(RIAUPOS.CO) – Setelah dikulik, Pondok Ayam Goreng Pak Abbas ini ternyata bukan pemain baru. Tempat ini sudah menemani masyarakat sekitar perbatasan Riau-Sumatera Barat sejak tahun 1974.
Hal itu diutarakan oleh Fadil, si generasi ketiga dari pemilik awal yang kini mengelola rumah makan ini. Kata Fadil, dulu kakeknya, Pak Abbas membangun rumah makan pertamanya di wilayah Danau Bingkuang, Jalan Lintas Riau-Sumatera Barat.
Puluhan kilometer dari lokasi Kualu Nenas. Namun, di awal nama pondok ini bukan langsung Pak Abbas. Melainkan Lintas Raya.
‘’Karena pemilik rumah makan ini Pak Abbas, gerai ini juga lebih dikenal sebagai Rumah Makan Pak Abbas ketimbang Lintas Raya,’’ ujarnya saat ditemui di Gerai Pak Abbas Kualu Nenas.
Sampai akhirnya pada tahun 1997, anak dari Pak Abbas (orang tua Fadil) mendirikan Pondok Ayam Goreng Pak Abbas di Kualu Nenas ini. Namanya sengaja diubah karena lebih familiar di kalangan pelanggan mereka.
Meski nama diubah, menu dan cita rasanya masih dipertahankan. Masakannya merupakan masakan khas Melayu yang diolah dengan tungku kayu dan bumbu-bumbu alami.
Pengunjung pun makin ramai. Karena melihat peluang yang baik, Pak Abbas memutuskan untuk membuka cabang kedua di Jalan SM Amin, Arengka 2 Pekanbaru pada tahun 2007. Selang tiga tahun kemudian, cabang ketiga pun didirikan di Jalan Mustika Pekanbaru.
Pak Abbas sendiri sudah tutup usia sejak tahun 2011 lalu. Tongkat estafet pengelolaan rumah makan ini pun dilanjutkan oleh anak ketiganya dan berlanjut ke sang cucu, Fadil.
‘’Kami penerusnya. In sya Allah amanah ini kami jalankan dengan sepenuh hati dengan menjaga nilai-nilai positif serta keaslian dari kakek kami dulu,’’ ujar Fadil.
Fadil sendiri merupakan generasi milenial yang diminta keluarganya meneruskan bisnis ini. Ia merasa ada tantangan tersendiri di saat anak muda seperti dirinya harus mengurus bisnis yang mengarah kepada unsur tradisional.
Namun, dengan berpegang teguh kepada ‘’mempertahankan keaslian’’, Fadil pun tak mengutak-atik atau ‘’memilenialkan’’ resto itu. Semua keaslian harus ia pertahankan.
‘’Justru mempertahankan keaslian itu yang membuat kami tetap bertahan dan bisa melangkah sampai sejauh ini,’’ ujarnya.
Nyatanya, bukan bisnis ini saja yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pelanggannya pun begitu. Dengan kata lain, pelanggan Pak Abbas ini juga sudah lintas generasi. Mulai dari yang seumuran dengan Pak Abbas hingga seumuran dengan Fadil, menjadi penikmat setia rumah makan ini.
‘’Kadang yang datang cerita, kalau waktu dia kecil, dia sekeluarga sering makan di sini. Jadi, dari zaman kakek neneknya dulu, mereka sudah langganan makan di sini. Sampai mereka sudah punya anak istri pun mereka makannya ke sini lagi sekaligus memperkenalkan keluarga mereka dengan rumah makan ini,’’ kenang Fadil.
Salah seorang pengunjung, Ikhsan mengaku sudah tak terhitung lagi jumlah kunjungannya ke Pak Abbas Kualu Nenas ini. Ia dan sang istri, Mia, tak pernah bosan untuk mampir. ‘’Yang bikin beda itu rasanya. Apalagi asam pedas ikan baung ini. Baungnya segar. Baung sungai. Jarang sekarang tempat makan yang pakai baung sungai,’’ ujarnya usai santap.
Istrinya pun mengamini perkataan Ikhsan. Cita rasa yang ditawarkan Pak Abbas dinilainya konsisten. Favoritnya ialah ayam goreng kampung. Sekali makan, biasanya ia bisa menghabiskan tiga potong ayam. ‘’Ya, saking enaknya. Rasanya juga cocok di lidah kami. Mulai dari orang tua, anak-anak semua bisa menikmati,’’ ujarnya.
Di samping rasa, pelayanan dan fasilitas juga dianggap jadi nilai plus dari tempat ini.
‘’Parkirnya luas dan teduh. Jadi kita nggak kesulitan,’’ sambung pria asal Kota Bangkinang ini.
Pelayannya juga dinilai sigap dan ramah. Tempatnya pun luas. Tersedia pula musala dan toilet bersih yang membuat pengunjung makin nyaman.
‘’Pokoknya, setiap perjalanan mau ke Pekanbaru, atau dari Pekanbaru ke Bangkinang, nggak boleh terlewat Pak Abbas ini,’’ kata Ikhsan lagi.
Dari segi harga, Pak Abbas dinilainya menawarkan harga yang cukup terjangkau. Bahkan, ia menilai harga yang ditawarkan lebih murah ketimbang tempat-tempat lain. Untuk asam pedas baung dibanderol Rp25 ribu sampai Rp40 ribu per potong. Tergantung bagian yang dimakan.
Kemudian, untuk ayam goreng kampung dan ayam gulai kampung, per potongnya dijual dengan harga Rp17 ribu. Sedangkan udang galah goreng berkisar dari harga Rp80 ribu sampai Rp120 ribu per ekor. Untuk menu tambahan lain rata-rata dijual dengan harga Rp15 ribu untuk setiap porsinya.
Ciri Khas Masakan Riau Daratan
Dikatakan oleh penggiat kuliner tradisional Riau, Hj Dinawati SAg MM, menu asam pedas sendiri sebenarnya ada di masing-masing kabupaten/kota. Untuk asam pedas Melayu sendiri ada beberapa tanda atau ciri yang menjadi kekhasannya.
Di antaranya ialah, asam pedas Melayu dibuat memakai bawang yang ditumis terlebih dahulu, sebelum memasukkan cabai giling dan bumbu lainnya. Menu ini juga tak menggunakan kemiri. Ada pula penambahan belacan atau terasi yang mempengaruhi aroma dan cita rasanya.
“Di sisi lain, kuah dari asam pedas melayu lebih cair dan tidak pekat. Karena tidak memakai kemiri, supaya dapat dinikmati seperti menghirup sup,” terang Ketua DPD Ikaboga Riau ini.
Untuk sumber rasa asam pada menu ini, dikatakannya berasa dari beberapa jenis bahan. Misalnya terung asam yang berwarna kuning, asam belimbing, atau dikenal dengan asam telunjuk, asam kandis, asam keping, dan juga asam jawa
‘’Masing-masing asam di atas memiliki ciri khas rasa yang berbeda tergantung dengan ketersediaan bahan dan mudah mendapatkan asam dimaksud oleh setiap yang ingin memasaknya,” paparnya lagi.
Untuk rumah makan Pak Abbas sendiri dikatakannya berciri khas makanan dari Kampar. Sehingga menu-menunya dominan dari khas masyarakat Kampar. Seperti asam pedas baung, sambal goreng ikan motan dan lainnya.
‘’Dari sini kita dapat melihat ciri makanan khas Riau dari Riau daratan dan Riau pesisir sangat berbeda. Kalau yang dari pesisir ikannya dominan berasal dari laut seperti asam pedas ikan kakap, ikan tenggiri, ikan senangin, ikan baung laut, patin laut. Sedangkan Riau darat lebih dominan memakai ikan yang berasal dari sungai atau air tawar seperti ikan patin, baung, ikan tapah, ikan motan dan lainnya.
Sejauh ini, ia menilai bahwa menu asli Melayu Riau ini sudah sangat dikenal di tengah masyarakat. Terkait jenis ikan yang digunakan, memang kebanyakan menggunakan jenis ikan tawar seperti baung. ‘’Karena budi daya ikan air tawar lebih banyak dilakukan sehingga asam pedas ikan air tawar lebih dikenal ketimbang asam pedas ikan air laut,’’ ujar Dinawati.
Agar terus eksis dan berkembang, menurutnya pemerintah perlu senantiasa melakukan sosialisasi dan intervensi dunia usaha dan industri untuk melakukan ketersediaan menu-menu wajib di tempat usaha mereka. Seperti restoran dan hotel dengan varian asam pedasnya.
‘’Untuk anak-anak muda juga perlu dilakukan kreativitas dalam tampilannya dan cita rasa yang menggugah selera anak muda.
“Mungkin bisa juga dimulai mengenalkan asam pedas kepughon. Kalau orang Papua namanya papeda, dengan tampilan yang menarik pula,” sarannya.(azr)