JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pengangkatan ratusan Penjabat Kepala Daerah (Pj Kada) mendapat penguatan hukum. Meski menjabat dalam waktu lama, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan keberadaan PJ Kepala Daerah yang akan menjabat pada 2022 hingga 2024 konstitusional.
Sikap MK itu disampaikan dalam putusan Nomor 15/PUU-XX/2022 kemarin (20/4). Dalam perkara yang diajukan enam warga DKI Jakarta itu, Hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan, berlakunya pasal 201 ayat 10 dan 11 tentang pengisian jabatan kepala daerah oleh Pj merupakan ketentuan peralihan. Sebab, ada agenda nasional untuk melakukan keserentakan pelaksanaan pilkada.
Ketentuan peralihan, lanjut Enny, justru dibutuhkan untuk menjadi dasar hukum atas situasi yang tidak normal tersebut. "Berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja," ujarnya.
Enny menjelaskan, tidak digelarnya pilkada 2022 dan 2023 juga tidak melanggar hak konstitusional para pemilih. Terlebih, pilkada serentak telah dinyatakan konstitusional, melalui putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. "Kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan 2023, dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional," imbuhnya.
MK juga memberikan masukan kepada pemerintah dalam mengangkat PJ Kada. Enny menjelaskan, sosok yang ditunjuk harus dapat menjalankan amanat fungsi jabatannya, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan. Selain itu, Pj Kada dari ASN tidak boleh berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun.
Kemudian, lanjut Enny, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan dan menyerap aspirasi publik. Penjabat baik gubernur, bupati atau wali kota harus dapat bekerjasama dengan DPRD. MK juga menyarankan pemerintah membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan Pj Kada yang memenuhi syarat. "Pj Kada juga dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang," ujarnya.
Terpisah, pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva mengatakan, secara normatif, ASN yang dipilih sebagai Pj akan berkerja lurus dan netral. Namun dalam praktiknya, Hamdan mengaku ragu. Sebab, tarikan kepentingan politik di 2024 akan kencang. "Kemungkinan itu akan selalu ada walaupun secara teori tidak bisa dan tidak boleh berpihak," ujar mantan Ketua MK itu dalam diskusi virtual.
Hamdan menilai, untuk bisa menjamin terpilihnya sosok yang terbaik, dirinya mengusulkan dilakukan seleksi terbuka. Di mana prosesnya harus transparan dan partisipatif. Cara itu bisa menjadi alat kontrol publik. "Ini bisa diatur dalam regulasi, diatur secara terbuka kalau perlu open bidding," imbuhnya.(far/bay/jrr)
Laporan JPG, Jakarta