. Dari jumlah tersebut, sekitar 61% di antaranya digunakan untuk biofuel.

Pemerintah Indonesia tentu tidak akan diam dengan keputusan diskriminatif Uni Eropa terkait Sawit. Pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah untuk mencegah agar keputusan tersebut tidak diberlakukan. Tentu saja, langkah diplomasi menjadi langkah pertama.

Sinergi antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan perlu diperkuat agar kerja-kerja diplomasi dapat berjalan dengan baik.

Langkah berikutnya adalah melakukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organitation (WTO).

Bagi Indonesia, kebijakan ini jelas sangat diskriminatif.

Oleh karena itu, jalan terbaik untuk melawan kebijakan ini adalah dengan melakukan gugatan ke WTO.

Kita Pemerintah sudah menyampaikan gugatan ke WTO melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss. Permintaan konsultasi, sebagai tahap inisiasi awal gugatan, telah dikirimkan pada tanggal 9 Desember 2019 kepada Uni Eropa.

Dalam semua usaha itu, Indonesia perlu menyiapkan tim lobi yang kuat untuk bisa melakukan diplomasi dengan Uni Eropa dan gugatan ke WTO.(int/zed)

Sejak industri kelapa Sawit Indonesia tumbuh dan berkembang serta berhasil mendominasi pasar internasional, khususnya di Uni Eropa, beragam persoalan tentang industri sawit terus dimunculkan. Mulai dari isu kesehatan, pekerja di bawah umur hingga alasan kerusakan lingkungan.

Yang terbaru, pada Maret 2019 lalu, Komisi Uni Eropa meloloskan peraturan pelaksanaan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II).

Dalam peraturan tersebut, Uni Eropa bersepakat memasukkan minyak Sawit sebagai kategori tidak berkelanjutan sehingga tidak bisa digunakan untuk biodiesel.

Alasannya tentu lagi-lagi soal lingkungan.

Uni Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan Sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.

Bagi Indonesia dan negara-negara penghasil CPO, kebijakan ini tentu saja sangat diskriminatif karena akan berdampak pada perekonomian negara.

Indonesia merupakan negara dengan produksi Sawit terbesar di dunia.

Sebesar 60 persen produksi sawit dunia dihasilkan dari Indonesia. Selebihnya dari Malaysia dan beberapa negara Asia Tenggara.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan, Indonesia mengekspor 4,78 juta ton CPO ke Uni Eropa sepanjang tahun 2018, menjadikan Benua Biru sebagai tujuan ekspor kedua sesudah India. Dari jumlah tersebut, sekitar 61% di antaranya digunakan untuk biofuel.

Pemerintah Indonesia tentu tidak akan diam dengan keputusan diskriminatif Uni Eropa terkait Sawit. Pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah untuk mencegah agar keputusan tersebut tidak diberlakukan. Tentu saja, langkah diplomasi menjadi langkah pertama.

Sinergi antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan perlu diperkuat agar kerja-kerja diplomasi dapat berjalan dengan baik.

Langkah berikutnya adalah melakukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organitation (WTO).

Bagi Indonesia, kebijakan ini jelas sangat diskriminatif.

Oleh karena itu, jalan terbaik untuk melawan kebijakan ini adalah dengan melakukan gugatan ke WTO.

Kita Pemerintah sudah menyampaikan gugatan ke WTO melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss. Permintaan konsultasi, sebagai tahap inisiasi awal gugatan, telah dikirimkan pada tanggal 9 Desember 2019 kepada Uni Eropa.

Dalam semua usaha itu, Indonesia perlu menyiapkan tim lobi yang kuat untuk bisa melakukan diplomasi dengan Uni Eropa dan gugatan ke WTO.(int/zed)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya