JAKARTA (RIAUPOS.CO) – PRAKTIK impor baju bekas makin merajalela. Hal itu dinilai mengancam keberadaan industri garmen kecil dan rumahan. Selain melanggar peraturan, kedatangan pakaian sisa pakai berpotensi tidak ramah lingkungan.
Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 menyebutkan, impor pakaian bekas dilarang dan jika sudah masuk harus dimusnahkan. Hal itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
"Larangan impor baju bekas tersebut dimaksudkan untuk menjaga industri garmen rumahan dan UMKM yang juga merupakan salah satu pilar kekuatan ekonomi nasional karena menyerap banyak tenaga kerja, terutama dari lapisan bawah," ujarnya, Ahad (12/6).
Gobel menegaskan bahwa praktik impor pakaian bekas kontras dengan cita-cita pemerintah yang ingin membangun Indonesia dari daerah pinggiran, desa, dan sektor UMKM. Selain itu, berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan karena di negara asalnya dikategorikan limbah dan sampah.
"Tak semua pakaian bekas itu bisa layak pakai dan akan menjadi sampah bagi Indonesia," tuturnya.
Dia menambahkan, membangun industri, khususnya garmen, membutuhkan kreativitas dan intelektual karena harus memahami desain, tren, pasar, manajemen industri, hingga manajemen sumber daya manusia. "Ini tidak sebanding dengan skill importir pakaian bekas yang hanya membutuhkan koneksi dengan para pemegang kekuasaan dan kekuatan modal," ujarnya.
Tak hanya impor produk jadi, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai kebijakan Kementerian Perdagangan pada kuartal II/2022 sangat kontraproduktif karena membuka keran impor tekstil untuk importir umum (API-U) untuk memenuhi bahan baku industri kecil menengah (IKM).
Padahal, selama tiga kuartal terakhir, asosiasi menilai industri dalam negeri sangat mampu menyuplai bahan baku untuk IKM. Bahkan saat puncak kenaikan permintaan pada kuartal I/2022. Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, membanjirnya produk impor, baik yang legal maupun tidak prosedural, sangat sarat lobi-lobi importir yang berkepentingan. "Kami sangat mampu menyuplai bahan baku untuk IKM," ujarnya.
Saat ini, pertumbuhan industri dan produk tekstil pada kuartal I/2022 mencapai 12,45 persen (YoY). Menurut Redma, capaian itu didorong penjualan dalam negeri yang meningkat tajam sebagai dampak momen Lebaran. Serta, investasi baru dalam rangka penambahan kapasitas produksi dari hulu sampai hilir. "Impor sih boleh-boleh saja, tapi jangan hancurkan industri dalam negeri, suplai dalam negeri kan sudah terbukti mencukupi, kenapa harus impor?" ucapnya.(agf/c7/dio/jpg)
Laporan JPG, Jakarta