Hongkong makin kental sebagai bagian dari Cina. Dulu ia lebih bebas. Kini kebebasan itu terus terenggut satu per satu seiring dengan menguatnya pengaruh pusat. Apple Daily adalah contoh terbaru.
(RIAUPOS.CO) – BERITANYA kerap sensasional dengan dilengkapi foto-foto jepretan paparazi. Itu adalah wujud awal munculnya Apple Daily. Koran yang lahir pada 1995 tersebut serupa dengan media asal Inggris, Daily Mail, tetapi dengan kearifan lokal. Berbentuk tabloid, ia didominasi berita kriminal dan hiburan.
Namun, seiring berjalannya waktu, berita-berita politik mulai masuk dan memiliki tempat tersendiri. Apple Daily mulai berubah total pada awal 2000-an. Itu adalah momen ketika penduduk Hongkong melakukan serangkaian gerakan sosial, menolak integrasi dengan daratan utama Cina.
’’Perlawanan yang berkembang telah membuka pasar berita politik untuk Apple Daily,’’ ujar Dr Joyce Nip, dosen senior Studi Media Cina University of Sydney, seperti dikutip BBC.
Gejolak politik memberikan keuntungan unik. Sebab, saat media lain lebih condong ke Cina, Apple Daily justru memilih untuk membela kepentingan Hongkongers, sebutan warga Hongkong. Kebijakan Jimmy Lai, pendiri Apple Daily, adalah mengkritik sistem politik dan pemerintahan Cina serta perwakilan administratif yang ditunjuk untuk Hongkong. Hal itu tertuang dalam berita-berita yang mereka tulis.
Apple Daily tentu saja masih meliput berita ringan dan hiburan. Namun, ia kian mengukuhkan posisinya sebagai outlet prodemokrasi. Jurnalis mereka dilarang terjun dan menulis berita di daratan utama Cina. Tidak seorang pun diizinkan terjun meliput Olimpiade Beijing 2008. Mereka kian gencar mengkritik pemerintah Cina dan tokoh-tokoh prokemapanan di Hongkong. Imbasnya, Apple Daily sering diboikot iklan. Lai memang sejak lama tak sepakat dengan Cina. Di usia 12 tahun, dia melarikan diri dari negeri komunis itu dan masuk ke Hongkong. Saat itu Hongkong masih dikuasai Inggris.
Dengan pilihan yang tegas, pelan, tapi pasti, Apple Daily memenangkan hati Hongkongers. Lokman Tsui, asisten profesor di Chinese University of Hongkong, bahkan menyebutnya sebagai institusi kunci di wilayah otonomi khusus Cina tersebut. Ia menjadi bagian kehidupan sehari-hari penduduk. Mereka tumbuh dengan membaca Apple Daily.
’’Memang ada outlet lain, tapi tidak ada satu pun yang sebesar dan sevokal Apple Daily. Itulah mengapa pemerintah begitu kesal dengannya,’’ terang Lokman Tsui.
Peringatan, ancaman, dan berbagai hal lainnya tidak membuat Apple Daily berubah untuk mendukung pemerintah pusat. Mereka justru kian getol mengkritik. Setiap kali ada gerakan turun ke jalan, Apple Daily yang pertama mewadahi dan mendorong penduduk Hongkong untuk berpartisipasi. Bahkan, ketika gerakan turun ke jalan membesar 2019, ada halaman yang berisi poster antipemerintah untuk dibawa para pembacanya saat aksi. Di halaman utamanya juga, ada tulisan yang meminta penduduk ikut berpartisipasi.
Namun, denyut perjuangan Apple Daily itu tidak akan ada lagi. Kamis (24/6), media yang telah berusia 26 tahun itu terbit untuk yang kali terakhirnya. Satu juta eksemplar edisi terakhir itu terjual habis. Penduduk rela antre untuk mendapatkannya. Apple Daily terpaksa gulung tikar karena tak mampu membayar sekitar 700 pegawai dan stafnya gara-gara semua aset mereka dibekukan. Lai, sang pendiri, juga dipenjara. Asetnya juga sama, dibekukan. Beberapa petinggi Apple Daily juga ditangkap dengan jerat Undang-Undang Keamanan Nasional.
’’Ini merupakan hari yang menyedihkan bagi kebebasan media di Hongkong dan seluruh dunia,’’ tegas Presiden AS Joe Biden menanggapi penutupan Apple Daily. Dia menyebutnya sebagai penindasan yang kian intensif dari Cina.
Cepat atau lambat, Hongkong akan serupa dengan wilayah di daratan utama. Tidak ada kebebasan pers di Cina. Semua media dikendalikan dan diatur. Sensor begitu ketat sehingga penduduk kerap ambigu mana berita yang benar secara umum dan yang benar versi pemerintah. Mereka bahkan tidak boleh menggelar demo.
Hongkong yang dulu dikuasai Inggris berbeda 180 derajat. Media bebas menulis apa saja, demo bisa digelar kapan saja, asalkan ada izinnya. Namun, kini itu tidak berlaku lagi. Bahkan, Apple Daily harus berkorban dan tumbang. ’’Hukum Draconian mulai Berlaku. Satu Negara Dua Sistem Mati,’’ bunyi judul halaman depan terbitan terakhir Apple Daily.(sha/c12/bay/das)
Laporan JPG, Hongkong