Jumat, 5 Juli 2024

Asosiasi Maskapai Minta Relaksasi Biaya Airport

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) memberikan efek yang luas. Salah satunya, ikut menyerempet komoditas pertambangan hingga industri penerbangan. Pengusaha berharap pemerintah memperhatikan dampak jangka panjang karena biaya operasional industri berpotensi naik jika pelemahan mata uang Garuda berlanjut.

Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA, misalnya, berharap pemerintah memberikan relaksasi. Contohnya, biaya airport. Sebab, komponen harga avtur sudah pasti akan naik dalam kondisi saat ini. Sebagai respons tingginya harga nilai tukar uang rupiah, ini bisa membantu industri airline tetap bisa survive,’’ ujar Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja, Selasa (2/7).

- Advertisement -

Menurut dia, selama ini maskapai telah berbicara dengan PT Pertamina (Persero) terkait harga avtur. Langkah itu dilakukan sebagai upaya untuk mencari jalan tengah atau mitigasi menghadapi anjloknya nilai rupiah. ‘’Kami juga mesti berdiskusi dengan kementerian terkait kira-kira relaksasi apa yang bisa diberikan. Karena ada perpajakan, ada insentif, kemudian harga avtur. Ini nanti bergantung kepada pemerintah,’’ katanya.

Baca Juga:  Smartfren Perkuat Jaringan di Momen Ramadan dan Idulfitri

Di sisi lain, fluktuasi rupiah juga disorot pengusaha di sektor pertambangan. Plh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto menyatakan, pasar utama industri bauksit adalah dalam negeri. ‘’Sementara, sebagian besar komponen produksi dalam hitungan USD. Sehingga perusahaan-perusahaan ini yang akan menanggung (kenaikan biaya produksi dalam dolar AS, red),’’ tegas Ronald.

Apalagi, sambung Ronald, saat ini kondisi suplai dan demand bauksit disebut tidak berimbang. Akibatnya, saat ada kenaikan biaya operasional, pengusaha akan sangat berkeberatan. Kalau dalam waktu lama perusahaan tidak akan kuat menahan penguatan dolar AS. Melakukan efisiensi itu pasti, tapi itu kan proses. ‘’Kami berharap pemerintah melihat hal ini agar kebijakan-kebijakan yang ada sekarang bisa diperlunak,’’ tutur Ronald.

- Advertisement -
Baca Juga:  BOB PT BSP-Pertamina Hulu Raih Sertifikat SMAP ISO 37001:2016

Sementara itu, pengusaha di sektor batu bara menilai bahwa dampak jangka panjang dari fluktuasi rupiah harus dapat diterjemahkan dengan baik oleh industri untuk meningkatkan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri).

Direktur PT Bayan Resources Tbk Alexander Ery Wibowo menegaskan, pelemahan mata uang RI belum sampai mengganggu kontrak penjualan batu bara. ‘’Permintaan relatif stabil, kontrak ekspor juga tidak terganggu karena memang acuan practice-nya sudah disepakati lama atau long-term contract,’’ jelas pria yang akrab disapa Alex tersebut. (agf/dio/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) memberikan efek yang luas. Salah satunya, ikut menyerempet komoditas pertambangan hingga industri penerbangan. Pengusaha berharap pemerintah memperhatikan dampak jangka panjang karena biaya operasional industri berpotensi naik jika pelemahan mata uang Garuda berlanjut.

Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA, misalnya, berharap pemerintah memberikan relaksasi. Contohnya, biaya airport. Sebab, komponen harga avtur sudah pasti akan naik dalam kondisi saat ini. Sebagai respons tingginya harga nilai tukar uang rupiah, ini bisa membantu industri airline tetap bisa survive,’’ ujar Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja, Selasa (2/7).

Menurut dia, selama ini maskapai telah berbicara dengan PT Pertamina (Persero) terkait harga avtur. Langkah itu dilakukan sebagai upaya untuk mencari jalan tengah atau mitigasi menghadapi anjloknya nilai rupiah. ‘’Kami juga mesti berdiskusi dengan kementerian terkait kira-kira relaksasi apa yang bisa diberikan. Karena ada perpajakan, ada insentif, kemudian harga avtur. Ini nanti bergantung kepada pemerintah,’’ katanya.

Baca Juga:  Rp25,2 Triliun Modal Asing Kabur

Di sisi lain, fluktuasi rupiah juga disorot pengusaha di sektor pertambangan. Plh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto menyatakan, pasar utama industri bauksit adalah dalam negeri. ‘’Sementara, sebagian besar komponen produksi dalam hitungan USD. Sehingga perusahaan-perusahaan ini yang akan menanggung (kenaikan biaya produksi dalam dolar AS, red),’’ tegas Ronald.

Apalagi, sambung Ronald, saat ini kondisi suplai dan demand bauksit disebut tidak berimbang. Akibatnya, saat ada kenaikan biaya operasional, pengusaha akan sangat berkeberatan. Kalau dalam waktu lama perusahaan tidak akan kuat menahan penguatan dolar AS. Melakukan efisiensi itu pasti, tapi itu kan proses. ‘’Kami berharap pemerintah melihat hal ini agar kebijakan-kebijakan yang ada sekarang bisa diperlunak,’’ tutur Ronald.

Baca Juga:  Adaptasi dan Transformasi, AXA Mandiri Catat Kinerja Positif di 2020

Sementara itu, pengusaha di sektor batu bara menilai bahwa dampak jangka panjang dari fluktuasi rupiah harus dapat diterjemahkan dengan baik oleh industri untuk meningkatkan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri).

Direktur PT Bayan Resources Tbk Alexander Ery Wibowo menegaskan, pelemahan mata uang RI belum sampai mengganggu kontrak penjualan batu bara. ‘’Permintaan relatif stabil, kontrak ekspor juga tidak terganggu karena memang acuan practice-nya sudah disepakati lama atau long-term contract,’’ jelas pria yang akrab disapa Alex tersebut. (agf/dio/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari