Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Puasa Momentum Strategis Mendidik Kepribadian Islam

PUASA di bulan Ramadan merupakan aktivitas ibadah religius umat Islam yang sangat menarik untuk disimak, dianalisa dari berbagai disiplin ilmu. Mengingat aktivitas ibadah yang periodik ini dilakukan setiap bulan Ramadan, di setiap tahun hijriyah, dan dilaksanakan oleh individu sepanjang hayatnya. Mulai sejak usia  dini sampai dengan usia tua, tentu selama kuat dan sehat jasmaninya.

Puasa selain dilakukan oleh perorangan, atau  merupakan perilaku individu, juga merupakan kegiatan yang dilakukan setiap muslim/muslimat. Dengan kata lain perilaku atau kegiatan yang dilakukan secara kolektif massal oleh seluruh umat Islam  di seluruh dunia.Tak kalah menariknya adalah keserempakan event-nya. Khususnya di bulan Ramadan dalam penanggalan tahun hijriah  yang berlaku dari mulai tingkat lokal, sampai dengan global. Begitupun durasi waktunya, ditandai dengan dimulainya terbit fajar sampai terbenam matahari. Di manapun muslim berada, di berbagai belahan bumi, dan di berbagai kondisi iklim.  

Untuk itu mengenai  puasa di bulan Ramadan ini akan dijelaskan melalui perspektif psikologi. Puasa mengandung pengertian sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk menahan diri, tidak makan, minum dan berjimak. Dari mulai terbit fajar sampai dengan terbenam matahari. Bahwasanya puasa yang dilakukan umat Islam secara kognitif harus diketahui, dipahami oleh setiap mukmin, muslim, diimani serta merujuk kepada perintah Allah SWT. yang tercantum dalam  firman-Nya QS. Al Baqoroh :183, “Hai orang-orang yang beriman,diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”  

Makna perintah dari Allah SWT adalah bahwasanya kegiatan berpuasa hukumnya wajib dilakukan oleh muslim di mana jika dilakukan oleh seorang muslim  merupakan ibadah yang berpahala, atau merupakan amal soleh yang mau tidak mau harus dikerjakan sesuai syariat Islam. Sebaliknya, jika tidak dilaksanakan, merupakan perbuatan yang melanggar perintah-Nya, dan berakibat sanksi,  yakni telah melakukan dosa kepada Allah, mengingkari perintah-Nya. Kesadaran individu muslim, bahwasanya puasa ini merupakan perintah, atau kewajiban yang mutlak dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam. Yakni merujuk pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW mutlak harus ditumbuhkan, dikembangkan dan disadari, serta dihayati. Dilaksanakan dengan ikhlas  semata-mata demi ketaatan pada perintah Rabbnya, bukan perintah selain Allah. Dengan demikian akan muncul ketaatan sebagai hamba pada Sang Khaliq. Berikutnya dari ayat tersebut, tersurat tujuan dari berpuasa ini adalah untuk menjadikan orang takut kepada Allah, atau bertakwa. Maknanya adalah setelah munculnya kesadaran kognitif tersebut di atas, diikuti oleh aspek afektif. Yakni munculnya rasa takut dan motivasinya untuk mengharap keridhoan Allah semata. Selanjutnya  Indikator mukmin dan muslim yang bertakwa adalah selain utamanya mengikuti perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, juga ditandai dengan menjaga lisannya dari berbicara yang bersifat kebohongan, fitnah, berghibah, dan kata-kata yang kurang baik. Sebaliknya lisan yang selalu ditandai dengan zikrullah, tasbih, tahmid, istighfar dan perkataan yang mengandung hikmah dan kebaikan. Dengan demikian puasa mengkonsentrasikan proses kognitif manusia sebagai hamba Allah untuk memiliki   kesadaran penuh (mindfulness) istiqomah, berakidah lurus, konsentrasi berpuasanya dengan penuh keikhlasan, berperilaku ibadahnya dengan penuh kesadaran memahami perintah-Nya, dan menguatkan kejelasan target yang ingin dicapainya. Yakni menjadikan dirinya hamba Allah yang bertakwa. Kesadaran, pemahaman, perbuatan atau perilaku untuk bertakwa diringi dengan penguatan lisan yang berdzikir, bertasbih, dan beristighfar kepada Rabbnya, Allah SWT.

Baca Juga:  BBR dan Ombudsman Riau Jalin Komunikasi

Manusia sebagai makhluq, ditandai pula dengan dimilikinya dorongan nafsu, instink, berupa keperluan makan, minum, berkembang biak/libido drive, yang semuanya itu merupakan fitrah dan anugerah dari Sang Khaliq.

Namun demikian dalam konteks berpuasa kegiatan-kegiatan tersebut yang semula merupakan sesuatu yang mubah, atau halal, lalu ditahan untuk dapat dipenuhi, dan atau  dipuaskan dengan ketentuan sesuai syariat Islam. Yang harus dipahami bahwasanya sebelumnya kegiatan makan, minum itu halal/mubah bagi setiap muslim, dan berjimak yang merupakan kegiatan yang halal bagi pasutri yang terikat dalam pernikahan, menjadi hal-hal yang dilarang untuk dilaksanakan selama berpuasa. Hal tersebut merupakan sesuatu yang menarik untuk dianalisa ditinjau dari perspektif psikologi kepribadian. Seperti kita ketahui bahwa berpuasa ini juga dianjurkan dibiasakan, diedukasi sejak dini. Sebagian keluarga muslim membimbing putra-putrinya sejak usia prasekolah, TK untuk berangsur berpuasa, dimulai dari durasi setengah hari, dst.

Kenapa hal ini harus dilakukan oleh ortu pada putra-putrinya? Ini mengingat bagi fase anak kebutuhan, keinginan makan, dan minum merupakan hal yang sangat berat jika tidak dipenuhi. Dorongan insting makan minum, yang dalam mekanisme psikodinamika aspek  dominan pada fase anak ini, sehingga jika dibiasakan, dididik untuk ditahan sampai pada waktu tertentu, dapat menjadi pengendali untuk memuaskan kebutuhan dan instinknya. Selain itu, akan menumbuhkan pengalaman akan begitu beratnya dan penghayatan yang yang dalam dialami seseorang yang mengalami kelaparan dan kehausan. Pengalaman biologis dan psikologis ini juga akan menstimulus munculnya rasa empati terhadapa kemanusiaan.

Baca Juga:  Wako : Kaum Muda Harus Ambil Peran Dalam Pembangunan

Berikutnya, Secara bertahap di fase usia selanjutnya. Jika pada fase anak sudah mampu  menahan keinginan dan dorongan untuk makan minum sudah terkuasai, maka meningkat di fase pubertas dan remaja untuk mulai menahan dorongan nafsu seksual. Tentu hal ini akan menjadi tahapan gemblengen yang baik bagi anak pubertas dan remaja, supaya mampu menjaga kehormatannya, sekaligus semakin dituntut kesadarannya untuk mematuhi kewajiban berpuasa ini, karena sudah memasuki masa akil balig. Artinya kewajiban syariat sudah melekat kepada remaja muslim, dengan kata lain yang bersangkutan sudah mukallaf. Nah pada fase ini, potensi id meningkat tahapannya masuk pada proses terbentuknya ego. Mulailah seorang individu memiliki kemampuan merefleksikan perilakunya sesuai dengan tuntutan lingkungan, dan value yag dipedomaninya, tentu dalam hal ini ketentuan syariat Islam yang mengatur tentang rukun, kewajiban, hal-hal yang dilarang dan membatalkan puasa , dsb.

Puncaknya apabila seorang muslim, mukmin, dan mukallaf telah mengalami internalisasi aqidah dan syariat Islam dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan semata-mata karena takut, sekaligus mengharap ridha Allah SWT, maka akan sampai kepada derajat atau tingkat takwa. Inilah sebuah proses pembelajaran, penggemblengan, dan hikmah puasa untuk menjadikan nafsu insani, menjadi nafs mutmainnah. Jiwa yang sarat dengan keikhlasan, istiqomah, dan ketakwaan akan menjadikan muslim berkarakter, tangguh atas segala cobaan dan godaan nafsu, serta memiliki kemampuan mengendalikan, dan mengarahkan fitrah insani kepada fitrah Illahiyah. Seperti tersebut dalam firman-Nya,“ Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati ridha lagi diridhoi-Nya { QS Al-Fajr :27-28}

Apabila semua muslim, di berbagai daerah, lokal, regional, dan global berpuasa dengan mampu mencapai derajat takwa, maka sungguh sangat luar biasa karakter kolektif kepribadian muslim menjadikannya hamba-hamba Allah yang bertakwa. Tentu solidaritas kemanusiaan, keberempatian, dan religiusitas akan mewarnai pola pikir, pola perilaku umat Islam, serta menjadi identitas kolektif  karakter muslim dimanapun berada, siapapun, dan kapanpun. Semoga umat Islam dapat kembal ike fitrahnya menjadi khalifah fil ardhi, dan bermakna rahmatan lil aalaamiin. Semoga.***

 

PUASA di bulan Ramadan merupakan aktivitas ibadah religius umat Islam yang sangat menarik untuk disimak, dianalisa dari berbagai disiplin ilmu. Mengingat aktivitas ibadah yang periodik ini dilakukan setiap bulan Ramadan, di setiap tahun hijriyah, dan dilaksanakan oleh individu sepanjang hayatnya. Mulai sejak usia  dini sampai dengan usia tua, tentu selama kuat dan sehat jasmaninya.

Puasa selain dilakukan oleh perorangan, atau  merupakan perilaku individu, juga merupakan kegiatan yang dilakukan setiap muslim/muslimat. Dengan kata lain perilaku atau kegiatan yang dilakukan secara kolektif massal oleh seluruh umat Islam  di seluruh dunia.Tak kalah menariknya adalah keserempakan event-nya. Khususnya di bulan Ramadan dalam penanggalan tahun hijriah  yang berlaku dari mulai tingkat lokal, sampai dengan global. Begitupun durasi waktunya, ditandai dengan dimulainya terbit fajar sampai terbenam matahari. Di manapun muslim berada, di berbagai belahan bumi, dan di berbagai kondisi iklim.  

- Advertisement -

Untuk itu mengenai  puasa di bulan Ramadan ini akan dijelaskan melalui perspektif psikologi. Puasa mengandung pengertian sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk menahan diri, tidak makan, minum dan berjimak. Dari mulai terbit fajar sampai dengan terbenam matahari. Bahwasanya puasa yang dilakukan umat Islam secara kognitif harus diketahui, dipahami oleh setiap mukmin, muslim, diimani serta merujuk kepada perintah Allah SWT. yang tercantum dalam  firman-Nya QS. Al Baqoroh :183, “Hai orang-orang yang beriman,diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”  

Makna perintah dari Allah SWT adalah bahwasanya kegiatan berpuasa hukumnya wajib dilakukan oleh muslim di mana jika dilakukan oleh seorang muslim  merupakan ibadah yang berpahala, atau merupakan amal soleh yang mau tidak mau harus dikerjakan sesuai syariat Islam. Sebaliknya, jika tidak dilaksanakan, merupakan perbuatan yang melanggar perintah-Nya, dan berakibat sanksi,  yakni telah melakukan dosa kepada Allah, mengingkari perintah-Nya. Kesadaran individu muslim, bahwasanya puasa ini merupakan perintah, atau kewajiban yang mutlak dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam. Yakni merujuk pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW mutlak harus ditumbuhkan, dikembangkan dan disadari, serta dihayati. Dilaksanakan dengan ikhlas  semata-mata demi ketaatan pada perintah Rabbnya, bukan perintah selain Allah. Dengan demikian akan muncul ketaatan sebagai hamba pada Sang Khaliq. Berikutnya dari ayat tersebut, tersurat tujuan dari berpuasa ini adalah untuk menjadikan orang takut kepada Allah, atau bertakwa. Maknanya adalah setelah munculnya kesadaran kognitif tersebut di atas, diikuti oleh aspek afektif. Yakni munculnya rasa takut dan motivasinya untuk mengharap keridhoan Allah semata. Selanjutnya  Indikator mukmin dan muslim yang bertakwa adalah selain utamanya mengikuti perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, juga ditandai dengan menjaga lisannya dari berbicara yang bersifat kebohongan, fitnah, berghibah, dan kata-kata yang kurang baik. Sebaliknya lisan yang selalu ditandai dengan zikrullah, tasbih, tahmid, istighfar dan perkataan yang mengandung hikmah dan kebaikan. Dengan demikian puasa mengkonsentrasikan proses kognitif manusia sebagai hamba Allah untuk memiliki   kesadaran penuh (mindfulness) istiqomah, berakidah lurus, konsentrasi berpuasanya dengan penuh keikhlasan, berperilaku ibadahnya dengan penuh kesadaran memahami perintah-Nya, dan menguatkan kejelasan target yang ingin dicapainya. Yakni menjadikan dirinya hamba Allah yang bertakwa. Kesadaran, pemahaman, perbuatan atau perilaku untuk bertakwa diringi dengan penguatan lisan yang berdzikir, bertasbih, dan beristighfar kepada Rabbnya, Allah SWT.

- Advertisement -
Baca Juga:  Duterte hanya Ingin Pakai Sinovac

Manusia sebagai makhluq, ditandai pula dengan dimilikinya dorongan nafsu, instink, berupa keperluan makan, minum, berkembang biak/libido drive, yang semuanya itu merupakan fitrah dan anugerah dari Sang Khaliq.

Namun demikian dalam konteks berpuasa kegiatan-kegiatan tersebut yang semula merupakan sesuatu yang mubah, atau halal, lalu ditahan untuk dapat dipenuhi, dan atau  dipuaskan dengan ketentuan sesuai syariat Islam. Yang harus dipahami bahwasanya sebelumnya kegiatan makan, minum itu halal/mubah bagi setiap muslim, dan berjimak yang merupakan kegiatan yang halal bagi pasutri yang terikat dalam pernikahan, menjadi hal-hal yang dilarang untuk dilaksanakan selama berpuasa. Hal tersebut merupakan sesuatu yang menarik untuk dianalisa ditinjau dari perspektif psikologi kepribadian. Seperti kita ketahui bahwa berpuasa ini juga dianjurkan dibiasakan, diedukasi sejak dini. Sebagian keluarga muslim membimbing putra-putrinya sejak usia prasekolah, TK untuk berangsur berpuasa, dimulai dari durasi setengah hari, dst.

Kenapa hal ini harus dilakukan oleh ortu pada putra-putrinya? Ini mengingat bagi fase anak kebutuhan, keinginan makan, dan minum merupakan hal yang sangat berat jika tidak dipenuhi. Dorongan insting makan minum, yang dalam mekanisme psikodinamika aspek  dominan pada fase anak ini, sehingga jika dibiasakan, dididik untuk ditahan sampai pada waktu tertentu, dapat menjadi pengendali untuk memuaskan kebutuhan dan instinknya. Selain itu, akan menumbuhkan pengalaman akan begitu beratnya dan penghayatan yang yang dalam dialami seseorang yang mengalami kelaparan dan kehausan. Pengalaman biologis dan psikologis ini juga akan menstimulus munculnya rasa empati terhadapa kemanusiaan.

Baca Juga:  Sala Lauak

Berikutnya, Secara bertahap di fase usia selanjutnya. Jika pada fase anak sudah mampu  menahan keinginan dan dorongan untuk makan minum sudah terkuasai, maka meningkat di fase pubertas dan remaja untuk mulai menahan dorongan nafsu seksual. Tentu hal ini akan menjadi tahapan gemblengen yang baik bagi anak pubertas dan remaja, supaya mampu menjaga kehormatannya, sekaligus semakin dituntut kesadarannya untuk mematuhi kewajiban berpuasa ini, karena sudah memasuki masa akil balig. Artinya kewajiban syariat sudah melekat kepada remaja muslim, dengan kata lain yang bersangkutan sudah mukallaf. Nah pada fase ini, potensi id meningkat tahapannya masuk pada proses terbentuknya ego. Mulailah seorang individu memiliki kemampuan merefleksikan perilakunya sesuai dengan tuntutan lingkungan, dan value yag dipedomaninya, tentu dalam hal ini ketentuan syariat Islam yang mengatur tentang rukun, kewajiban, hal-hal yang dilarang dan membatalkan puasa , dsb.

Puncaknya apabila seorang muslim, mukmin, dan mukallaf telah mengalami internalisasi aqidah dan syariat Islam dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan semata-mata karena takut, sekaligus mengharap ridha Allah SWT, maka akan sampai kepada derajat atau tingkat takwa. Inilah sebuah proses pembelajaran, penggemblengan, dan hikmah puasa untuk menjadikan nafsu insani, menjadi nafs mutmainnah. Jiwa yang sarat dengan keikhlasan, istiqomah, dan ketakwaan akan menjadikan muslim berkarakter, tangguh atas segala cobaan dan godaan nafsu, serta memiliki kemampuan mengendalikan, dan mengarahkan fitrah insani kepada fitrah Illahiyah. Seperti tersebut dalam firman-Nya,“ Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati ridha lagi diridhoi-Nya { QS Al-Fajr :27-28}

Apabila semua muslim, di berbagai daerah, lokal, regional, dan global berpuasa dengan mampu mencapai derajat takwa, maka sungguh sangat luar biasa karakter kolektif kepribadian muslim menjadikannya hamba-hamba Allah yang bertakwa. Tentu solidaritas kemanusiaan, keberempatian, dan religiusitas akan mewarnai pola pikir, pola perilaku umat Islam, serta menjadi identitas kolektif  karakter muslim dimanapun berada, siapapun, dan kapanpun. Semoga umat Islam dapat kembal ike fitrahnya menjadi khalifah fil ardhi, dan bermakna rahmatan lil aalaamiin. Semoga.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari