Jakarta (RIAUPOS.CO) – Pemerintah didesak untuk mengevaluasi penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Evaluasi diminta tak hanya sekadar reaksi sesaat sebagai respon pemadam kebakaran.
Dari catatan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), sejak awal September sampai November 2021, terdapat 21 daerah yang sekolahnya terpaksa menutup sekolah karena munculnya klaster Covid-19.
Di antaranya, Purbalingga, Jepara, Padang Panjang, Kabupaten Mamasa, Kota Bekasi, Tabanan, Depok, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Jakarta, Grobogan, Pati, Salatiga, Gunung Kidul, Majalengka, Solo, Kota Bandung, Semarang, Bogor, Tasikmalaya, dan Indramayu.
P2G menduga, kembali munculnya klaster sekolah ini lantaran adanya pelanggaran protokol kesehatan (prokes) baik yang dilakukan guru maupun siswa. Bentuknya beragam, mulai kendor dalam penggunaan masker, berkerumun tidak jaga jarak di sekolah, nongkrong tanpa masker, hingga berdesakan di angkutan umum saat pergi dan pulang sekolah.
Laporan pelanggaran prokes siswa termasuk guru rata-rata terjadi di semua daerah. Seperti, Aceh Utara, Aceh Timur, Batam, Tebing Tinggi, Medan, Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Bengkulu, Pandeglang, Jakarta, Bogor, Bekasi, Garut, Klaten, Blitar, Situbondo, Ende, Bima, Berau, Enrekang, Penajam Paser Utara, Kepulauan Sangihe, Sorong, Tual, dan lainnya.
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengungkapkan, pelanggaran prokes ini disebabkan lemahnya pengawasan dari aparat pemda dan satgas Covid-19 ketika siswa pulang sekolah. "Siswa pakai seragam sekolah tapi tak bermasker lantas dibiarkan saja, tidak ditegur," keluhnya, Senin (22/11).
Diakuinya, penurunan kasus aktif Covid-19 membuat masyarakat merasa pandemi telah usai. Aktivitas masyarakat pun perlahan kembali bergeliat. Sehingga, terbangun persepsi sudah bisa hidup normal kembali dan komitmen disiplin prokes melemah.
Melihat situasi ini, P2G meminta Pemda harus mengencangkan kembali sosialisasi prokes. Kemudian, meningkatkan pengawasan prokes kepada siswa sepulang sekolah. Termasuk razia di titik tertentu tempat para siswa biasa nongkrong. Hal ini perlu dilakukan demi meminimalisir sebaran Covid-19 dan risiko klaster sekolah.
"Bagi siswa atau guru yang kedapatan melanggar 3M, maka sanksi bagi mereka dapat berupa pembelajaran dikembalikan PJJ," tegasnya.
Sanksi ini tentu akan memberatkan, karena kebanyakan siswa dan guru enggan kembali belajar dari rumah. Selain itu, lanjut dia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemda harus mengevaluasi PTM terbatas secara komprehensif, detil, dan berkala. Jangan hanya bersifat reaksioner dengan hanya menutup sekolah saja ketika ditemukan kasus positif Covid-19.
Pemerintah perlu melihat lebih dalam pelaksanaan PTM terbatas di daerah. Pasalnya, banyak sekolah yang nakal dengan tidak mematuhi SKB 4 Menteri dalam menjalankan PTM terbatasnya.
Misalnya, ketentuan lama pembelajaran di sekolah. Menurut Satriwan, ada daerah yang PTM-nya dilakukan 5-6 hari dalam seminggu dengan durasi tatap muka lebih dari empat jam sehari. "Siswanya sudah seperti masuk normal," ungkapnya.
Padahal, hal ini belum dibolehkan dalam aturan PTM terbatas. karena semakin lama durasi waktu tatap muka, tentu risiko penularan Covid-19 juga akan makin besar.
Selain itu, P2G meminta pemda untuk rutin melaksanakan tes swab acak pada guru dan siswa. (mia/wan/das)
Laporan JPG, Jakarta