HONGKON (RIAUPOS.CO) — Unjuk rasa menentang RUU Ekstradisi di Hongkong sedikit mereda dalam dua hari terakhir. Itu setelah terjadi bentrokan yang cukup menyita perhatian dunia pada Selasa (13/8) kemarin. Aparat kepolisian membubarkan demonstran di Bandara Hongkong secara represif. Mereka menggunakan semprotan merica. Tak hanya itu, polisi juga menangkap dan menahan sejumlah pengunjuk rasa yang dianggap sebagai provokator.
Tindakan represif dilakukan aparat kepolisian setelah mendapat izin dari pengadilan setempat. Pasalnya, aksi demonstran telah membuat aktivitas Bandara Hongkong lumpuh pada Senin (12/8) dan Selasa (13/8).
Selepas itu, sebagian pengunjuk rasa menyampaikan permintaan maaf. Mereka datang ke area terminal keberangkatan Bandara Hongkong dengan membentangkan poster yang berisi tulisan permintaan maaf dan ditujukan kepada penumpang yang batal terbang. Kini, Bandara Hongkong telah kembali normal.
Terlepas dari itu, ada sisi menarik terkait masifnya demonstrasi pro demokrasi. Para pengunjuk rasa memanfaatkan teknologi dalam menjalankan aksinya. Itu dilakukan untuk “melawan” teknologi yang digunakan kepolisian Hongkong.
Jumlah besar demonstran membuat kepolisian Hongkong menggunakan teknologi pengenalan wajah lewat ponsel yang merupakan pengembangan Tiongkok. Ini untuk mendapatkan identitas demonstran yang dianggap sebagai provokator atau melakukan tindakan anarkis. Teknologi ini telah menjadi elemen penting bagi aparat yang berwenang.
Hal tersebut membuat demonstran tak mau ketinggalan. Mereka melakukan counter dengan menggunakan sinar laser dari pointer yang diarahkan ke aparat kepolisian. Sinar laser tidak hanya membingungkan polisi, tetapi juga untuk menghindari sistem pengawasan massa dengan menggunakan teknologi pengenalan wajah.
Kemampuan teknologi pengenalan wajah yang digunakan Tiongkok pertama kali menjadi perhatian global ketika pemerintah Tiongkok melakukan penahanan lebih dari satu juta warga Uighur di provinsi Xinjiang. Hal itu menjadi perhatian dunia. Penggunaan perangkat lunak pengenalan wajah memungkinkan Tiongkok memiliki kontrol ketat terhadap populasi Uighur.
Polisi sendiri telah memperingatkan para demonstran agar tidak menggunakan laser karena dapat mengakibatkan efek kebutaan. Namun, demonstran tak menggubrisnya dan tetap menggunakannya saat melakukan aksinya.
Selain teknologi tinggi, demonstran juga menggunakan teknologi konvesional untuk menghindar dari sistem pengenalan wajah kepolisian. Demonstran menggunakan topeng da payung untuk mencegah kamera merekam dan mengidentifikasi wajah mereka.
Pengunjuk rasa juga menggunakan media sosial, salah satunya Twitter untuk melakukan aksinya. Twitter menjadi sarana untuk propaganda demonstran agar suara mereka didengar dunia internasional. Dalam perjalanannya, akun demonstran mendapat perlawanan dari akun pro Tiongkok. Mereka terang-terangan mendukung Beijing dalam upaya meradakan ketegangan di Hongkong.
Tiongkok kini juga menjadi lebih ketat. Setiap orang yang datang ke Tiongkok dari Hongkong, baik itu warga Hongkong maupun bukan, diminta oleh petugas keamanan perbatasan untuk membuka kunci ponsel mereka dan membagikan kegiatan mereka. Seperti yang disampaikan Al Jazeera, hal itu untuk mengantisipasi pro demokrasi yang menyusup ke Tiongkok.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal