JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Salah satu tuntutan gerakan mahasiswa, yakni penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pembatalan UU KPK yang telah direvisi, tak mendapat respons positif. Hingga kemarin (25/9) pemerintah bersikukuh tidak akan mengeluarkan perppu.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyatakan, sikap presiden sudah tegas. Bahwa bentuk penolakan terhadap UU bisa disalurkan melalui jalur konstitusional di Mahkamah Konstitusi (MK).
”Lewat MK dong. Masak kita main paksa-paksa?” ujarnya di Istana Kepresidenan Jakarta kemarin.
Yasonna menegaskan bahwa negara memiliki mekanisme konstitusional. ”Kecuali kita tidak menganggap negara ini negara hukum lagi. Gitu aja,” cetus politikus PDIP itu.
Saat disinggung bahwa menerbitkan perppu juga merupakan jalur konstitusional, Yasonna berdalih, belum cukup alasan untuk mengambil langkah tersebut. Menurut dia, desakan publik yang masif tidak memenuhi unsur keterdesakan.
”Janganlah membiasakan cara-cara begitu. Berarti dengan cara itu mendeligitimasi lembaga negara. Seolah-olah nggak percaya kepada MK,” tuturnya.
Sementara itu, KPK mengidentifikasi 26 persoalan dalam UU yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 17 September lalu. Temuan yang dinilai berisiko melemahkan agenda pemberantasan korupsi tersebut merupakan hasil analisis yang dilakukan tim kajian KPK sejak RUU itu disahkan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menjelaskan, poin-poin yang diidentifikasi tersebut sejatinya sudah kerap dibahas banyak pihak. Misalnya poin tentang meletakkan KPK di rumpun eksekutif. Berdasar hasil kajian KPK, poin itu tidak membaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important. ”Rumusan UU hanya mengambil sebagian putusan MK,” katanya kemarin.
Selain poin tersebut, KPK menyatakan adanya persoalan dalam penghapusan bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi. Dan menjadikan dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK.
Padahal, kata Febri, syarat menjadi pimpinan KPK lebih berat jika dibandingkan dengan dewan pengawas. Misalnya harus berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. Sementara itu, syarat dewan pengawas lebih sederhana karena tidak mensyaratkan pengalaman 15 tahun di bidang tertentu.
Sumber: Jawapos.com
Editor: wws