Beberapa kasus Covid-19, merupakan klaster keluarga. Penderita Covid-19 tertular dari anggota keluarga yang lebih dulu terserang Covid-19. Satu per satu anggota keluarga terjangkit penyakit yang mematikan tersebut.
Laporan LISMAR SUMIRAT (Pekanbaru)
Telepon selular milik Novita berbunyi, Senin (20/4). Dari sambungan telepon sepupunya, ia mendapat informasi pamannya kritis setelah dirawat di salah satu rumah sakit karena terjangkit Covid-19. Lalu, ia menangis mengenang kedekatan dengan saudara laki-laki bapaknya itu. Apalagi sejak bapaknya wafat, ia lebih dekat dengan pamannya tersebut.
"Om saya ini orang terakhir yang dinyatakan positif Covid-19 di keluarga kami. Sebelumnya tiga cucu, tante dan menantu laki-lakinya juga tertular Covid-19. Istri om lebih dulu di rawat di rumah sakit karena tertular Covid-19," ungkap wanita yang akrab disapa Ana ini.
Satu jam kemudian nada dering telepon selular miliknya berbunyi. Ia mendapat kabar pamannya yang tertular Covid-19 sudah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Ia kembali menangis. Kali ini tangisannya lebih sendu dan lama. Ia berinisiatif mengabarkan kabar duka tersebut ke kerabat terdekat. Tanpa pikir panjang, ia pun bergerak ke RS. Sebagian anggota keluarga sudah berkumpul untuk melepas kepergian pamannya itu ke tempat peristirahatan terakhir.
Siang itu, jenazah diberangkatkan ke tempat pemakaman umum (TPU) di Palas khusus untuk korban Covid-19. Panas dan terik. "Saat pulang dari pemakaman, saya langsung mandi dan makan malam. Tapi kepala saya sudah merasa pusing. Cuma waktu itu saya pikir hanya karena capek dan panas terik saat menghadiri pemakaman om saya," ucapnya.
Konsultan asuransi ini berinisiatif menjalani isolasi mandiri. Di kamarnya. Malam itu dia merasakan sekujur tubuhnya meriang, deman dan kepala pening. Lalu ia minum paracetomol untuk meredakan penyakit yang dideritanya. Namun pada hari berikutnya, demamnya makin tinggi yang disertai batuk dan sesak.
Ia menginfokan kondisinya kepada sanak keluarga melalui grup keluarga. Dalam grup medsos tersebut, ia mendapat informasi anak laki-laki, anak perempuan dan cucu pamannya yang wafat karena Covid-19, juga terjangkit.
"Karena bergejala demam. Padahal sewaktu swab pertama masih percaya diri tidak tertular Covid-19. Walau ada anggota keluarga yang positif tapi hasil swab mereka negatif. Saya mulai cemas. Gejala saya ini bukan demam biasa. Maka Jumat (23/5), saya menjalani swab PCR untuk memastikan apakah tertular Covid-19 atau tidak," sebutnya.
Ia masih demam, batuk dan sesak. Tetap isolasi mandiri dan minum obat. Tapi Ahad (25/4), indera penciumannya sudah terganggu. Tak bisa merasakan bau sedikitpun. Ia menangis. Mulai dihingapi rasa takut dan stres. "Karena saya yakin pasti positif. Dan benar Senin (26/4) saya yang tak sabar menanyakan hasil swab PCR ke rumah sakit. Benar saya dinyatakan positif Covid-19," tuturnya.
Ana memiliki penyakit penyerta (komorbid). Yakni hipertensi dan asma. Makanya ia lebih memilih dirawat dan diisolasi di rumah sakit. Malamnya, ia mulai di rawat di salah satu rumah sakit di Jalan HR Soebrantas Pekanbaru. Sejak hari pertama di rawat ia mengalami diare, napas pendek, mudah capek, badan pegal dan mual. Nafsu makan hilang, makanan yang masuk ke kerongkongan terasa pahit. Indra perasanya terkadang terasa sangat asin.
"Saya akali dengan video call dengan adek atau siapapun. Suruh mereka ngobrol, saya sambil makan. Biar ada teman dan lumayan bisa bangkitkan selera makan. Walau tidak habis semuanya," ungkapnya.
Petugas medis melakukan berbagai tindakan, seperti pengambilan sampel darahnya untuk mengecek oksigen dalam darah. "Setiap hari saya diberi obat yang disuntikkan di infus. Saya juga mengkonsumsi vitamin C, antibiotik ini pedih banget. Obat lambung, obat oral, obat antivirus, curcuma dan lainnya. Sampai lupa karena banyak yang saya konsumsi obatnya," ujarnya.
Selain minum obat, setiap pagi mulai pukul 10.00 WIB, Ana berjemur di lantai 9 rumah sakit. Ia juga berdoa, mendengarkan lagu rohani dan melihat TikTok lucu. "Saya tidak mau nonton televisi. Takut jadi kepikiran," ucapnya.
Malam keenam dirawat, wanita kelahiran Pekanbaru, 12 November 1971 ini dihinggapi rasa gelisih. Tidak bisa tidur dan timbul rasa takut. Sebentar-sebentar ia melihat ke pintu. "Seperti ada orang yang mau jemput saya. Pokoknya rasa ketakutan yang hebat. Baru saya sadari ternyata saya rupanya berhalusinasi," sebutnya.
Hari kesembilan, dirinya sudah diperbolehkan pulang walau swab PCR masih positif. Namun ia kemudian kembali menjalani isolasi di Bapelkes Riau. Ia bersama-sama pasien Covid-19 menumbuhkan semangat untuk segera sembuh. Bapelkes melaksanakan senam pagi dan sore untuk penderita Covid-19.
"Hati gembira adalah obat. Ketika happy proses penyembuhan bisa berlangsung lancar. Kunci saat terpapar tak boleh stres dan takut berlebihan. Dukungan keluarga terdekat juga membuat saya cepat sembuh. Mereka selalu telepon dan video call. Dan pastinya berdoa supaya Tuhan menolong kita," tuturnya.
Setelah lima hari isolasi di Bapelkes, Ana diperbolehkan pulang. Ia pun masih harus menjalani isolasi mandiri di rumahnya hingga kondisinya pulih kembali. "Saya konsul dengan tante yang juga Gugus Covid-19. Apakah saya perlu swab PCR atau rapid antigen untuk memastikan saya sudah negatif, tapi katanya tidak perlu," katanya.
Kluster keluarga ini tertular Covid-19 sebanyak 10 orang. Satu di antaranya meninggal dunia. "Om meninggal dunia. Tante sempat masuk ICU. Sampai disuntikkan obat lewat infus. Sepupu laki-laki komorbid hipertensi, sempat masuk ruang HCU. Hampir donor plasma, tapi karena ada perbaikan akhirnya tidak jadi. Sepupu perempuan komorbid diabet. Saya komorbid hipertensi dan asma. Ipar dan tiga anak laki-lakinya juga tertular Covid-19. Total 10 orang yang tertular Covid-19," ulasnya.***